jpnn.com - Indonesia memiliki juara dunia kelas ringan (61,2 kg) Daud Yordan. Tapi, siapa sangka, dia lahir dari sasana tanpa nama di Kayong Utara, Kalimantan Barat. Sasana itu sederhana dengan fasilitas apa adanya.
MUHAMMAD AMJAD, Kayong Utara
---
SEORANG sopir angkutan umum ''pelat hitam'' cepat-cepat menghampiri Jawa Pos beberapa saat setelah keluar dari pintu Bandara Rahadi Osman, Ketapang, Kalimantan Barat, pekan lalu. Dia menawarkan jasa angkutan ke lokasi kota yang akan dituju.
''Tarif empat ratus ribu (rupiah) itu jauh, sampai 100 kilo dari sini,'' kata si sopir bernama Arupe tersebut menawarkan jasa angkutan dari Ketapang menuju Sukadana, ibu kota Kabupaten Kayong Utara.
Memang, di bandara kecil tersebut, taksi resmi tidak mudah ditemukan. Yang ada adalah tukang ojek atau angkutan mobil sewa yang selalu menawarkan jasa ketika melihat penumpang keluar dari bandara.
Arup, demikian dia disapa, kemudian menanyakan tujuan Jawa Pos. Saat ditanya apakah mengerti sasana tempat Daud Yordan yang kini dikelola kakaknya, Damianus Yordan, sikap Arup langsung berubah.
''Kenapa tidak bilang dari tadi kalau mau ke sana? Kami pasti tahu lah. Dia terkenal di sini. Juara dunia, siapa tak tahu? Kalau begitu, kasih Rp 250 ribu saja lah, aku antar sampai tempat,'' ujarnya meyakinkan.
Perjalanan dari Ketapang ditempuh sekitar dua jam hingga Sukadana. Di sana, Damianus sudah menunggu di sasananya Sepintas, bangunan itu tidak tampak seperti lazimnya sasana tinju yang melahirkan para petinju hebat seperti Daud Yordan.
Bangunan berukuran 8 x 22 meter yang didirikan pada 2007 itu terbilang sangat sederhana. Tidak ada papan nama yang menunjukkan bahwa bangunan tersebut merupakan sebuah sasana tinju. Baru setelah masuk bangunan beratap tinggi itu, terlihat berbagai peralatan untuk berlatih tinju.
Dua alat yang biasanya ada di gym dan digunakan latihan angkat beban terpajang di depan. Namun, kondisinya sudah berkarat. Satu alat lagi hampir rusak karena termakan usia. Karena itu, alat tersebut mulai jarang digunakan.
Di sampingnya ada alat pendukung latihan seperti samsak besar, speed bags, dan double end bags untuk melatih kecepatan pukulan. Meski terlihat lengkap, kondisinya tidak lagi layak. Samsaknya terlihat mulai robek di beberapa sisi. Lalu, tali penghubung karet double end bags-nya putus sehingga diganti dengan tali karet dari bekas ban dalam motor.
Alat latihan tradisional juga terlihat di sasana tinju tanpa nama itu. Empat ban luar truk terlihat digantung di kuda-kuda atap bangunan dengan menggunakan tambang. Menurut Damianus, ban-ban itu digunakan untuk latihan pukul dan beban. Peralatan yang amat sederhana untuk melahirkan petinju kelas dunia.
Selain alat pendukung latihan, ada ring tinju standar bantuan Kemenpora pada masa Menpora Adyaksa Dault. Tapi, kondisinya sudah tidak layak untuk latihan bertanding. Matras bawahnya sudah hancur lantaran sering dipakai. Agar tetap bisa dipakai berlatih, Damianus menyiasati dengan mengganti matras karet bongkar pasang yang banyak dijual di toko perlengkapan rumah.
Lantai sasana juga bukan keramik atau ubin, melainkan plesteran semen yang mulai mengelupas di sana-sini sehingga sampai terlihat tanahnya. ''Ya, beginilah sasana kami. Tapi, dari tempat yang terpencil dan serba terbatas ini, kami bisa melahirkan juara dunia,'' ucap Damianus Yordan, pengelola dan pelatih sasana di pelosok itu.
Meski kondisi sasana memprihatinkan, semangat Damianus tidak surut untuk menggembleng anak-anak muda di tempat tersebut.
Saat ini ada 22 petinju yang terdaftar di sasana milik keluarga Yordan itu. Selain dari Kalbar, ada yang berasal dari Jawa Barat dan Maluku. Memang, tidak semua petinju berlatih setiap hari di sasana tersebut. Hanya 13 petinju yang rutin menggembleng fisik dan teknik di bawah arahan Damianus setiap hari. Mereka tinggal di asrama yang terletak sekitar 3 km dari sasana. Jauh dari jalan utama yang menghubungkan Sukadana-Ketapang. Para petinju harus masuk ke hutan di bukit Desa Pampang Harapan, Kecamatan Sukadana.
Ya, asrama itu terletak di tengah hutan. Di sekitarnya masih banyak pohon dan semak yang tumbuh liar. Ada tiga kamar yang dihuni 12 petinju pria dan satu kamar untuk seorang petinju putri. Setiap kamar yang berukuran 4 x 3 meter diisi empat petinju. Kecuali satu kamar yang khusus untuk Rimpi, petinju putri itu. Letaknya dipisahkan dari kamar petinju pria.
Fasilitas kamar tidak lebih dari tempat tidur dari busa dan lemari kecil. Fasilitas serbaminim juga diterima petinju dalam soal menu makanan sehari-hari. Selain nasi putih yang disediakan asrama, lauk-pauk tempe-tahu jadi andalan. Lauk daging-dagingan atau telur sangat jarang diberikan.
''Kami memang serba terbatas. Tidak ada biaya yang kami pungut dari petinju. Bahkan, semua kami gratiskan untuk mereka. Latihan, asrama, dan makan. Maklum kalau gizinya kurang,'' tutur mantan petinju profesional dengan rambut dikucir di belakang itu.
Damianus mengaku harus mengeluarkan biaya lauk Rp 50 ribu tiap hari. Itu pun hanya untuk membeli tahu-tempe dan bumbu. Untuk sayur, dia mengambil dari kebun di sekitar asrama. Untuk beras, per bulan dia membutuhkan sekitar 120 kg. Sebanyak 70 kg mesti diusahakan Damianus sendiri, sedangkan 50 kg lainnya disuplai saudaranya di Ketapang yang dipercaya mengendalikan tempat selep (penggilingan) padi miliknya.
''Prinsipnya yang penting ada nasi. Kalau lauk, biasanya mereka cari sendiri. Kebetulan di dekat asrama ada sungai. Mereka bisa mancing atau menyelam sambil menembak ikan,'' ungkap Damianus sembari menunjukkan senapan tradisional dari karet hitam yang diikatkan dengan besi tajam seperti panah.
Kalau ditotal, setiap bulan pengeluaran sasana dan kebutuhan asrama mencapai Rp 5 juta-Rp 7 juta. Angka itu bisa bertambah bila mereka menghadapi pertandingan. Sebab, Damianus harus menambah gizi anak asuhnya. ''Selama ini sih selalu cukup. Tidak tahu dari mana saja uang itu ada. Mungkin karena saya ikhlas untuk melatih para petinju muda ini. Saya hampir tidak punya beban apa-apa,'' tutur ayah tiga anak tersebut.
Karena sasana itu dibangun atas prakarsa keluarga Yordan yang ingin terus mengembangkan tinju nasional, Daud Yordan pun tidak lepas tangan. Dia kerap membantu finansial agar sasana itu terus berkembang sehingga bisa melahirkan para juara seperti dirinya.
Damianus, yang pernah meraih medali emas dalam kejuaraan Asia 1997 itu, tidak mau berpangku tangan atas minimnya perhatian dari pemerintah. Dia memang terus memutar otak agar sasananya tidak mati dan program latihan para petinju asuhannya tetap terpenuhi. Apalagi semangat untuk melahirkan Daud Yordan baru terus bergelora dalam hatinya.
Karena itu, Damianus tidak berhenti berusaha dengan membangun peternakan dan kolam ikan, selain perkebunan yang sudah ada. Tanah 5 hektare hasil cucuran keringatnya ketika menjadi petinju profesional dulu saat ini sedang diubah menjadi kebun sayur-mayur, enam kolam ikan, serta peternakan ayam, bebek, dan babi.
Itu semua dilakukan agar ke depan gizi-gizi petinjunya bisa tercukupi sekaligus menjadi lahan bisnis baru. Dengan harga tanah di hutan yang masih sekitar Rp 7 juta per hektare, Damianus ingin membangun kompleks perkebunan dan peternakan yang sebagian besar hasilnya akan didedikasikan untuk tinju.
''Kolam ikan sudah jalan. Banyak sekali ikannya. Tinggal sayuran dan peternakan yang sedang disiapkan. Kalau sudah jalan, minimal dua hari sekali para petinju bisa makan dengan lauk bergizi,'' ujarnya lantas tertawa.
Selain dirinya dan Daud Yordan, Sasana Kayong Utara sudah melahirkan sejumlah petinju nasional. Antara lain, juara nasional kelas bulu super Yohanes Yordan, juara kelas bulu nasional Agus Kustiawan, dan juara nasional bantam junior versi FTI Ki Chang Kim.
''Kim saat ini sedang bagus-bagusnya. Bulan depan dia bertarung melawan petinju Thailand di Ketapang untuk memperebutkan sabuk WBO Youth. Dia sedang merintis menjadi petinju kelas dunia,'' ujarnya.
Damianus berharap ada uluran pihak-pihak yang peduli terhadap perkembangan olahraga tinju di Indonesia. Tidak hanya dari pemerintah daerah, tapi juga pemerintah pusat. Sebab, sasana miskin itu telah terbukti melahirkan petinju-petinju juara. ''Bukan hanya juara nasional, tapi juara dunia,'' tegasnya. (*/c5/ari)
BACA JUGA: Kisah Bocah Medan Setahun Merawat Ayah yang Sakit di Becak
BACA ARTIKEL LAINNYA... Susah-Susah Gampang tapi Cukup Rasakan Beban Moral
Redaktur : Tim Redaksi