Totalitas Khrisna Pabichara saat Menggarap Novel Sepatu Dahlan

Blusukan ke Kebun Tebu dan Napak Tilas Enam Kilometer

Kamis, 24 Mei 2012 – 10:01 WIB
Khrisna Pabichara (tengah) menyerahkan buku "Sepatu Dahlan" kepada Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini saat peluncuran buku di Jaran Raya Darmo, Minggu (20/5). Dahlan Iskan menyaksikan penyerahan buku "Sepatu Dahlan". Foto : Fedrik Tarigan/Jawa Pos

Meski sudah menghasilkan 13 buku, menggarap novel merupakan hal baru bagi Khrisna Pabichara. Tidak mau asal-asalan, dia melakoni riset mendalam. Termasuk, mendatangi kota-kota yang pernah ditinggali Dahlan Iskan, tokoh utama dalam buku fiksi karyanya tersebut.
 
 PANJI DWI ANGGARA, Surabaya
 
SENYUM tidak bisa lepas dari wajah tirus Khrisna Pabichara, Minggu lalu (20/5). Itu wajar. Sebab, perasaannya memang sedang bungah. Kerja kerasnya menulis novel Sepatu Dahlan yang terinspirasi dari kisah hidup Menteri BUMN Dahlan Iskan akhirnya selesai. Pagi itu, buku setebal 369 halaman tersebut di-launching di tengah ramainya acara car free day di Jalan Raya Darmo, Surabaya.
 
Bagi Khrisna, buku yang cover-nya berwarna dominan biru muda tersebut bukan sekadar karya sastra biasa. Novel itu menjadi taruhan profesinya sebagai penulis. Bila karyanya jelek, namanya pasti akan menjadi bulan-bulanan kritikus.

Sebaliknya, bila dinilai baik, tentu nama Khrisna juga harum. Apalagi, novel itu mengadopsi sejarah perjalanan hidup seorang tokoh populer sekelas Dahlan Iskan. Karena itu, Khrisna tak mau main-main dalam menggarapnya.

Sembari ditemani segelas es susu kedelai, Khrisna berbagi cerita awal mula keterlibatan dirinya dalam penulisan novel Sepatu Dahlan. "Pembuatan novel ini sangat cepat. Saya ditawari penerbit pada pertengahan Januari lalu," ungkap pria kelahiran Makassar, 10 November 1975, itu.

Semula, Khrisna diminta memilih di antara dua tokoh yang kini ramai-ramainya menjadi pembicaraan masyarakat. Selain Dahlan Iskan, Khrisna diberi opsi menulis novel dengan latar belakang sejarah kehidupan Wali Kota Solo Joko Widodo (Jokowi).

Tapi, dia akhirnya memilih sosok Dahlan karena termasuk pengagum berat mantan Dirut PLN tersebut. "Saya mengagumi beliau karena tangguh, disiplin, serta pekerja keras," ujar Khrisna.

Hanya, dia sempat kaget karena deadline yang diberikan penerbit sangat mepet. Dia diberi jatah waktu hingga April untuk menyelesaikan novel tebal itu. Padahal, dirinya mesti melakukan riset dan wawancara langsung dengan tokoh yang akan ditulis. Meski begitu, Khrisna optimistis mampu menyelesaikan buku tersebut sesuai deadline karena faktor sang tokoh yang "amat bercerita".
 
"Sejak awal saya optimistis bisa menyelesaikan novel ini dengan cepat. Sebab, Abah (begitu Khrisna memanggil Dahlan Iskan, Red) memberikan banyak kemudahan untuk menulis tentang dirinya," cerita suami Mamas Aurora Masyitoh tersebut.
 
Sehari setelah menyanggupi tantangan penerbit, Khrisna langsung membuat peta naskah. Yakni, apa saja yang akan ditulis, bagaimana plotnya, dan bagaimana cara mendapatkan data-data primer untuk karyanya tersebut.
 
Begitu konsepnya disetujui penerbit, Khrisna diajak menemui langsung Dahlan Iskan. Bukan di kantor atau restoran, melainkan di lapangan Monas, Jakarta, saat Dahlan melakukan senam pagi.
 
"Kesan pertama saya, ternyata yang dilakukan Abah bukan sekadar pencitraan. Beliau mau dan tanpa risi bersenam bersama ribuan warga. Bahkan, dengan sabar mau meladeni permintaan masyarakat yang ingin berfoto bersama atau minta tanda tangan," ungkapnya.
 
Pembicaraan mereka pagi itu cukup lama sampai akhirnya Dahlan setuju kisah hidupnya dijadikan inspirasi untuk membuat novel. Sejak itu, Khrisna mulai mengakrabi segala aktivitas maupun tulisan-tulisan mantan CEO Jawa Pos tersebut.
 
Bahkan, agar lebih mengenal karakter tokoh utamanya, awal Februari lalu, Khrisna memutuskan untuk terbang ke Surabaya dan menginap di kediaman Dahlan. Selama tiga hari dua malam dia bertransformasi menjadi keluarga inti Dahlan.

Beragam hal yang dilakukan Dahlan dilihat dan dicatat. Mulai saat berbincang santai, nonton televisi, berdiskusi, menerima tamu, hingga makan bersama dalam satu meja.
 
"Sangat banyak yang saya rasakan saat mendapat kesempatan langka itu. Saya jadi tahu siapa sebenarnya tokoh yang saya hadapi dan akan saya tulis dalam novel itu," tuturnya.
 
Bagi Khrisna, berbincang dengan Dahlan merupakan pintu masuk untuk mendapatkan segala hal yang berkaitan dengan penulisan novelnya. "Semua perbincangan saya rekam. Umumnya ngobrol santai tentang banyak hal. Karena itu, mesti saya seleksi yang cocok menjadi bahan penulisan," jelas ayah Shahrena Adenia dan Shahrayya Adelia itu.
 
Bukan hanya Surabaya yang dia sambangi. Khrisna juga mendatangi kota-kota lain yang pernah ditinggali Dahlan dalam perjalanan hidupnya. Di antaranya, kota kelahiran Dahlan Magetan, lalu Madiun, Ponorogo, Kertosono, Ngawi, dan Samarinda. Di kota-kota tersebut, dia berburu informasi tentang sosok yang akan ditulis. Baik dari saudara kandung, sahabat, hingga teman-teman angkatan Dahlan saat bersekolah.
    
Banyak hal menarik yang dia alami saat menelusuri dan menggali data di desa-desa yang pernah ditinggali Dahlan. Apalagi, Khrisna sejak awal ingin menggambarkan Dahlan sebagai sosok apa adanya. Bukan sosok malaikat yang turun dari langit dan tidak memiliki cela.
    
Karena itu, ketika mendapat informasi bahwa Dahlan kecil pernah mencuri tebu di ladang, Khrisna berupaya mendapatkan gambaran riil di mana ladang yang dimaksud. Untuk itu, Khrisna pun mencoba menjadi Dahlan kecil sedang mencuri tebu di ladang yang ada di desanya.

Tak lupa dia mengenakan kaus tipis dan celana pendek seperti yang dipakai Dahlan kecil dulu. "Karena menurut beliau, waktu ngambil tebu itu yang dipakai ya baju seperti itu," katanya.
    
Namun, bukan manisnya tebu yang diperoleh Khrisna, melainkan tangan dan kakinya jadi memerah dan perih terkena daun-daun tebu yang sedang tumbuh."Rasanya sakit sekali. Apalagi, ketika saya mandi," ujarnya sembari memperlihatkan bekas-bekas goresan berwarna merah di lengannya.
    
Pengalaman menarik tersebut tidak berhenti sampai di situ. Karena novel pertama dari trilogi itu mengangkat tema sepatu Dahlan, Khrisna pun rela menapaktilasi jalan yang biasa ditempuh Dahlan saat pergi ke sekolah tanpa sepatu. Jaraknya lumayan jauh, sekitar enam kilometer, melewati pematang sawah dan keluar masuk desa.

Di tengah terik matahari, Khrisna melangkahkan kaki setapak demi setapak melewati jalanan yang puluhan tahun lalu ditempuh pria ndeso yang kini menjadi menteri Kabinet Bersatu II itu. Untuk menempuh jarak sejauh itu, Khrisna membutuhkan waktu sekitar satu jam 20 menit.

"Padahal, menurut Abah, dulu beliau sanggup menempuhnya hanya dalam waktu satu jam. Benar-benar luar biasa," kisah Khrisna.

"Kaki rasanya sangat pegal. Padahal, saat itu saya mengenakan sepatu. Bagaimana Abah dulu yang ke mana-mana selalu nyeker. Makanya, niat untuk pulang dengan jalan enam km lagi saya urungkan karena sudah tidak kuat," sambung penulis yang produktif menulis cerpen dan esai di berbagai koran itu.

Total Khrisna membutuhkan waktu 1,5 bulan untuk melakukan riset mendalam tentang naskah novelnya. Hebatnya, dia hanya memerlukan waktu delapan hari untuk menyelesaikan novel itu dalam bentuk tulisan.

Tapi, dalam kurun waktu tersebut dia terpaksa menjauhkan diri dari kehidupan sosial. Telepon dan SMS, kalau bukan dari istri atau pihak penerbit, tidak diresponsnya. Begitu juga jejaring sosial seperti Facebook dan Twitter-nya tidak pernah disentuh."Alhamdulilla h, saya benar-benar bisa menuliskannya dengan cepat dan mengalir deras hingga rampung," tuturnya
    
Kini, setelah novel pertama kelar dan laris di pasaran, pekerjaan Khrisna belum selesai. Dia mesti segera menggarap buku kedua, Surat Dahlan, dan buku ketiga, Kursi Dahlan.

"Saya akan secepatnya menuliskan kedua novel itu. Mumpung masih semangat-semangatnya. Kalau ditunda-tunda, khawatir tidak segera selesai," tandas Khrisna. (*/c2/ari)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Reisa Kartikasari, Mantan Putri Indonesia Lingkungan yang Juga Anggota Tim DVI Polri


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler