Shuniyya Ruhama, Perempuan Transgender yang Piawai Ilmu Batik

Deteksi Keaslian Batik dengan Meraba Kain

Minggu, 29 Januari 2012 – 05:05 WIB
Shuniyya Ruhama. Foto Ridlwan H/Jawa Pos

Ada banyak master batik di Indonesia. Namun, keahlian Shuniyya ini cukup langka. Hanya dengan sekali pandang, dia bisa menebak motif, asal daerah, bahkan kisaran usia batik tersebut.
   
    RIDLWAN HABIB, Jakarta
       
TAMPIL anggun dengan jilbab, baju dan kain panjang bermotif batik Lasem, Shuniyya menjemput Jawa Pos di ujung jalan menuju rumahnya di kawasan Kalibata Utara, Jakarta, Jumat (20/1). Lorong menuju ke rumah yang dijadikan galeri sementara ratusan koleksi batik itu cukup sempit sehingga tidak cukup dilewati mobil.

"Aku sebentar lagi pindahan ke Kendal. Nanti selain bengkel batik, juga akan membangun galeri yang lebih lengkap," ujarnya.
   
Di Kendal, Shuniyya sudah punya studio yang mengerjakan proses batik. Juga perawatan batik-batik kuno. Tepatnya di Jalan Gunung Mas, Penaruban, Weleri, Kendal. Namun, karena aktivitas hariannya masih sibuk di ibu kota, dia mengaku belum sempat untuk pindah.
    
Ruang tamu sekitar 4 x 3 meter di rumah Shunniya disulap jadi arena display batik. Aneka motif kain mulai motif batik klasik hingga modern kontemporer dipajang di dinding. Sisanya bertumpukan di rak. Beberapa canting elektrik tergeletak di lantai.
    
"Aku membatik sendiri, tapi pakai elektrik. Bukan canting yang tradisional.  Soalnya untuk menjaga dari polusi bau malam dan menghindari risiko kebakaran. Juga menggunakan murni pewarna alam sehingga tidak mencemari lingkungan," tutur perempuan yang pernah menjabat sebagai Sekjen Yayasan Putri Waria Indonesia ini.

Dia lantas mengambil satu contoh kain batik hasil karyanya. "Ini dipotret cantik lho," katanya, lalu berpose.
   
Shuniyya adalah alumnus Jurusan Sosiologi Fisipol Universitas Gajah Mada (UGM) Jogjakarta. Saat kuliah, dia aktif di himpunan mahasiswa jurusan dan lembaga penerbitan pers mahasiswa Sintesa Fisipol UGM. Dia lulus cumlaude dengan IPK 3,56 dan diwisuda pada 1 Desember 2004. Skripsinya berjudul Respon Masyarakat terhadap Keanekaragaman Ekspresi Busana Waria mendapat nilai A dari dosen penguji.
   
Lulus dari UGM, Shuniyya aktif sebagai pembicara di berbagai forum dan seminar. Dia juga menulis buku yang jadi best seller berjudul Jangan Lepas Jilbabku. Dia memakai jilbab sejak duduk di bangku SMUN 4 Jogjakarta.
   
Sebagai aktivis transgender, keahlian orasi dan debat Shuniyya tidak perlu diragukan. Saat perhelatan kontes Putri Waria di Jakarta beberapa waktu lalu akan dibubarkan sekelompok orang dengan kedok ormas agama, Shuniyya tampil ke depan dan berargumen dengan mengutip beberapa hadis dengan fasih.

"Tahun 2009, aku kembali ke batik. Sebenarnya, ini hobiku sejak masih kecil," katanya. Tidak canggung ketika klien tahu Anda seorang transgender" "Oh, tidak ada masalah. Justru mereka salut. Bahkan, ada yang nggak cuma memborong batik, tapi juga minta bukuku," katanya, lalu tersenyum.

Shuniyya kini sedang mengembangkan motif batik Kendal. "Sekarang ini ada motif Laseman dari Rembang, motif Bakaran dari Pati, motif Kudusan dari Kudus, ada Demakan dari Demak, ada juga Semarangan dari Semarang. Nah, Kendal kok terlewat. Karena itu, saya coba buat," katanya.

Salah satu motif kreasi Shuniyya adalah motif kembang suweg. Bunga yang oleh penduduk sekitar Weleri, Kendal, disebut kembang suweg itu masih bisa ditemukan di tepi-tepi hutan atau di kawasan pedesaan. Bunga ini, kata Shuniyya, mirip bunga bangkai, tetapi lebih kecil. Jika sedang mekar, bunga ini dari jauh berbau menyengat. Namun, jika didekati, bau itu justru hilang sama sekali.

"Filosofi motif ini jangan menilai dari penampilan luarnya saja. Don"t judge a book by its cover. Tak kenal maka tak sayang," katanya.

Sejak 2009, Shuniyya mengembangkan bisnis batik dengan mengandalkan pemasaran secara online. Dia memberikan label Batik Shuniyya. Rupanya, promosi di internet itu efektif menjaring klien. Tidak hanya dari tanah air, juga sampai mancanegara. "Alhamdulillah sangat cukup," saat ditanya berapa omzetnya.

Karena penasaran jika hanya melihat gambar dari internet, banyak pelanggan Shuniyya yang minta bertemu langsung. Tidak jarang mereka juga membawa batik-batik koleksi pribadi untuk dikonsultasikan dengan Shuniyya.

"Mereka rata-rata ingin tahu batiknya asli atau nggak, umurnya kuno atau tidak, terus motifnya apa. Ada 400-an motif  Jogja-Solo dan 200 motif Batik Pekalongan yang aku hafal," katanya.

Ada juga yang datang khusus ingin bicara soal motif batik, tetapi tidak membeli. "Bagiku, berbagi ilmu tentang batik itu nggak bisa dihitung hanya dengan materi. Toh, silaturahmi itu akan membawa berkah untuk kami," ujarnya.

Klien dan pelanggan batik Shuniyya berasal dari beragam profesi. Ada yang dokter, pengacara, sampai duta besar. "Beliau sekarang ditempatkan di sebuah negara Amerika Latin. Sampai sekarang masih sering kontak," katanya tentang salah seorang Dubes yang menjadi langganannya.

Tamu-tamu yang datang juga sering membawa inspirasi bagi Shuniyya merancang sebuah motif baru. "Beberapa bulan lalu ada seorang kawan dari Iran datang. Kita diskusi soal peristiwa Karbala. Aku corat-coret di kertas, jadi deh batik motif Karbala dan dia suka," katanya.

Jika inspirasi sedang hinggap di otaknya, Shuniyya bahkan sanggup membatik tanpa harus merancang motif terlebih dulu. Dalam dunia perbatikan, hal tersebut disebut ngrujak.  "Ini contohnya," katanya sembari menunjukkan sebuah daster cokelat dengan motif batik. "Ini kain polos dijahit dulu, baru aku mbatik di atasnya," tambahnya.

Soal menaksir usia kain batik,  Shuniyya juga punya keahlian dengan meraba kain dan mencermati motifnya. "Harus juga dipahami filosofi di balik sebuah motif," katanya.

Dia mencontohkan, ada beberapa jenis motif yang dipakai untuk acara sedih seperti menghadiri pemakaman. "Pernah ada yang tidak tahu, memakai batik itu untuk menghadiri resepsi pernikahan. Tentu, ini tidak pas dan bisa menyinggung tuan rumah," ujarnya. 

Memahami batik memang tidak bisa instan. Jika tidak cermat, orang bisa tertipu membeli sebuah batik dengan motif dan usia yang diklaim kuno,  padahal tidak. Bahkan, kain print motif  batik bisa diklaim sebagai batik tulis.

"Seperti batik ini, namanya batik lawasan tiga negeri pagi sore. Cara mendeteksinya dari kainnya," kata Shuniyya. Kainnya khas karena dijahit dengan bahan dasar tiga kain yang dijahit atau digabung menjadi satu. "Saat itu era krisis moneter 1966. Jadi, para pembatik menghemat kain," tuturnya.

Shuniyya lantas mengambil sebuah kain batik berbentuk seperti sarung. Namanya batik Kedungwuni dari Pekalongan. Batik ini unik karena kain bagian luar dan dalam dibatik sama persis. Sangat halus. "Tidak ada istilah terbalik kalau bersarung dengan batik ini," katanya.

Shuniyya juga pernah mendapatkan batik kuno saat hunting di Jawa Timur. Namanya batik Alfiat. Dia mengklaim batik itu satu-satunya di dunia. "Ini pernah ditawar sampai 13 ribu dolar (sekitar Rp 117 juta), tapi tidak saya lepas," katanya.

Dia justru membuat repro dari batik tersebut dengan banderol Rp 1.750.000 per kain. "Saya selalu jujur pada konsumen kalau ini repro, bukan asli," katanya. (*/ca)
   
BACA ARTIKEL LAINNYA... Servis Ekstra ala Rumah Sakit Melinda, Bandung


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler