Saya Batak, Horas!

Minggu, 11 Maret 2012 – 08:57 WIB

AVALON Hona Haloho Sinabutar bukan orang Indonesia. Dia adalah warga Australia. Tapi, ayahnya asli Medan dan ibunya asal Inggris. Avalon adalah pemenang Supermodelme Season 2, program reality show pencarian model se-Asia Tenggara. Saat ini dia berada di Indonesia melakukan pekerjaan.

Pada Senin lalu (5/3) Jawa Pos menemui perempuan kelahiran Paddington, Sydney, itu di Gedung Sophie Martin Paris, Lebak Bulus, Jakarta Selatan. Di Indonesia dia bergabung dengan Victory Talent Management yang berkantor di gedung tersebut.

Nama Avalon cukup asing terdengar. Ketika ditanya tentang arti nama, dia menjawab tidak terlalu mengerti. "Avalon itu English name.  Panggil saya Ava saja, teman-teman biasa memanggil saya begitu," kata perempuan 18 tahun itu ramah.

Ava hanya tahu arti kata Hona. Kata ayahnya, Edward Haloho, Hona berarti kekuatan. "Hona itu kekuatan. Kalau yang lain, saya nggak tahu. Yang pasti, saya ini Batak. Horas!" teriaknya dalam bahasa Inggris lantas tertawa.

Ava dulu pernah tinggal di Indonesia. Dia sekolah di Bali. Saat berusia 8 tahun, dia berpindah ke Perth. Meski begitu, Ava tidak bisa berkomunikasi dengan bahasa Indonesia.

Salah satu agenda kedatangannya di Jakarta ialah mengenalkan Supermodelme Season 3 yang tayang di channel KIX mulai 13 Maret mendatang setiap Selasa. Acara itu yang membukakan banyak pintu kesempatan untuknya. "Kompetisi itu sangat amazing buat saya. Sebab, di sana saya mendapat banyak hal yang membuat saya menjadi model yang sesungguhnya," ucap pemilik postur 170 cm dan berat 57 kg itu.

Ava menjadi model sebenarnya diawali dari malu. Sulung dua bersaudara itu sangat pemalu. Dia bisa mendadak pendiam ketika bertemu dengan banyak orang. Deborah Ryan, ibu Ava, lantas memasukkan dia ke kelas modeling. "Umurku waktu itu 14 tahun. Memang tujuannya membangun rasa percaya diri," urai perempuan yang menyukai fotografi dan bermain gitar itu.

Beberapa tahun kemudian dia mengikuti kelas akting. Hingga akhirnya, dia mendapat tawaran bekerja sebagai model profesional di Perth. "Saat saya ditawari oleh agency menjadi model, saya langsung bilang mau. Setelah itu, baru saya ikut kompetisi Supermodelme," ceritanya. 

Ketika mengikuti kompetisi itu, Ava berusia 16 tahun. Dia harus tinggal di Singapura kurang lebih dua bulan. Sebab, acara tersebut memang dilangsungkan di sana. "Tahu tidak, saya peserta paling muda. Jadi, kami kan dikumpulkan di sebuah base camp untuk mengikuti karantina. Saya yang paling kecil. Jadi serasa anak bayi deh," terangnya.

Awalnya, dia agak takut mengikuti kompetisi. Seperti yang pernah dia tonton di TV, acara reality model biasanya diwarnai pertengkaran dan saling iri. "Kalau yang saya lihat, acara seperti ini kan biasanya banyak menguras emosi. Bayangkan saja, kami semua perempuan, semua mau menjadi pemenang. Saya membayangkan itu seperti kucing bertengkar. Ribut. Tapi, ternyata tidak. Saya mencintai teman-teman sesama peserta. Mereka baik semua," tuturnya.

Bahkan, yang lain sangat memperhatikan dia karena dia peserta paling kecil. Berada dua bulan di Singapura, kata Ava, adalah kali pertama dirinya pergi sendiri tanpa orang tua dalam waktu lama. "Saya sudah takut aja kalau nanti homesick gimana. Eh, nggak tahunya malah tidak ngerasain itu sama sekali. The competition was so much fun," lanjutnya. Apalagi, dia yang menjadi pemenangnya. Kesempatan melanjutkan karir sebagai model internasional pun semakin terbuka lebar.

Salah satu keunggulan Ava saat mengikuti kompetisi adalah selalu berhasil dalam tantangan photo challenge. Para kontestan harus melakoni foto sesi dengan tema tertentu. Dalam beberapa hasil foto, Ava terlihat begitu pandai bergaya. Terkadang terlihat anggun dan polos, terkadang terlihat liar. Beberapa foto terlihat sangat berbeda seperti bukan dirinya.

"Hahaha, masa sih?  Well, jadi model itu sebenarnya mirip dengan akting. Kita harus mengikuti karakter dari konsep fotonya. Kita bisa berubah menjadi karakter apa pun. Kadang-kadang harus menjadi garang, menjadi cantik, menjadi tomboi," ucapnya.

Dia sendiri mengaku tidak tahu bagaimana melakukan itu semua. Semua datang secara alamiah saat sudah berhadapan dengan kamera. "Saya nggak tahu, pokoknya itu terjadi begitu saja. Tapi, saya memang sering berlatih sendiri di depan kaca. Coba-coba berbagai macam pose di kaca. Jadi, kalau udah berada di depan kamera, bisa natural," ungkapnya. (jan/c4/ayi)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Cynthia Lamusu Tersiksa Dipoligami


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler