JAKARTA - Satu lagi pegawai PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) dinyatakan terbukti bersalah karena korupsi proyek bioremediasi. Widodo selaku Ketua Tim Penanganan Isu Sosial Lingkungan Sumatera Light North (SLN) PT CPI di Duri, dijatuhi hukuman dua tahun penjara oleh Majelis Hakim Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Jumat (19/7).
Majelis juga memerintahkan Widodo membayar denda Rp 200 juta subsidair tiga bulan kurungan. Majelis dalam putusannya menyatakan Widodo terbukti menyalahgunakan kewenangan dan menguntungkan orang lain atau korporasi terkait proyek normalisasi lahan tercemar minyak (bioremediasi) di Riau tahun 2006-2011.
Namun, vonis atas Widodo itu jauh lebih rendah dari tuntutan yang diajukan oleh penuntut umum. Sebelumnya Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Agung mengajukan tuntutan tujuh tahun penjara dan denda denda Rp 500 juta subsider enam bulan kurungan.
Lagi-lagi, dalam putusan ini suara hakim tidak bulat alias terjadi dissenting opinion. Tiga dari lima hakim berpeda pendapat soal putusan Widodo ini.
"Karena ada perbedaan dan setelah musyawarah sungguh-sungguh tidak sampai mufakat, maka diambil dengan suara terbanyak, yaitu terdakwa Widodo terbukti melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan berlanjut, melanggar Pasal 3 jo Pasal 18 UU Tipikor jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 jo Pasal 64 ayat 1 KUHP sebagaimana dakwaan subsider," kata Ketua Majelis Hakim, Sudharmawati Ningsih, membacakan vonis di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jumat (19/7).
Sudharmawati dan anggota majelis, Antonius Widijananto, dalam pertimbangannya mengatakan bahwa Widodo terbukti menyalahgunakan wewenang dalam menentukan harga perkiraan sendiri (HPS) pelaksanaan bioremediasi. Selain itu, Widodo dianggap tetap menggunakan PT Green Planet Indonesia (GPI) untuk melaksanakan bioremediasi dan tetap membayar uang ke perusahan rekanan PT CPI itu sehingga merugikan keuangan negara sebesar USD 6,9 juta.
Sedangkan hakim Slamet Subagyo menyatakan, Widodo tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dakwaan JPU. Karenanya, kata Slamet, Widodo harus dibebaskan dari segala tuntutan.
"Dari fakta persidangan terungkap pengumuman pemenang lelang baru 21 Juni 2008 dan terdakwa tidak terlibat. Sedangkan, peristiwa 20 Februari 2008 yang disebut pengumuman pemenang lelang sesungguhnya adalah penyusunan HPS sebesar 7,2 juta dolar Amerika," ungkap Slamet pada persidangan itu.
Slamet melanjutkan, posisi Widodo ketika bioremediasi terjadi masih sebagai konsultan representatif di Sumatera Light South (SLS) dan bukan tim leader di SLN. Ditambah lagi, kontrak kerja bioremediasi dengan PT GPI sudah mendapatkan izin dari BP Migas, sehingga penetapan lelang telah sesuai dengan pedoman lelang baraang dan jasa.
"Bahwa tidak benar Widodo bekerjasama dengan Direktur PT GPI Riscky Prematuri melakukan bioremediasi dengan tidak benar karena terdakwa tidak memiliki kewenangan lakukan kegiatan bioremediasi di SLN," ujar Slamet.
Hakim Anggota IV, Sofialdi, juga menyatakan hal serupa. "Terdakwa dipindahkan ke Duri pada Agustus 2008, maka terdakwa tidak ikut lagi dalam proyek bioremediasi di SLS," ujar Sofialdi.
Widodo adalah pihak ketiga di PT CPI yang dinyatakan bersalah karena korupsi proyek bioremediasi. Sebelumnya, dua pegawai PT CPI, yakni Kukuh Kertasafari dan Endah Rumbiyanti juga dijatuhi hukuman penjara selama dua tahun denda Rp 200 juta subsidair tiga bulan penjara/
Sedangkan dua terdakwa lainnya yang dinyatakan bersalah berasal dari rekanan PT CPI. Yaitu Direktur PT Green Planet Indonesia (GPI) Ricksy Prematuri dan Dirut PT Sumigita Jaya, Herland bin Ompo. Ricksy dijatuhi hukuman lima tahun penjara, sedangkan Herland diganjar enam tahun bui. (boy/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Kerugian Perkara Simulator Rp 121 Miliar
Redaktur : Tim Redaksi