Satria Arief Prabowo, Pria Gifted 21 Tahun yang Sudah Jadi Dokter

Diterima S-3 di UK tanpa Gelar Master

Rabu, 02 Juli 2014 – 07:29 WIB
OTAK ENCER: Kurang dua bulan lagi, Satria berangkat ke London untuk menempuh pendidikan PhD di usianya yang masih 21 tahun. Foto: Dinda Lisna Amilia/Jawa Pos

jpnn.com - SEORANG laki-laki berpenampilan dewasa berjalan di lorong aula Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga (Unair). Dengan style kemeja, celana kain, jas lab, plus kacamata, pria itu sudah pantas disebut PPDS (sebutan bagi dokter yang menempuh pendidikan dokter spesialis).

Kenyataannya tidak demikian. Pria bernama Satria Arief Prabowo itu baru berusia 21 tahun. Dia baru saja mendapat gelar dokter pada Maret 2014.

BACA JUGA: Berangkat Gadaikan BPKB, Kini Punya Tiga Rumah

Tidak hanya cara berpakaian yang membuat Satria –panggilan akrabnya– tampak dewasa. Dia juga piawai berkomunikasi. Nada bicaranya santai dengan tutur bahasa sopan.

Ya, Satria benar-benar jauh lebih dewasa daripada umurnya. Pada umumnya seorang mahasiswa lulus profesi dokter di usia 23 atau 24 tahun. Tetapi, Satria bisa merampungkan tiga tahun lebih cepat.

BACA JUGA: Dodit Mulyanto, Makin Ngetop setelah SUCI 4

’’Saat SMP dan SMA, saya ikut kelas akselerasi,’’ papar alumnus SMPN 1 dan SMAN 5 Surabaya tersebut.

Jadi, Satria masuk FK Unair melalui jalur prestasi (sekarang SNM PTN) pada 2008. Saat itu usianya masih 15 tahun. Bisa dibayangkan, saat usianya 15 tahun yang seharusnya masih duduk di kelas I SMA, Satria sudah berjibaku dengan buku tebal mahasiswa FK.

BACA JUGA: Piala Dunia Jadi Dasar Kebijakan Luar Negeri Barack Obama

Namun, hal itu sama sekali tidak menjadi kendala bagi Satria. Bagi dia, rutinitas tersebut merupakan hal yang menyenangkan. Sebab, sejak kecil dia memang hobi membaca dan belajar.

Bagi Satria, belajar bagai candu. Rasanya menyenangkan dan bisa membuatnya fokus dalam waktu yang lama.  

Awalnya, Satria dan orang tuanya menganggap hal itu biasa. Namun, saat kelas I SMP, saat akan mengikuti tes masuk kelas akselerasi, pihak sekolah mempertemukan Satria dan orang tuanya dengan psikolog.

Di situlah laki-laki kelahiran Surabaya, 13 Oktober 1992 tersebut baru tahu bahwa dirinya adalah gifted atau anak berbakat. ’’Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, saya menikmati hidup saya,’’ ungkap pengagum Nabi Muhammad tersebut.

Termasuk dalam hal pergaulan. Saat masuk FK Unair, mayoritas teman-temannya berusia 18 tahun. Hal itu tidak menjadi sandungan dalam bergaul. Satria tetap bisa membaur dengan teman-temannya.

Untuk kasus tertentu, dia sebagai yang termuda di angkatannya selalu ’’dijaga’’ teman-temannya. ’’Ini artikel soal saya. Saya pernah diliput Jawa Pos ketika mau masuk kuliah,’’ ucap anak pertama di antara tiga bersaudara pasangan Chairul Siswanto dan Siti Nur Elly Yani itu seraya menyodorkan koran Metropolis Jawa Pos edisi Minggu, 20 April 2008.

Sebenarnya yang membuat lucu adalah fotonya. Dalam foto tersebut, Satria masih sangat anak-anak. Wajahnya menggemaskan dengan pipi tembem, kacamata, rambut plontos, dan badan yang tidak seberapa tinggi. Sama sekali tidak menunjukkan bahwa dia adalah mahasiswa kedokteran.

Meski begitu, proses perkuliahan berjalan lancar. Satria lulus program sarjana kedokteran pada 2012 dengan IPK 3,79. Ketika itu penikmat lagu-lagu Taylor Swift tersebut menyabet gelar Wisudawan Terbaik Program Sarjana Kedokteran.

Hadiahnya, Satria berhak mengikuti training penyakit infeksi dan tuberkulosis (TB) di University of Groningen, Belanda, selama enam bulan.

Program itu merupakan kerja sama antara FK Unair dan University of Groningen. Jadi, setelah lulus kedokteran, Satria tidak langsung mengambil co-ass (dokter muda). Dia harus terbang dulu ke Belanda untuk menikmati hadiah berupa training itu.

Satria mengatakan benar-benar menikmati hadiah tersebut. Dia berkesempatan untuk bergabung dengan bidang yang disukainya. Yakni, vaksin. Sebab, sejak kuliah dia tertarik dengan vaksin. ’’Sesampainya di Belanda, saya malu,’’ papar kakak Safina Nurlita Sari dan Shaleh Azim Prabowo tersebut.

Maksudnya, untuk Belanda yang merupakan negara dengan angka kejadian TB sangat kecil, Satria mengira penelitian seputar TB pasti jarang dilakukan. Kenyataannya, Belanda sangat intens melakukan penelitian seputar TB.

Apalagi, lanjut dia, penelitian terbaru menunjukkan bahwa vaksin belum menjadi pencegahan yang efektif. Sebab, seseorang yang sudah vaksin masih mempunyai faktor risiko terkena suatu penyakit. ’’Efektivitasnya hanya 0–50 persen,’’ ucap Mahasiswa Berprestasi FK Unair 2012 tersebut.

Meski begitu, vaksin masih dirasa perlu daripada tidak sama sekali. Hal itulah yang terjadi di Indonesia. Satria juga bergabung dengan penelitian seputar MDR-TB atau multidrug resistant tuberculosis. Yaitu, kuman TB yang resistan.

Bila seorang pasien TB harus minum obat selama enam bulan berturut-turut, penderita MDR-TB minum obat selama 20 bulan berturut-turut.

’’Selain vaksin TB, di Groningen juga sedang dilakukan penelitian vaksin untuk MDR TB,’’ ujarnya sambil menunjukkan bukti karya ilmiahnya berjudul Targeting Multidrug Resistant Tuberculosis (MDR-TB) by Therapeutic Vaccines yang sudah dipublikasikan dalam jurnal internasional tersebut.

Selama wawancara dengan Jawa Pos, Satria tidak hanya berbicara panjang dan detail. Dia juga membawa banyak bukti karya ilmiah, surat-surat yang menunjukkan prestasinya.

Bagi dia, hitam di atas putih sangat penting untuk bukti. Barangkali hal itu terjadi pada gifted yang lain.

Tetapi, hal penting bagi Satria selama di Belanda adalah mengenal Prof Tjip S. Van Der Erf MD PhD, internist-infectiologist. Karena berkat Prof Tjip, Satria mendapatkan beasiswa untuk menempuh S-3 di London School of Hygiene and Tropical Medicine.

Ya, Satria berkesempatan menempuh pendidikan S-3 meski dia belum mempunyai gelar master. Itu terjadi berkat rekomendasi Prof Tjip.

Meski begitu, Satria tidak langsung diterima. Dia melakukan wawancara lewat Skype dengan Dr Helen A Fletcher, dosen senior di Faculty of Infectious and Tropical Disease, London School of Hygiene and Tropical Medicine.

Wawancara tersebut dilakukan pada Maret lalu. Satria menyatakan tidak menemukan kendala yang berarti selama wawancara. Sesuai dengan prediksinya, pertanyaannya tidak jauh-jauh dari apa yang sudah dia lakukan di Belanda.

’’Yang saya takutkan saat itu adalah koneksi internet, tapi alhamdulillah semuanya lancar,’’ ucap Satria yang ingin menjadi dokter spesialis anak tersebut.

Dia pun diterima menjadi mahasiswa PhD dengan beasiswa kuliah. Untuk biaya hidup, Satria sedang mengusahakan beasiswa unggulan (BU) dari Kemendikbud.

Rencananya, Satria berangkat ke London pada awal September mendatang. Sebab, kelas dimulai pada 29 September 2014. Sekarang yang dipersiapkannya adalah membaca dan membaca. ’’Pastinya seputar vaksin supaya punya referensi,’’ terangnya.

Bagaimana dengan kegiatan lain selain akademis? Satria mengatakan tetap hang out seperti anak normal lain. Nonton film di bioskop atau jalan ke mal. Tapi, dia lebih merasa fun ketika berkumpul dengan anak-anak.

Karena itu, sejak 2013, dia bergabung dengan Yayasan Peduli Kasih Anak Berkebutuhan Khusus. Dalam yayasan yang mengadvokasi anak berkebutuhan khusus (ABK) dari kalangan menengah ke bawah tersebut, awalnya Satria menjadi relawan.

Namun, sudah dua bulan ini dia didapuk menjadi wakil ketua oleh dr Sawitri Retno Hadiati, pendiri yayasan itu.

Ditanya seputar tambatan hati, Satria mengaku masih jomblo. Bukan karena tidak ingin pacaran, tapi hanya belum menemukan yang cocok.

Apa juga mencari perempuan yang gifted seperti dirinya? Satria langsung menggeleng. Satria menyatakan hanya mencari perempuan yang seiman, cantik, dan cerdas. Yang bisa nyambung ketika diajak ngobrol mengenai hal apa pun. (Dinda Lisna Amilia/c7/ib)

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Delapan Kali Dipenjara, Susah Mendapat Kepercayaan Warga


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler