Sarjana-Sarjana Tangguh yang Mendidik di Daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal (2-Habis)

Riski pun Tinggal Sendiri di Aula Sekolah

Kamis, 02 Februari 2012 – 00:02 WIB
Para sarjana peserta SM3T tengah bercengkrama dengan para murid SD. Foto : Rukin Firda/Jawa Pos

Kondisi topografis Kabupaten Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT), melahirkan banyak sekolah terpencil. Bagi para sarjana SM3T, keterbatasan itu justru menjadi tantangan yang membulatkan tekad mereka untuk kembali ke sana setelah program itu selesai Desember mendatang.
 
  RUKIN FIRDA, Sumba Timur
 
KOORDINATOR SM3T (Sarjana Mendidik di Daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal) Universitas Negeri Surabaya (Unesa) Prof Dr Lutfiyah Nurlaera menerima SMS dari Riski Soegiarto, salah seorang sarjana peserta. Kurang lebih isinya seperti ini:
 
Ibu, saya Riski. Saya ditugaskan di SD Ramuk, Kecamatan Pinupahar. Ibu, tempat saya sangat jauh dari kecamatan. Saya harus berjalan melintasi bukit dan menembus hutan serta menyeberangi banyak sungai, jika saya akan ke kecamatan, dengan jarak tempuh lebih dari 5 jam. Makanya ketika ada supervisi tempo hari, saya tidak bisa menemui ibu di kecamatan. Ibu, sebenarnya saya sangat berat meninggalkan kepala sekolah, guru-guru, dan murid-murid saya di sini. Tapi, saya tidak yakin saya kuat tinggal di sini.
 
SMS itu datang ketika program SM3T baru berjalan sebulan. Riski merasa tidak yakin bisa kuat melanjutkan tugasnya di SD Ramuk. Selain karena lokasi sekolah yang terpencil, perempuan 23 tahun itu harus tinggal seorang diri di aula.

Sarjana PGSD asal Candi, Sidoarjo, Jawa Timur, itu tidak seberuntung rekan-rekannya yang bisa tinggal berkelompok 5-9 orang. Karena penempatan sarjana SM3T yang didasarkan pada kebutuhan, gadis berjilbab itu ditugaskan di SD Ramuk seorang diri.

Namanya yang mengesankan sebagai lelaki memang mengecoh pejabat di Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga Sumba Timur. Andai mereka mengetahui Riski adalah perempuan, bisa jadi dia tidak akan ditugaskan sendiri seperti itu.

Anak tertua di antara dua bersaudara yang dilahirkan Desember 1988 itu memanfaatkan aula sekolah sebagai tempat tinggal. Sendirian, dia harus melewati malam tanpa aliran listrik dengan jendela yang hanya dipasangi kawat ram.

Mengetahui kondisi seperti itu, rekan-rekannya yang ditugaskan di SMP Uma Ndudu bergantian menemani Riski. SMP Uma Ndudu adalah sekolah terdekat dengan SD Ramuk yang bisa ditempuh dengan berjalan kaki naik-turun bukit sekitar satu jam.

Lutfi "panggilan akrab Prof Lutfiyah" akhirnya bisa mengunjungi dan bertemu langsung dengan Riski di "mess"-nya, aula SD Ramuk. Begitu Riski membuka pintu aula dan melihat Lutfi, wajah imut namun tegar itu seakan tidak percaya dengan sosok yang berdiri di hadapannya.

Tubuh mungil itu pun langsung menghambur dan memeluk Lutfi. Meski terharu, keinginan agar dipindah seperti dalam SMS-nya tidak terlihat. Dia terlihat tegar dan kuat menjalani kesendiriannya dalam menjalankan tugas. Dia sempat berbisik kepada Lutfi. "Beri saya teman, Ibu. Saya membutuhkan teman," katanya.

Dia menambahkan, bukan kesepian yang membuat dirinya membutuhkan teman melainkan ada bisa membantunya merancang program-program bagi anak-anak didiknya.

Apa yang mengubah Riski yang tergambar dalam SMS-nya dengan keadaannya saat ini? "Antusiasme anak-anak dan keramahan masyarakat sekitar," ujarnya, lantas tersenyum.

Sebelum ada sarjana SM3T di sekolah Riski, siswa terkesan enggan ke sekolah. Selain keharusan membantu orang tua, sering mereka merasa sia-sia ke sekolah karena justru gurunya yang tidak hadir.

Kehadiran Riski membuat semangat anak-anak itu untuk belajar mendapat jawaban. Anak-anak terlihat sangat haus akan pengetahuan.

Di pagi hari, jika mereka belum mendapati Riski di ruang kelas, siswa mendatangi dia  di "mess". Mereka bersama-sama memanggil nama Riski dengan sebutan "Ibu Guru" untuk segera keluar dan memberi mereka pelajaran. "Saya benar-benar trenyuh," tuturnya.

Para siswa itu juga rela berjalan kali berkilo-kilometer untuk sampai di sekolah. Banyak di antara mereka yang bertelanjang kaki, bersandal jepit, atau sepatu kebesaran. "Bekalnya adalah selembar buku dan sebatang pol bolpoin atau pensil," ungkap Riski.

Dorongan lain yang membuat Riski bisa bertahan dan melupakan kesendiriannya adalah respons masyarakat sekitar sekolah. Kenyataan bahwa antara dia dan masyarakat berbeda keyakinan tidak menjadi penghalang.

Riski menilai, masyarakat di Ramuk "secara umum di Sumba Timur" sangat toleran dan menghormati keyakinannya. Saat ada upacara adat yang dilengkapi dengan sajen hewan ternak, masyarakat di sana memberikan perlakuan berbeda pada masakan yang diberikan kepada Riski dan juga peserta SM3T lainnya.

"Ternaknya diberikan hidup-hidup dan meminta kami menyembelih dan memasak sendiri. Mereka tidak ingin ternak itu menjadi makanan yang haram dan najis berdasar keyakinan kami," tutur Sutikno, yang ditugaskan di SMP Kahembi, Kecamatan Tabundung. Kini dia mengaku sudah ahli menyembelih kambing atau lembu. "Cuma, kalau menyembelih kuda, saya belum berani," tambahnya.

Selain keramahan warga, penghormatan mereka terhadap guru menjadi pendorong para peserta SM3T untuk mantap menjalani tugas mereka. Bagi masyarakat Sumba Timur, guru disejajarkan dengan kalangan bangsawan.

Sutikno menuturkan bahwa dirinya dan rekan-rekan kerap diundang untuk mengikuti rapat dusun. Dia sering diminta untuk memberikan masukan guna pengembangan dusun tempat sekolah mereka berada.

Salah satu masukan Mbah Tik "panggilan akrab Sutikno" adalah menanam padi jenis cepat panen. "Saya sudah mendatangkan bibit padi itu dan sedang dalam perjalanan ke sini," katanya.

Secara umum, kekuatan yang menjadi pendorong para sarjana tersebut menjalani program SM3T dengan segala keterbatasan dan kesulitan adalah antusiasme warga dan anak-anak didik mereka. Camat Pinupahar Drs Andreas Marumata mengatakan bahwa telah terjadi lompatan besar di sekolah-sekolah di kecamatannya setelah datangnya para sarjana SM3T itu.

"Selama ini kami sangat kekurangan guru. Satu SD yang terdiri atas enam kelas (I?VI) hanya memiliki seorang guru," katanya.

Dengan kondisi tersebut, wajar jika anak-anak yang sebenarnya sangat haus akan pendidikan itu terkesan enggan ke sekolah. Mereka merasa sia-sia datang ke sekolah karena akan lebih banyak mengganggur gara-gara ketiadaan guru. "Sejak ada rekan-rekan SM3T, kehadiran siswa naik pesat," tutur Kepala SMP Negeri 1 Pinupahar Dominggus Tata Ewang SPd.

Situasi serupa juga terjadi di SMP Kahembi, Kecamatan Tabundung. Kepala SMP Kahembi Rambu Donga Ndima SPd menuturkan, kini sudah jarang jam kosong di sekolahnya. "Siswa memiliki lebih banyak waktu belajar. Kini mereka bahkan enggan beristirahat," kata kepala sekolah perempuan yang memiliki darah bangsawan tersebut.

Darah bangsawannya tidak membuat Rambu Donga rikuh dan canggung untuk bergabung dengan sarjana SM3T yang tinggal dengan memanfaatkan ruang di sekolah. Jika peserta SM3T tidur di ruang perpustakaan yang disekat, Rambu Donga memanfaatkan kamar mandi sekolah untuk tempat tidur.

Murid, guru, dan masyarakat Sumba bahkan sudah mengusulkan agar SM3T tidak sekadar menjadi program instan dan singkat. Mereka berharap, program tersebut bekelanjutan. "Setidaknya bisa diperpanjang 2-3 tahun," kata Camat Andreas. (*/c4/ca)
 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Shuniyya Ruhama, Perempuan Transgender yang Piawai Ilmu Batik


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler