Sasar Keterlibatan Istri Anas

Rabu, 13 November 2013 – 06:40 WIB
Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan penggeledahan di dua rumah Ketua Umum PPI Anas Urbaningrum di Duren Sawit Jakarta Timur, Selasa (12/11). Penggeledahan terkait dugaan suap pembangunan sarana dan prasarana olahraga di Hambalang. FOTO : MUHAMAD ALI/JAWAPOS/JPNN.com

JAKARTA - Pasca penetepan Direktur Utama PT Dutasari Citralaras, Machfud Suroso sebagai tersangka baru kasus Hambalang, KPK mengumpulkan sejumlah barang bukti terkait kemungkinan terlibat orang lain. Selasa (12/11), dilakukan dengan melakukan penggeledahan di sejumlah tempat termasuk rumah Anas Urbaningrum.
    
Penggeledahan dilakukan di rumah Anas karena diketahui istrinya, Athiyyah Laila merupakan komisaris PT Dutasari Citralaras. Dalam dakwaan tersangka Hambalang yang lain, Dedy Kusdinar, PT Dutasari Citralaras merupakan salah satu subkontraktor PT Adhi Karya, selaku pemenang proyek Hambalang.
    
Juru Bicara KPK Johan Budi mengatakan ada empat lokasi yang digeladah. Empat lokasi itu berkaitan dengan PT Dutasari Citralaras. Selain tempat tinggal Anas di Jalan Teluk Langsa, Duren Sawit, penggeledahan juga dilakukan di rumah Jalan Kemang Pratama, Bekasi  A/12 A. "Rumah itu kediaman Roni Wijaya (Direktur Keuangan PT Dutasari Citralaras," ujar Johan.
    
Atas penggeledahan di kediaman kliennya, pengacara Anas, Firman Wijaya menyatakan kekecewaannya. Dia menyayangkan penggeledahan yang dilakukan penyidik KPK tanpa pemberitahuan terlebih dulu. "KPK harusnya transparan dan fair, kami akan kooperatif melakukan langkah-langkah hukum yang diperlukan, tetapi saya menyesalkan KPK sampai melakukan langkah-langkah ini," ujar Firman.
     
Dia mengungkapkan, kalau pihaknya baru mengetahui adanya penggeledahan dari salah satu pengurus Perhimpunan Pergerakan Indonesia (PPI) yang kebetulan sedang berada di kediaman Anas. "Karena itu, kami juga belum bisa pastikan apa yang sebenarnya terjadi," tuturnya.
      
Selain sejumlah dokumen, KPK juga menyita beberapa gepok uang pecahan 100 ribu. Petugas KPK menghitung uang tersebut dengan alat hitung otomatis disaksikan istri Anas, Athiyah Laila, dan Firman.
      
Firman mengaku, uang itu bukan milik Anas. Melainkan kas ormas bentukan Anas, Perhimpunan Pergerakan Indonesia (PPI). Kebetulan secretariat ormas itu juga berada di rumah mantan ketua umum PB HMI tersebut. "Itu uang PPI, bukan punya Anas," tegas Firman.
    
Penggeledahan selanjutnya dilakukan di rumah dua pegawai PT Dutasari Citralaras yakni Sarto Dwi Atnon di Jalan Arsento 88 Cempaka Putih dan Budi Margono di Jalan Al Barkah, Rawa Buaya, Cengkareng. Mahfud ditetapkan sebagai tersangka karena dianggap perusahaannya
sebagai pihak yang diuntungkan dari korupsi Hambalang.
      
Dalam proyek Hambalang, perusahaan itu mendapatkan proyek pengerjaan Mekanikal Elektrikal (ME) dan penyambungan daya listrik PLN. Untuk pengerjaan itu PT Dutasari Citralaras mendapatkan uang Rp 328.063.300.000. Hal tersebut bertentangan dengan pasl 32 Keppres No 8 / 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Barang dan Jasa.
      
Tak hanya itu Mahfud Suroso sejak awal juga ditengarai sebagai pihak yang membantu kemenangan PT Adhi Karya. Mahfud juga pernah menerima uang 45.300.942.000 dari PT Adhi Karya. Uang itu untuk realisasi pembayaran fee 18 persen yang disebutkan untuk Andi Mallarangeng.
      
Terkait fee itu sendiri, adik Andi, Rizal Mallareng membantah dan menganggap hanya spekulasi dan interpretasi sepihak dari KPK. Dia mengatakan Choel dan Andi tidak kenal dan tak pernah bertemu dengan Machfud Suroso.
      
"Saya sudah membaca BAP dari tokoh-tokoh kunci, soal fee itu konsepnya berevolusi. Ternyata fee itu konsep awal sejak proyek ini diincar PT Adhi Karya, yakni sebelum Andi menjadi menteri," paparnya. Dalam BAP Dedy Kusdinar 1 Agustus 2013, dia mengaku mendengar fee itu dari seorang staf bernama Ilham.

"Betapa spekulatifnya KPK soal ini, kata-kata itu dari stafnya seorang staf menteri yang didengar oleh staf lain (Dedy) yang akhiranya sampai ke telinga Wafid," paparnya.
    
Pada bagian lain, sidang Dedy Kusdinar sendiri kemarin mulai pada pemeriksaan saksi diantaranya Sonny Anjangsono, Ida Nuraida, dan Adirusman Dault (adik mantan Menpora Adiyaksa Dault). Sonny dan Ida merupakan tim asistensi dari PT Biro Insinyur Eksakta.
    
Sonny dan Ida banyak mengungkapkan kejanggal awal proyek ini. Mulai dari anggaran yang terlalu besar hingga kondisi tanah Hambalang yang tidak cocok untuk Pusat Pendidikan Pelatihan dan Sekolah Olahraga Nasional (P3SON).
    
"Kondisi lahan tidak memungkinkan kalau untuk sekolah atlit seperti di Ragunan. Dimana bangunannya tidak perlu besar karena kondisi tanahnya rawan longsor," papar Sonny. Dia juga memaparkan bahwa dirinya tidak sanggup saat diminta menghitung Rancangan Anggaran Biaya (RAB) dengan nilai Rp 2,5 triliun.
      
Menurut Direktur Teknik dan Operasi PT BIE itu anggaran sebesar Rp 2,5 triliun tidak masuk akal. Dengan kondisi bangunan yang telah ada di Hambalang sebelumnya, setidaknya diperlukan dana Rp 1,5 triliun saja. Melihat sejumlah kejanggalan itulah, akhirnya PT BIE memilih mundur karena menganggap proyek itu "bau".
      
Keterangan adik Adirusman Dault berbeda lagi. Dia mengaku tidak pernah menerima uang Rp 500 juta seperti yang ada dalam dakwaan Dedy Kusdinar. "Saya sudah pernah katakan dalam penyidikan bahwa itu tidak benar. Saya minta ditunjukan datanya tapi penyidik tidak memperlihatkan," ungkapnya.
      
Jaksa kemarin sebenarnya juga memeriksa Adhyaksa Dault dalam kasus Hambalang. Namun hakim mengaku tidak siap karena ada jadwal sidang lain salah satunya kasus simulator dengan terdakwa Budi Susanto. Mantan Menpora itu pun dijadwalkan bersaksi Selasa mendatang (19/11).
      
Selain yang sudah dibeber dalam dakwaan Dedy Kusdinar, kabarnya uang dari proyek Hambalang ini juga mengalir ke pejabat KPK saat pertama kali kasus ini muncul. Dalam dokumen yang dilihat koran ini, pejabat KPK itu ialah mantan Direktur Penindakan Ade Raharja.
      
Perwira polisi yang pernah menjadi Kapolwiltabes Surabaya itu disebut dalam kesaksian Arief Taufiqurrahman, marketing PT Adhi Karya. Saat diperiksa penyidik KPK 6 Mei 2013 lalu, Arief mengaku pernah mendengar Direktur Operasional Adhi Karya Teuku Bagus Mokhamad Noor mengirimkan uang Rp 4 miliar untuk Ade Raharya yang ketika itu menjabat direktur penindakan KPK.
      
Uang itu diserahkan Mahfud Suroso dua tahap masing-masing Rp 3 miliar dan Rp 1 miliar. Tujuannya pemberian itu agar kasus Hambalang tidak ditindaklanjuti. Namun apakah uang tersebut sampai atau tidak ke Ade belum diketahui. (gun/dyn)

BACA JUGA: Alokasi Dana Buntu, DPR Lobi ke Presiden

BACA ARTIKEL LAINNYA... Sebut Pegawai KPK Beri Dukungan ke Anas Lewat Surat


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler