jpnn.com - JOGJA - Pasca-suksesnya penutupan lokalisasi Dolly di Surabaya dan Kalijodo di Jakarta Utara, kini muncul kekhawatiran di kalangan warga dan pekerja seks komersial (PSK) Pasar Kembang, Yogyakarta. Sebab, kini juga muncul wacana tentang penutupan lokalisasi terselubung di tengah-tengah Kota Jogja itu.
Warga Sarkem -sebutan Pasar Kembang- pun berharap agar Pemerintah Kota Jogja menggunakan pendekatan kemanusiaan. Tujuannya agar PSK di lokalisasi yang terletak di Sosrowijayan Kulon, Sosromenduran, Gedongtengen itu bisa mentas dan punya penghidupan lebih baik.
BACA JUGA: Kisah Istri Jahat yang Menyesal Luar Biasa karena Warisan Rp 3 Miliar
Menurut Ketua RW 03 Sosrowijayan Kulon, Sarjono, dulu sebelum 2010 ada pelatihan bagi PSK di Sarkem. Beberapa jebolan dari pelatihan itu sudah ada yang sukses.
“Sekarang, anak asuh saya itu ngabari kalau sudah sukses. Sudah memiliki karyawan,” katanya seperti dikutip Radar Jogja.
BACA JUGA: Astaga, Ibu Muda Ditemukan Tewas Berlumuran Darah
Sarjono menjelaskan, sebelum tahun 2010, Dinas Sosial DI Yogyakarta dan Kota Jogja kerap memberikan pelatihan secara bergelombang. Ternyata, pelatihan itu sangat membantu PSK untuk mentas dari lembah hitam.
”Mereka ikut pelatihan, mendapatkan bantuan mesin jahit. Kemudian, pulang membawa mesin jahitnya, sekarang sudah jadi orang,” katanya.
BACA JUGA: Innalillahi, Nakhoda KM Rafelia Ditemukan Masih Memegang Kemudi
Sarjono pun mengingatkan bahwa Sarkem berbeda dengan Kalijodo ataupun Dolly. Di Sarkem, rumah-rumah karaoke dan penginapan yang menjadi kedok prostitusi merupakan milik pribadi. Namun, katanya, keberadan tempat-tempat hiburan itu juga seizin Pemerintah Kota Jogja.
Karenanya warga keberatan jika lokalisasi yang berada di gang sempit berukuran satu setengah meter itu disamakan dengan Kalijodo. Mereka tetap menolak kalau Pemkot Jogga melakukan penertiban tanpa ada solusi.
Sarjono menegaskan, tidak ada warga Sarkem yang menjadi PSK. ”Semuanya (PSK) dari luar. Kalau mau di-setop, lakukan pemberdayaan. Kami kira lebih efektif,” sarannya.
Sarjono menambahkan, banyak warga asli Sarkem yang pindah ke lokasi lain. Mereka lantas menyewakan rumah untuk penginapan atau usaha lainnya.
Meski demikian warga Sarkam juga tetap berupaya bisnis esek-esek tisak berimbas ke anak-anak mereka. ”Kami juga ketat melakukan pengawasan. Jam 18.00 tidak boleh anak-anak keluar rumah,” kata warga asli Sarkem itu.
Bahkan ketika ada anak-anak di Sarkem yang mulai tumbuh dewasa, biasanya bakal dicarikan kontrakan atau tempat tinggal di luar. Ini adalah bentuk dari menjaga anak-anak di sana agar bisa tumbuh kembang seperti anak-anak lain.
Sebelumnya, Kepala Dina Sosial, Tenaga Kerja, dan Transmigrasi (Dinsosnakertrans) Kota Jogja Hadi Mochtar menuturkan, berdasarkan rapat koordinasi Kementerian Sosial di Jakarta, Sarkem menjadi salah satu target penutupan. Tahun 2015 lalu, Kemensos meminta Dinsosnakertrans Kota Jogja melakukan pendataan penghuni Sarkem dan mencatat berbagai persoalan di dalamnya.
”Dari penghuni sebenarnya sudah ada masukan. Mereka yang didampingi KPA (Komisi Penanggulangan AIDS) meminta adanya bantuan modal agar bisa lepas dari Sarkem,” ujarnya.
Tapi, hal tersebut bukan perkara mudah. Penghuni Sarkem yang bukan ber-KTP Kota Jogja menjadi alasannya.
Pemkot Jogja tak bisa menganggarkan bantuan modal kepada warga luar Kota Jogja. ”Makanya, dengan rencana Kemensos ini, kami bisa ajukan anggaran,” terangnya.(eri/ila/ong/JPG/ara/JPNN)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Pasutri Dilindas Mobil Box, Suami Tewas, Istri Mengenaskan
Redaktur : Tim Redaksi