Sapta Hasta Nawa Dasa Nirwandar

Kamis, 01 Maret 2012 – 14:33 WIB

jpnn.com - TAHU suasana yang paling asyik? Menyeduh earl grey tea hangat-hangat sambil berdiskusi dengan Menparekraf Mari Elka Pangestu atau Wamenparekraf Sapta Nirwandar. Tema yang berkembang pasti seputar eksotisme, keindahan, art & culture, kulineri, hospitality, singkat kata adalah segala rmacam rupa, rasa dan karsa yang membawa sensasi kenikmatan dan kepuasan pada panca indra.

GDP kita ada di kisaran USD 3.500 per tahun, dan akan terus meningkat. Kelas menengah terus bertambah signifikan. Logikanya, dunia pariwisata akan masuk level baru, menjadi “kebutuhan sekunder”, bukan lagi tersier atau barang mewah. Ketika income per kapita sudah menyodok di angka USD 7.500, maka levelnya naik satu step lagi, menjadi “kebutuhan primer.

” Ketemu digit kepala tujuh itu tidak akan lama lagi, diprediksi 6-8 tahun ke depan. Nah, peluang apa yang harus dijemput? Ketika sudah makin banyak orang kaya? Dalam kacamata bisnis, orang itu dijuluki kaya, bukan dari jumlah duit yang ditimbun di deposito atau tabungan saja.

Tetapi dihitung dari spending of money, berapa duit membelanjakan uangnya setiap bulan. Sama persis dengan ungkapan seorang ustad, “Harta kekayaanmu sesungguhnya adalah harta yang sudah kau berikan pada orang lain!” Percuma, bergelimang duit, tetapi “pelit”, bahkan pelit untuk dirinya sendiri sekalipun.

Tabungannya miliaran di bank, tetapi berlangganan koran saja ogah. Makan masih di kaki lima? Naik sepeda motor bebek yang irit. Beli pakaian di Tanah Abang. Cukur rambut di bawah pohon rindang. Berwisata di Tugu Monas. Istilahnya “petinju” punya duit banyak, tetapi tidak pernah lepas dari genggaman tangannya. Password-nya “kreatif” begitu kata Mari Elka Pangestu.

:TERKAIT Industri kreatif tidak akan kehabisan ide untuk mengemas produknya agar seksi di mata konsumen potensial. Rumusnya, orang berduit, pasti lebih leluasa dan menjadi pasar potensial. Karena itu, pekerjaan yang paling penting di sini adalah menciptakan “rasa berkebutuhan” untuk berwisata. Nah, di sinilah, diskusi itu semakin asyik. Bagaimana mempertemukan produk, image, karya dan komuditas wisata dengan lima indera manusia.

Tentu, destinasi harus berbenah dan menciptakan ide kreatif baru. Pemasaran, promosi dan kemasan harus mencari akal yang lebih komprehensif. Dunia usaha sektor pariwisata harus didorong lebih berani berinvestasi. Nah, ada 1001 mimpi jika mengupas satu-satu, berikut dengan tautan lain yang sambung menyambung, kait mengait.

Dari ruangan Sapta Nirwandar di Gedung Sapta Pesona, Merdeka Barat, saya coba menyelam lebih dalam, apa yang ada dalam planning Parekraf? “Pasar lokal akan terus bergairah, karena kelas menengah Indonesia juga terus bertambah. Pasar internasional, kami tidak merevisi target. Artinya, tetap optimis, sekalipun Amerika Serikat dan Eropa sedang dilanda krisis global,” ucap Sapta, yang lahir di Tanjung Karang, Lampung 13 Mei 1954 itu. Apa strateginya? “Kami genjot pasar Asia dan Australia.

Asia masih naik, China, India, Malaysia, Singapore, terus bertumbuh. Jepang mulai menggeliat. Kota-kota di Aussie, seperti Sydney, Melbourne, Perth, Darwin, tetap menjadikan Indonesia sebagai tourism destination. Mereka menyebut Bali dan Lombok sebagai negeri keduanya,” jelas Wamen, yang mantan Dirjen Pemasaran Kementerian Budpar itu.

Pengalaman tahun 2008, kata Sapta, suasana krisis juga sedang mengguncang dunia. Tetapi pariwisata masih bisa naik 0,3 persen. Tahun 2011 lalu 7,65 juta kunjungan, di atas prediksi moderat 7,4 juta, dan jauh dari target pesimis 7,2 juta. Tahun 2012 ini, minimal Eropa-Amerika tidak turun, karena itu tetap harus dirawat dengan mengikuti Travel Mart, mempertemukan buyer dan seller, fokus ke pasar yang respek, lalu memberdayakan Indonesia Incorporated dengan Kedutaan dan Konsulat Indoesia di seluruh dunia.

Selain itu, menggarap komunitas yang punya nilai jual tinggi di negara yang bersangkutan. Misalnya, menitipkan promosi brand wisata Indonesia ke actor film Hollywood Richard Gere, aktris Julia Roberts, konglomerat dan pemilik Microsoft, Bill Gates, sampai ahli marketing Dr Philip Kotler dan Hermawan Kertajaya. Di setiap acara seminar yang mengundang Professor of International Marketing di Northwestern University, Kellogg Graduate School of Management di Chicago ini turut mempromosikan wonderfull Indonesia.

Numpang promosi di New York Marathon yang melegenda di AS itu akan terus dikembangkan. Kompetisi batik Amerika, yang diikuti lebih dari desainer batik, juga gagasan kreatif dalam mensosialisasikan produk heritage Indonesia. Bicara batik, secara otomatis berbincang soal asal muasal desain batik itu sendiri. Melabeli pikiran orang Amerika dengan batik, sama dengan mengibarkan Merah Putih di pikiran orang AS.

Sport Tourism, juga sedang dikembangkan Sapta Nirwandar. Tour de Singkarak, yang sudah tiga tahun, rattingnya melonjak sejak di connect-kan dengan Tour de France. “Mimpi kami seperti Tour de France, yang sudah 108 tahun, dan melegenda di Prancis. Mirip dengan New York Marathon, yang sudah menjadi tontonan publik di sana.

Padahal, sepeda itu finishnya cuma 2 -3 menit saja bisa di lihat?” sebut Sapta. Bagaimana mereka mengemas? Satu dua jam sebelumnya sudah berkumpul di Champ Elysee, kawasan kafe, resto, shopping, yang paling mahal dan mewah di Paris. Ada panggung besar, orang menunggu dengan big screen, ditambah live report di komentari dari helikopter.

Sambil minum champagne, orang terhibur menunggu pesepeda itu mencapai garis akhir. “Tour de Singkarak 800 kilometer, melewati 14 kabupaten, punya magnit besar,” ucap Sapta optimis. Marine Sport Tourism juga menjadi concern Kemenparekraf, seperti even Regata. Olahraga berbasis kelautan berupa pelayaran atau sail dari Langkawi (Malaysia), Phuket (Thailand) sampai ke Sabang (Aceh). Lalu, Wonderfull Diving dan tiga jenis boat yang berpacu dari hulu sampai ke hilir. “Turis Australia yang sudah berumur, lebih suka yatch, sailing, berlayar.

Yang muda lebih hobi bermain ombak, surfing. Dan, punya dua-dua objek itu,” tuturnya. Kalau sudah bercerita tentang kelautan, wisata laut, intonasi Sapta Nirwandar semakin keras dan cepat. Seolah, ada banyak hal yang ingin diceritakan, tetapi tidak cukup dua jam.

Berjubel di otak, tak bisa keluar di mulut. “Maaf, saya gemes banget!” sebut dia, seperti tidak sabar untuk memberdayakan tourism sebagai kebutuhan primer, sehingga perlakuan dan konsentrasinya pemerintah juga seperti menggarap sembako dan BBM! Total, habis-habisan.

Mungkin Sapta Nirwandar sedikit malu, sudah duduk di Gedung Sapta Pesona, tetapi kunjungan wisatawannya masih kepala “sapta”, yang dalam bahasa Jawa Kuno artinya kepala tujuh? Kapan bisa melesat ke kepala “hasta”, “nawa” dan “dasa”? Delapan, sembilan, sepuluh juta? Kami menunggu tumpengan ganti nama Dasa Nirwanda! (*)

(*) Penulis adalah Pemimpin Redaksi-Direktur Indopos, dan Wadir Jawa Pos.


BACA ARTIKEL LAINNYA... Ferrari Ferrari

Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler