Sarjana Bisnis yang Tercebur di Lapangan Hijau

Minggu, 27 Mei 2012 – 13:29 WIB

HANYA dalam 75 hari, Roberto di Matteo berhasil mempersembahkan dua trofi bergengsi, Piala FA dan Liga Champions. Capaian fantastis untuk pelatih yang awalnya menganggap sepak bola hanya sebagai hobi.
------------------
JIKA melihat curriculum vitae (CV) Di Matteo, tidak ada rekam jejak mengenai karir juniornya. Di Matteo tercatat langsung memulai karirnya pada usia 18 tahun di klub asal kota kelahirannya di Swiss, Schaffhausen. Di Matteo mengatakan, dirinya dibesarkan oleh orang tua yang menginginkan anaknya menempuh pendidikan setingi-tingginya.

Orang tua Di Matteo yang imigran Italia itu harus bekerja keras membanting tulang agar Di Matteo dan adik perempuannya bisa terus bersekolah. “Keluarga kami tidak cukup mampu. Ayah bekerja di pabrik baja, sedangkan ibu bekerja paro waktu sebagai cleaning service kantor. Jadi, ketika ayah pulang, ibu saya berangkat kerja,” kata Di Matteo sebagaimana dilansir The Independent.

Kalaupun Di Matteo melirik sepak bola, itu karena olahraga tersebut menjadi mata pelajaran siswa pria di sekolahnya. Juga karena rumahnya berdekatan dengan lapangan sepak bola. “Kedua orang tua saya mengatakan, saya boleh bermain sepak bola asalkan harus menyelesaikan studi,” sambungnya.

Alhasil, setelah lulus sebagai sarjana bisnis di sebuah perguruan tinggi di Swiss, Di Matteo mantap menjadi pesepak bola profesional. Namanya mulai dikenal di Swiss setelah membawa Aarau sebagai juara Super League Swiss 1993 dan terpilih sebagai pemain terbaik di tahun yang sama.

Sukses itu membuat dia tertantang menjajal karir baru di negeri leluhurnya, Italia. Lazio mendapatkannya secara gratis. Tapi, Di Matteo hanya bertahan tiga tahun di klub asal Roma tersebut karena konflik dengan pelatih Lazio kala itu, Zdenek Zeman. Pada 1996, Di Matteo pun hengkang ke Chelsea dan menjadikannya sebagai pembelian termahal kala itu.

“Saya pergi juga karena ingin mendapatkan kehidupan normal. Di Roma, saya menjalani profesi sepak bola selama 24 jam. Sedangkan di London, saya masih memiliki banyak waktu berjalan di taman, pergi ke bioskop, atau berbelanja tanpa dikenali oleh siapa pun. Saya cinta dengan kehidupan di London,” tutur Di Matteo.

Betah hidup di London membuat Di Matteo juga berjodoh dengan Chelsea. Di musim pertama, dia berhasil membawa The Blues – sebutan Chelsea – memenangi Piala FA sesuai mengalahkan Middlesbrough 2-0. Di Matteo bahkan membuka skor saat laga baru berjalan 42 detik. Itu menjadi gol tercepat dalam sejarah Piala FA sebelum dipecahkan 12 tahun kemudian oleh Louis Saha. Yakni, ketika striker Everton itu hanya butuh 29 detik untuk membobol gawang Chelsea.

Di musim keduanya bersama Chelsea, Di Matteo malah menjadi bagian sukses The Blues merebut treble winners (Piala Liga Inggris, Piala Winners, dan Piala Super Eropa). Tapi, pada Februari 2002, dia dipaksa pensiun dini (usia 31) karena frustrasi oleh cedera. Yang paling parah adalah ketika tiga tulang kakinya retak dan memaksanya absen dari lapangan hijau selama 18 bulan.

“Saya menjalani operasi hingga sepuluh kali, sembilan di antaranya bahkan berlangsung hanya dalam kurun waktu enam pekan.

Seusai gantung sepatu, Di Matteo mulai merambah dunia baru sebagai komentator televisi, menempuh MBA di Sekolah Ekonomi Eropa, dan menekuni bisnis restoran. Tapi, dia memang tidak bisa jauh dari sepak bola. Dia mengambil kursus kepelatihan. “Profesi pelatih saya anggap sebagai pengganti waktu saya sebagai pemain yang hilang,” ujarnya.

“Juga karena saya melihatnya sebagai tantangan menarik karena di kompetisi kasta bawah Inggris, masih banyak pemain yang belum memahami bagaimana mengatur ritme permainan,” sambungnya.

Keputusan Di Matteo tidak salah. Di musim pertamanya sebagai pelatih, Di Matteo membuat Milton Keynes Dons finis ketiga di League One (kasta ketiga kompetisi di Inggris). Semusim berikutnya, dia pun digaet West Bromwich Albion. Sentuhan magis Di Matteo kembali membuahkan hasil karena West Brom promosi ke Premier League di musim pertamanya.

Di Matteo mampu menggebrak di awal kiprahnya di Premier League. Tapi, perlahan tapi pasti, minimnya pengalaman berdampak pada anjloknya performa The Baggies – sebutan West Brom – sehingga Di Matteo dilengserkan pada Februari 2010 atau tujuh bulan setelah kompetisi berjalan.

Namun, Di Matteo seolah menemukan peruntungannya kembali ketika musim panas tahun lalu dirinya mendapat tawaran membantu pelatih baru Chelsea Andre Villas-Boas. “Saya sebenarnya masih depresi (karena dipecat West Brom, Red). Tapi, saya menemukan filosofi yang sama dengan Andre, seolah kami adalah teman selama 30 tahun,” ungkapnya.

Ketika Boas gagal, Di Matteo seperti menemukan ilmu baru. Sebab, Di Matteo adalah seorang pelatih yang belajar dari mereka yang gagal. “Saya belajar agar tidak mengulang kesalahan mereka. Seperti saat saya tidak menikmati karir saya di Chelsea saat dilatih Gianluca Vialli maupun saat bersama (Claudio) Ranieri,” jelasnya.

Sedangkan pelatih yang menjadi panutannya ada tiga nama. Yakni, Ralf Fringer yang memolesnya di Aarau, lalu pelatih yang membawanya ke Chelsea Ruud Gullit dan Arrigo Sacchi yang memanggilnya ke timnas Italia. “Saya mengamati kinerja mereka dan bagaimana mereka memperlakukan pemain,” jelasnya lagi. (dns/bas)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Totalitas Khrisna Pabichara saat Menggarap Novel Sepatu Dahlan


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler