jpnn.com, JAKARTA - Tokoh nasional, Rizal Ramli menyatakan kemelut di Papua tidak bisa diselesaikan dengan cara-cara represif. Bahkan, penangkapan mahasiswa asal Bumi Cendrawasih yang dituding makar justru akan menambah persoalan baru di kemudian hari.
Pemerintah sebaiknya mengintropeksi diri terhadap hal-hal yang selama ini belum dilakukan dalam memenuhi rasa keadilan bagi masyarakat yang bermukim di bumi mutiara hitam di timur Indonesia.
BACA JUGA: Aparat Diminta Usut Kaitan LBH Jakarta dengan Gerakan Separatis Papua
Rizal mengatakan ada lima langkah yang bisa ditempuh pemerintah guna meredam konflik di Papua dan memenuhi rasa keadilan bagi masyarakat.
Pertama, terkait dengan adanya dorongan Papua dan Papua Barat untuk keluar dari NKRI, pemerintah sejatinya meniru cara Presiden Keempat RI Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, dengan membuka ruang dialog dengan tokoh-tokoh adat layaknya keluarga yang berbeda pendapat.
BACA JUGA: Pemerintah Batasi WNA Masuk Wilayah Papua, Ini Alasannya
BACA JUGA: Rizal Ramli Memohon kepada Jokowi: Pecat dong Menteri Perdagangannya
Menurut dia, Gus Dur selalu menganggap teman-teman Papua yang ingin merdeka ini seperti saudara sendiri. Jadi penyelesaiannya dengan membuka ruang dialog secara terbuka seperti menyelesaikan persoalan keluarga.
BACA JUGA: Wiranto Ungkap Peran Benny Wenda dalam Aksi Rusuh di Papua dan Papua Barat
“Kalau ada anak-anak kita mau keluar rumah, masa kita gebuk, masa mau kita usir, masa mau kita bilang silakan. Justru kita pakai alat untuk intropeksi dan cari jalan keluar," kata Rizal, Senin (2/8).
“Apakah sebagai orang tua saya sudah benar atau belum, sudah adil belum, saya perhatikan anak-anak saya sama atau tidak?" lanjutnya.
Menurut Rizal, Gus Dur tidak pernah mempermasalahkan ucapan masyarakat Papua yang ingin merdeka dan keluar dari RI, namun selalu menjadikannya sebagai pintu introspeksi serta merangkul masyarakat.
"Itu sebetulnya ungkapan dari rasa ketidakadilan. Itulah kenapa buat Gus Dur tidak ada masalah yang ngomong kayak begitu, bahkan dirangkul. Kalau salah kita benerin," ujar mantan Menko Ekuin era pemerintahan Presiden Gus Dur itu.
Langkah kedua, aparat keamanan harus menindak tegas para pelaku yang mengintimidasi dan mengeluarkan ucapan rasial pada warga Papua di Asrama Surabaya dan Malang.
“Jangan yang di Papua dan mahasiswa yang demo saja yang ditangkap, tapi di Surabaya bagaimana? Yang di Malang bagaimana? Harusnya pelaku rasial itu langsung ditangkap dan diproses hukum dong!” kata Rizal.
Mantan anggota Tim Panel Bidang Ekonomi PBB itu mengkhawatirkan bila isu rasial ini dibiarkan berlarut-larut, maka tidak menutup kemungkinan Indonesia akan dianggap sebagai pelanggar hak asasi manusia (HAM) oleh dunia internasional.
Pasalnya, dalam International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination (ICERD) secara tegas telah disepakati adanya penghapusan segala bentuk diskriminasi rasial.
"Dunia internasional bisa manfaatkan sebagai pintu masuk pelanggaran HAM bila isu rasial ini tidak ditindak tegas dan dibiarkan berlarut," tukas Rizal.
Ketiga, berkaitan dengan adanya kelompok bersenjata, Rizal Ramli mendukung cara-cara yang sudah dilakukan pemerintah dalam menindak tegas para pelaku tersebut.
Hanya saja tokoh mahasiswa yang pernah di penjara 1,5 tahun di penjara militer dan Sukamiskin karena melawan sikap otoriter Orba itu mengatakan, aparat keamanan tidak boleh melakukan tindakan kekerasan terhadap rakyat sipil yang tidak bersenjata di mana pun di seluruh Indonesia termasuk di Papua.
Aparat keamanan harus melakukan pemetaan secara matang antara-kelompok bersenjata dengan warga sipil. Jangan karena panik, memberondong senjata dengan serampangan, karena khawatir warga sipil yang justru menjadi korban.
“Tambahan pula, tindakan represif terhadap rakyat sipil tersebut justru akan semakin memperkuat dukungan terhadap kelompok bersenjata seperti terjadi di Timor Timur dan Aceh," katanya.
Keempat, Rizal menuturkan, harus ada keadilan ekonomi dan sosial bagi masyarakat Papua. Dana otonomi khusus harus bisa dimanfaatkan oleh rakyat secara nyata. Misalnya, sebut Rizal, memberikan dana kesejahteraan melalui kartu anjungan tunai mandiri (ATM). Hal itu, kata Rizal, telah diterapkan di Alaska.
"Semua rakyat Papua diberikan kartu ATM BRI, dan setiap orang diberikan dana kesejahteraan senilai Rp 1 juta per orang per bulan. Tetapi, alokasi dana harus diprioritaskan untuk mama-mama untuk dikelola, karena pasti bermanfaat untuk makanan, kesehatan dan pendidikan," paparnya.
Tokoh Gerakan Anti Kebodohan yang memperjuangkan wajjb belajar 6 tahun pada tahun 1977 itu mengatakan seiring dengan adanya pemberian dana kesejahteraan untuk masyarakat Papua, pemerintah juga harus membatasi peredaran minuman keras dengan tegas agar dana yang disalurkan benar-benar bermanfaat bagi masyarakat.
"Pemerintah harus membatasi peredaran miras secara masif dan tegas," cetus Rizal Ramli.
Kelima, lanjut Rizal, pemerintah harus memberikan kesempatan bagi putra-putri Papua untuk menjadi pemimpin birokrasi nasional, lokal, TNI dan Polri.
Berikan kesempatan bagi putra dan putri Papua untuk mengembangkan kemampuannya, sehingga mereka bisa menjadi pemimpin nasional.
"Karena saya lihat sekarang ini jarang sekali putra-putri Papua menjadi pemimpin di level nasional, TNI, dan Polri. Kalau di TNI yang saya tahu sekarang ini Mayor Jenderal TNI Joppye Onesimus Wayangkau. Sebelumnya ada Mayjen TNI Herman Asaribab dan Laksamana Madya TNI (Purn) Freddy Numberi yang kemudian berkesempatan menjadi Menteri," tutur Rizal Ramli.
“Kita dorang semua bersaudara, itulah kekuatan yang membuat Indonesia tangguh dan hebat,” pungkas Rizal Ramli. (Boy/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Jumlah Tersangka Kerusuhan di Papua dan Papua Barat Banyak Banget
Redaktur & Reporter : Boy