jpnn.com - Sarah Gilbert bukan atlet tenis lapangan juara Wimbledon, tetapi kehadirannya di stadion tenis Center Court Wimbledon beberapa waktu lalu mengundang tepuk tangan meriah dari seisi stadion.
Ribuan orang bertepuk tangan ketika namanya diumumkan oleh announcer. Ribuan orang seisi stadion kemudian berdiri sambil bertepuk tangan memberikan standing ovation.
BACA JUGA: Lagi, 1 Juta Dosis Vaksin AstraZeneca Tiba di Indonesia
Gilbert adalah profesor ahli vaksin dari Universitas Oxford, Inggris. Dia adalah penemu vaksin anti-Covid 19 AstraZeneca yang merupakan hasil kerja bareng pemerintah Inggris dengan Universitas Oxford tempat Gilbert bekerja.
Gilbert yang berusia 59 tahun tercengang ketika mendengar namanya diumumkan. Ia mendapat undangan khusus untuk menyaksikan pertandingan juara bertahan Novac Jokovic dan mendapat kehormatan untuk duduk di Royal Box, yang disediakan khusus untuk keluarga kerajaan dan tamu-tamu VVIP (very very important person).
BACA JUGA: Pemerintah Jepang Menghibahkan Vaksin AstraZeneca, Terima kasih ya
Ketika orang mulai bertepuk tangan, Gilbert masih belum sepenuhnya menyadari apa yang terjadi. Ia tersipu menahan malu. Beberapa saat kemudian seisi stadion berdiri, termasuk anggota keluarga Istana yang ada di Royal Box, memberinya standing ovation.
Gilbert akhirnya ikut berdiri dan tersenyum melambaikan tangan, lalu duduk kembali.
BACA JUGA: Kelebihan 100 Juta Dosis Vaksin AstraZeneca, Inggris Janjikan Ini kepada Dunia
Bagi masyarakat Inggris Gilbert adalah pahlawan kemanusiaan. Bagi warga seluruh dunia, Gilbert juga layak dijadikan sebagai pahlawan penyelamat kemanusiaan. Hasil kerjanya yang tidak kenal lelah menghasilkan vaksin AstraZeneca yang sekarang sudah diedarkan ke seluruh dunia.
Dari hasil kerja Gilbert, minggu ini seluruh rakyat Inggris dinyatakan bebas dari Covid 19, setelah pemerintah mengumumkannya pada Freedom Day, Hari Pembebasan, Senin (19/7).
Sarah Gilbert adalah pahlawan kemanusiaan, karena dia tidak mau menerima bayaran dari hak cipta dan hak paten vaksin ciptaannya. Gilbert menggratiskan karya ciptanya dan membebaskan AstraZeneca untuk memproduksinya tanpa membayar royalty.
Itulah sebabnya mengapa vaksin AstraZeneca sekarang menjadi vaksin paling murah di dunia. Tingkat efikasi dan keamanan AstraZeneca bisa bersaing dengan semua vaksin yang ada, tetapi harga AstraZeneca paling murah di antara semua vaksin yang sekarang beredar.
Harga jual AstraZeneca dalam kurs rupiah sekitar Rp 58 ribu per dosis. Johnson & Johnson dan Sputnik V buatan Rusia dan Amerika Serikat dijual 141 ribu. Sinovac buatan China yang sekarang banyak dipakai di Indonesia dijual dengan harga Rp 200 ribu.
Novavax dijual Rp 226 ribu per dosis. Pfizer-BioNTech buatan Amerika-Jerman dijual Rp 283 ribu per dosis. Dan yang paling mahal adalah Moderna yang dibanderol Rp 526 ribu per dosis, hampir sepuluh kali lipat harga AstraZeneca.
Dari daftar harga itu sudah bisa dibayangkan betapa mahalnya hak paten. Komponen biaya hak paten bisa jauh lebih mahal dibanding biaya produksi. Karena itu ketika Gilbert tidak mengutip biaya paten maka harga jual AstraZeneca bisa sepuluh kali lipat lebih murah dari vaksin buatan Amerika.
Bisa dibayangkan betapa super crazy rich para pemegang hak paten itu. Setelah mematenkan temuannya mereka akan menikmati royalti seumur hidupnya.
Diproduksi di mana pun di ujung dunia, royalti harus dibayar kepadanya. Itulah yang terjadi pada para inventor seperti Thomas Alfa Edison maupun inventor modern seperti Bill Gates yang kekayaannya mencapai USD 125 miliar atau Rp 1.700 triliun.
Orang-orang seperti Gates menjadi terkaya di dunia karena dia mempertahankan hak paten produk-produknya di Microsoft.
Kalau Anda memakai produk bajakan Microsoft maka Anda akan ditangkap polisi kapan saja ada operasi. Karena itu kemudian muncul open source sebagai operating system gratis untuk membongkar monopoli produk kapitalis liberal seperti punya Bill Gates itu.
Dalam kondisi pagebluk global seperti sekarang, ketika semua manusia di seluruh dunia yang jumlahnya tujuh miliar orang, dipaksa untuk melakukan vaksinasi dua kali suntikan.
Berapa besar biaya yang dikeluarkan untuk membeli vaksin sebanyak 14 miliar dosis. Siap yang menyedot keuntungan raksasa di tengah penderitaan dunia?
Sebagian besar uang itu lari ke Amerika. Sebagian lainnya lari ke China. Namun, Amerika tetap yang akan menjadi pemenang dari pagebluk global ini. Selama ini, dengan berlindung di balik globalisasi dengan mantra perdagangan bebas, Amerika mengeruk 90 persen keuntungan dari hak paten dan 95 persen seluruh biasa lisensi dunia.
Kapitalisme Amerika membanggakan ‘’American Dream’’, Mimpi Amerika. Anda bisa menjadi apa saja. Anda bisa menjadi sekaya apa saja.
Tidak ada yang akan mengusik Anda. Jalan apa yang Anda pakai untuk mengeruk kekayaan itu, terserah Anda. Mimpi Amerika bisa diraih oleh siapa saja, dengan cara apa saja.
Perlindungan hak paten adalah bagian dari Mimpi Amerika itu. Karena hak paten dilindungi dengan sangat ketat, sampai ke tingkat sakral, maka Amerika menjadi negara surga bagi para inventor. Hak cipta dilindungi sebagai hak sakral individual.
Karena itu Amerika bisa membusungkan dada sebagai negara dengan jumlah innovator terbesar di seluruh dunia.
Orang-orang seperti Bill Gates, Warren Buffet, atau George Soros bisa menjadi super crazy mega-rich karena hidup dalam sistem Amerika. Mereka bisa mengeruk dan menumpuk harta sebanyak mungkin, sampai akhirnya mereka kebingungan bagaimana cara menghabiskannya.
Karena itu, orang-orang seperti Gates, Buffet, dan Soros beralih menjadi filantropis, orang-orang dermawan, yang membagi-bagikan uang mereka untuk kegiatan amal sosial ke seluruh dunia.
Rasanya sungguh ironis. Mereka menyedot uang dengan rakus dari seluruh dunia, lalu setelah kekenyangan, mereka memberikannya sebagai amal saleh kepada warga dunia yang sudah mereka sedot darahnya.
That’s the beauty of global capitalistic system, itulah cantiknya sistem kapitalis yang berlindung di balik globalisasi sekarang ini. Sistem yang licik dan culas itu dijaga oleh tiga institusi dunia WTO (Organisasi Perdagangan Dunia), IMF (Dana Moneter Internasional), dan World Bank (Bank Dunia).
Ketiganya adalah institusi buatan Amerika dan Eropa yang menjadi anjing penjaga kepentingan imperialisme global mereka.
Sekarang ini, ketika dunia sedang dilanda pagebluk global, institusi kesehatan dunia seperti WHO harusnya menjadi penyelamat keadaan. Namun, kenyataannya WHO masih belum bisa berbuat banyak. Malah banyak yang menuduh WHO menjadi bagian dari konspirasi besar pandemisasi dunia sekarang ini.
Para pengkritik globalisasi seperti Joseph Stiglitz sudah lama mengendus bau busuk praktik ini. Dalam skala yang lebih kecil, di Indonesia Siti Fadilah Supari, juga mengendus praktik miring korporasi farmasi dunia yang berlindung di balik WHO.
Sarah Gilbert membuka mata dunia, bahwa di puncak derita pandemi global, ternyata ada kekuatan raksasa yang menangguk untung besar. (*)
Simak! Video Pilihan Redaksi:
Redaktur & Reporter : Tim Redaksi