jpnn.com - MOJOKERTO - M. Ramli merupakan kepala SMKN 1 Petasia, Morowali, Sulawesi Tengah yang dikirim ke SMKN 1 Sooko Kabupaten Mojokerto. Ini merupakan bagian dari program pengiriman sejumlah kasek dari daerah terdepan, terluar dan tertinggal (3T) untuk belajar di sekolah terbaik, selama 10 hari.
’’Saya memang senang di sini,’’ kata bapak satu anak tersebut saat ditemui di SMKN 1 Sooko.
BACA JUGA: Bangun STAIN Sulbar, Gubernur Anwar Minta Dukungan Menteri Yuddy
Pria 42 tahun itu mengaku beruntung karena bisa merasakan studi di salah satu SMK terbaik. Sebaliknya, dia mengaku kasihan dengan Prapti Widodo, kepala SMKN 1 Sooko yang menggantikan dirinya di SMKN 1 Petasia.
’’Ibaratnya, saya di sini senang-senang. Sedangkan yang ke sana menderita,’’ ucapnya.
BACA JUGA: Bos Pembuatan Skripsi Abal-abal Mahasiswa PTN di Surabaya
Sejak di perjalanannya saja, menurutnya sudah susah. Dari sekolahnya ke ibu kota Sulawesi Tengah, Palu, jaraknya mencapai 450 kilometer. ’’Harus ditempuh pakai bus selama satu hari,’’ tuturnya. Karena medannya memang tidak bagus. Setelah itu, baru naik pesawat ke Surabaya selama dua jam.
Pada awalnya, Ramli mengaku terpaksa mengikuti program pertukaran kasek. Penyebabnya, di Morowali hanya ada tujuh SMK. Dua SMK Negeri dan lima SMK swasta.
BACA JUGA: Laporan Khusus Skripsi Abal-abal: Ilmu Sosial Rp 2,2 Juta, Sains Rp 3,5 Juta
Nah, yang boleh ikut program pertukaran kasek hanya kepala sekolah PNS yang menjadi kasek definitif. Selain itu, juga harus sudah pernah meluluskan siswa alias punya alumni.
’’Dari semua kriteria itu, hanya saya yang memenuhi. Jadilah saya yang berangkat,’’ ucap pria kelahiran Makassar ini. Sekolah yang dia pimpin berdiri 2004. Dan dia langsung ditunjuk sebagai kepala sekolahnya. Maklum, Morowali adalah kabupaten hasil pemekaran dari Kabupaten Poso. Penduduknya belum sampai 500 ribu jiwa.
’’SMK di sini jauh lebih lengkap daripada di sana,’’ paparnya. Sebagai gambaran, setelah tiga tahun dibuka, jurusan otomatif di sekolahnya baru memiliki tiga motor untuk praktik. Sampai sekarang, dia juga belum berani membuka jurusan kontruksi bangunan. Dia baru sebatas membuka jurusan teknik gambar bangunan.
’’Kenapa gambar? Karena praktiknya lebih murah. Kalau kontruksi prakteknya kan mahal,’’ tuturnya.
Di sekolahnya, tidak ada SPP. ’’Ini imbas politik yang selalu menyebut sekolah gratis saat kampanye. Sehingga begitu ada pungutan sedikit saja, langsung disemprit kepala daerah. Jadi sekolah tak berani mungut,’’ ungkapnya.
Untuk biaya, selama ini dipenuhi dari dana BOS Pusat sebesar Rp 1,5 juta per tahun per siswa. Serta dana BOS dari Pemkab sebesar Rp 40 ribu per siswa per bulan. ’’ Jumlah total siswa saya ada 500 anak,’’ ucapnya.
Karena minim dana, akhirnya tidak banyak pengembangan yang bisa dilakukan. ’’Kalau mau prakerin (praktik kerja industri) dan uji kompetensi yang wajib, kita kumpulkan orang tua. Kita sampaikan, biaya dari Pemkab sekian, sisanya ortu sekian,’’ bebernya.Jika tidak demikian, orang tua protes.
’’Selama di sini, saya beberapa kali ikut kunjungan industri dengan siswa kelas X. Disana, ini tak bisa dilakukan karena terkendala biaya,’’ ucapnya. Padahal dengan SPP Rp 150 ribu per bulan, siswa SMAN 1 Sooko sudah bisa mengikuti kunjungan industri dan prakerin. Dari SPP itu juga ada yang disisihkan untuk koperasi dan bank mini yang bisa diambil saat lulus.
Sejak 12 Desember lalu, Ramli mengaku sempat menemani siswa kunjungan industri ke PT Indofood dan Batik Cahaya di Pasuruan. Alfamart dan Ines Kosmetik serta Damma TV di Malang. Semua itu menurutnya sangat bermanfaat.
’’Mudah-mudahan ketika tahun depan SMK diambil alih provinsi, kita bisa sebanyak-banyaknya meniru yang ada disini. Sebab dari sini, saya banyak belajar. Namun aplikasinya tergantung ketersediaan anggaran,’’ paparnya.
Dengan diambil alih provinsi, internvensi politik menurutnya juga bisa dikurangi.’’Karena di sana pergantian kepala sekolah bisa terjadi setiap bulan,’’ ucapnya. (yr/ROJIFUL MAMDUH/sam/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Pemerintah Segera Tambah Jumlah PTK Negeri
Redaktur : Tim Redaksi