jpnn.com, DENPASAR - Sarana upacara di Bali dikenal dengan berbagai bentuk dan jenis. Salah satunya adalah Sate Renteng. Sarana upacara ini memiliki bentuk yang tergolong unik, di mana terdiri dari beberapa tusuk sate dan rangkaian kulit Babi. Bagaimanakah sejatinya Sate Renteng ini?
Sate Renteng, jika dilihat dari beberapa lontar agama Hindu memang belum ada yang membahas secara jelas. Sehingga Sate Renteng dalam upacara Hindu disebut dengan uperengga atau pelengkap upakara yadnya, namun wajib ada dalam setiap upacara yang menggunakan Banten Bebangkit. Sate Renteng sangat erat kaitannya dengan Banten Bebangkit yang menggunakan Babi Guling sebagai ulamnya.
BACA JUGA: Pelengseran Bupati Tinggal Dua Tahap Lagi
“Hal itu sesuai dengan makna Banten Bebangkit yang merupakan persembahan kepada Dewi Durga,” ujar Budayawan, I Gede Anom Ranuara, yang diwawancarai Bali Express (Jawa Pos Group), Kamis (30/3) kemarin.
Lebih lanjut, menurut Anom Ranuara, dalam Lontar Tattwa Mpu Kuturan dijelaskan mengenai Rerentengan Jatah yang artinya rangkaian atau susunan sate. Sedangkan dalam Lontar Kadurgan dijelaskan juga mengenai rangkaian sate yang disebut Gayah. Gayah adalah merangkai kembali tulang babi yang akan dipersembahkan kepada Dewi Durga. Karena, apa pun itu segala jenis olahan daging babi pasti dipersembahkan kepada Dewi Durga.
BACA JUGA: MA Setuju Bupati Dilengserkan, Gubernur Bilang...
Secara filosofis, Sate Renteng berawal dari permohonan Dewa Wisnu kepada Dewi Durga untuk membunuh Mahesasura, karena diyakini hanya Dewi Durga yang mampu menaklukkannya. Permohonan itu disanggupi oleh Dewi Durga, namun semua senjata para dewa agar berkenan diserahkan untuk mengalahkan Mahesasura.
“Hal itu dibuktikan dengan terdapatnya sate yang berbentuk sembilan senjata para Dewa,” jelasnya.
BACA JUGA: Pulang dari Poso, Perwira Brimob Diduga Bunuh Diri
Sate Renteng terdiri dari beberapa jenis, yakni Sate Renteng Puspusan yang menggunkan kelapa sebagai alasnya. Di mana di dalamnya terdapat 13 buah tusuk sate, namun tidak menggunakan bagia Pulekerti. Kedua adalah Sate Renteng Sari. Dalam sate ini terdapat Bagia Pulekerti, namun tetap berpatokan kepada 13 buah tusuk sate.
Ketiga adalah sate Renteng Utuh, jenis sate Renteng yang tergolong tinggi, sebab pada alasnya menggunakan kepala babi utuh. Yang terakhir adalah Sate Renteng Durga Dewi yang tertinggi. Hal yang membedakan adalah penggunaan kepala babi yang disertai dengan cabai merah melambangkan taring Dewi Durga.
Beberapa komponen yang harus dilengkapi ketika hendak membuat Sate Renteng, yakni Sate Asem, Sate Serapah, Sate Lamat, Kekuwung, Bagia Pulekerti, Senjata Dewata Nawa Sanga, Penyelah, Aling-aling, Lawang, Japit Balung, dan Japit Babi. Susunan dalam merangkai Sate Renteng hendaknya selalu memperhatikan Tattwa, di mana ada beberapa komponen wajib yang harus ada di dalam Sate Renteng. Sate Renteng wajib menggunakan kelapa yang merupakan simbol bumi. Jika untuk keperluan estetika atau seni, boleh menggunakan gedebong atau batang pisang, namun wajib menggunakan sebanyak tiga biji yang melambangkan Tri Bhuwana atau tiga alam.
Selanjutnya di bagian dasar terdapat rangkaian tulang belulang babi, inilah yang dinamakan gayah. Selain itu, terdapat cabe merah yang merupakan simbol Banaspati yang berkaitan erat dengan Dewi Durga. Namun, secara biologis cebe memiliki peran penting untuk menghalau lalat agar tidak hinggap di sate, karenanya cabe diletakkan di ujung-ujung tusuk sate. Kunyit juga terdapat dalam rangkaian Sate Renteng yang merupakan penguat rangkaian agar kulit babi yang dirangkai tidak jatuh. Namun, secara biologis dapat menjadi antibiotik pada sate agar tidak busuk.
Selain beberapa komponen yang telah disebutkan, hal yang tak kalah penting adalah penggunaan paru-paru di arah timur, hati di arah selatan, empedu di arah barat, limpa di arah utara, dan di tengah adalah ginjal. Komponen ini hendaknya harus terdapat dalam rangkaian Sate Renteng.
“Karena penggunaan ini merupakan simbol kanda pat yang tak lain merupakan ancangan Dewi Durga,” tutup Anom.(agus yuliawan)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Kalau Buang Sampah ke Laut, Rumahnya juga Saya Buang
Redaktur & Reporter : Friederich