jpnn.com, JAKARTA - Kepala Neurosurgeon Rumah Sakit Pusat Otak Nasional (PON) Jakarta Dr. Abrar Arham memberi saran penting untuk mencegah terjadinya pembuluh darah di otak pecah.
Dia menyarankan penting rutin skrining otak untuk mencegah aneurisma yakni kondisi dinding pembuluh darah otak melebar atau menonjol (ballooning).
BACA JUGA: Kapolri Keluarkan Perintah, Bang Edi Bilang Begini
Skrining penting dilakukan rutin karena umumnya hal tersebut tak bergejala.
Menurutnya, kondisi akibat lemahnya dinding pembuluh darah diperkirakan dialami satu orang setiap 18 menit.
BACA JUGA: Beredar di Medsos 4 Prajurit Tewas, Letkol Christian Bilang Begini
Selain itu, diperkirakan 500 ribu orang meninggal setiap tahun karena masalah tersebut.
"(Aneurisma) tidak bergejala. Suatu saat dia pecah, fatal."
BACA JUGA: Kompak Banget Nih Anies Baswedan dan Luhut Binsar, Lihat deh Fotonya
"Kami menganjurkan check up, datang ke rumah sakit check-up, MRI."
"Usia di atas 40 tahun bisa check-up," ujar Dr. Abrar Arham dalam diskusi media secara daring bertajuk 'Flow Diverter', 'Penanganan Pecah Pembuluh Darah Otak Tanpa Pembedahan', Kamis (16/9).
Bila seseorang tiba-tiba merasa sakit kepala hebat atau bahkan kehilangan kesadaran, dia menyarankan untuk segera berkonsultasi ke dokter agar segera mendapatkan penanganan.
Hal ini seperti yang dialami aktor Dallas Pratama (37) pada tahun 2015.
Suami dari selebritas Kaditha Ayu itu pernah mengalami koma akibat pecahnya pembuluh darah otak bagian kiri.
Diawali sakit kepala seperti ditusuk-tusuk.
Kaditha mengatakan sang suami juga mengalami muntah dan sempat tak sadarkan diri.
Dia lalu membawanya ke fasilitas kesehatan dan suami ditangani dengan tindakan coiling.
Yakni, memasukkan coil melalui akses pembuluh darah ke lokasi target, sehingga darah tidak lagi masuk ke dalam kantong aneurisma yang pecah tersebut.
Coiling aneurisma tergolong teknik minimal invasif endovaskular dan menjadi pilihan penanganan aneurisma selain operasi bedah mikro.
Tindakan endovaskular sendiri kini sudah mengalami perkembangan, salah satunya pemasangan cerebral flow diverter dengan angka keberhasilan hingga 95 persen.
Metode yang sudah mulai diterapkan di RSPON beberapa tahun lalu ini dikatakan memiliki sejumlah keunggulan seperti prosedur relatif cepat, pasca-tindakan pasien tidak perlu perawatan ICU, mengurangi lamanya rawat inap pasien dan tidak ada luka sayatan.
Sejumlah faktor dapat menyebabkan kelemahan pada pembuluh darah dan meningkatkan risiko aneurisma otak atau pecahnya aneurisma yang bisa menyerang orang berusia muda.
Faktor risiko ini, seperti dikutip dari Mayo Clinic antara lain usia yang lebih tua, kebiasaan merokok, tekanan darah tinggi (hipertensi), penyalahgunaan narkoba dan kebiasaan mengonsumsi minuman beralkohol berat.
Beberapa jenis aneurisma juga dapat terjadi setelah cedera kepala (membedah aneurisma) atau dari infeksi darah tertentu (aneurisma mikotik).
Di sisi lain, pola makan tak sehat yakni tinggi kolesterol, kurang beristirahat dan obesitas juga menjadi faktor risiko masalah pembuluh darah ini.
Kebanyakan aneurisma biasanya tak bergejala kecuali aneurisma pecah.
Namun, aneurisma yang tidak pecah masih dapat menghalangi sirkulasi ke jaringan lain, membentuk gumpalan darah yang dapat menghalangi pembuluh darah yang lebih kecil.
Kondisi ini dikenal sebagai tromboemboli yang bisa berujung stroke iskemik atau komplikasi serius lainnya.(Antara/jpnn)
Redaktur & Reporter : Ken Girsang