Kabar yang tidak kami harapkan itu akhirnya sampai juga.
“Bapak sudah nggak ada. Tolong beritahu yang lain, saya enggak sanggup,” isi pesan singkat Kakak ipar saya dari Indonesia kepada suami saya, Regi.
BACA JUGA: Menko PMK Minta Pabrik Oksigen Tingkatkan Kapasitas Produksi
Sesaat kemudian saya mendengar raungan tangisnya memecah hening pagi yang dingin di Melbourne.
Bapak mertua saya, Robertus Victor Sugito, 87 tahun, akhirnya meninggal dunia pada 2 Juli lalu karena COVID-19.
BACA JUGA: Pertamina Pantau Kesiapan Pertamedika di RS Darurat Covid-19 Asrama Haji
Dua minggu sebelumnya, Bapak dilarikan ke rumah sakit setelah ia mengeluh sekujur badannya sakit disertai demam.
Kami patah hati luar biasa karena meskipun Bapak sudah menerima dosis pertama vaksin Sinovac, kami tahu persis bagaimana mematikannya virus ini bagi para lansia.
BACA JUGA: Hebat, Prof Yusril Memanfaatkan Waktu di Masa Pandemi dengan Sekolah Lagi
Apalagi, Bapak juga perokok.
Tapi dari pemberitaan yang saya laporkan tentang krisis COVID yang memburuk di Indonesia, kami merasa beruntung Bapak setidaknya bisa dirawat di rumah sakit karena banyak yang tidak tertampung.
Saya juga sempat bergidik saat mengingat artikel yang saya tulis tentang makin banyaknya pasien COVID yang meninggal di rumah atau di jalan karena tidak sempat tertangani.
Selama Bapak dirawat, kami mengandalkan kebaikan hati para dokter dan perawat untuk menyambungkan 'video call' dari ruang isolasi tempat Bapak dirawat, agar kami bisa berkomunikasi sampai akhirnya Bapak pergi.
Bagi saya yang selama hampir dua tahun belakangan ini menulis laporan tentang COVID-19 di Indonesia, kehilangan Bapak adalah wujud ketakutan terbesar saya yang menjadi nyata.
Semua kisah yang selama ini saya dengar dan saya tulis, kini saya alami sendiri.
Sama persis seperti tahapan protokol pemakaman pasien COVID yang kerap saya laporkan, siang itu juga Bapak dimakamkan di pemakaman yang sudah ditunjuk oleh Pemerintah.
Tidak ada upacara pemakaman. Tidak ada Misa Requiem.
Kami hanya bisa menyaksikan proses pemakaman Bapak yang singkat itu dari rekaman video yang dikirimkan melalui aplikasi WhatsApp oleh salah seorang sepupu kami yang tinggal sekota dengan Bapak. Berduka untuk kedua kalinya
Lima hari setelah bapak mertua saya dimakamkan, saya mendapat kabar kondisi salah satu Paman saya menurun saat sedang isolasi mandiri.
Meskipun saturasi oksigen paman saya sudah mencapai angka 68 dan ia memiliki komorbid asma dan diabetes, ternyata tidak mudah membujuk paman saya untuk pergi ke rumah sakit.
Malam itu melalui telepon, tante saya meminta bantuan saya untuk menjelaskan kepada Paman mengapa dia perlu segera ke rumah sakit seraya menjanjikan akan mencarikan ambulans.
“Kalau sudah ada ambulansnya, nanti saya dibawa ke rumah sakit mana?” tanya paman saya, Deddy Sumardi, malam itu.
“Belum tahu, Oom. Tapi yang pasti kita sekarang tidak bisa memilih rumah sakit, karena kondisinya begini."
"Nanti dicarikan oleh Puskesmas rujukan rumah sakit yang masih bisa menampung ya, Oom. Aku akan bantu carikan juga,” tutur saya setengah memaksa karena mengkhawatirkannya.
Tapi itu adalah pembicaraan terakhir saya dengannya. Dua hari setelah perbincangan itu, paman saya berpulang setelah sempat dirawat di rumah sakit.
Sama seperti Bapak, pemakaman untuk Paman dilakukan di bawah protokol COVID.
Tante saya dan anak semata wayangnya juga tidak dapat melihat dari jauh jalannya pemakaman, karena masih isolasi mandiri di rumah. Rindu menggantung yang tak akan pernah terbayar
Karena pandemi, sudah hampir dua tahun ini kami tidak pulang ke Indonesia.
Anak-anak Bapak di Australia, Belanda, Jerman, dan di kota lain Indonesia juga menahan diri mengunjunginya di Magelang, Jawa Tengah.
Semua menjaga diri, menjaga Bapak. Kami takut menulari Bapak yang masuk ke dalam kelompok rentan.
Mungkin itu yang membuat kepergian Bapak makin menyakitkan untuk kami.
Ada kerinduan yang menggantung yang kini tidak akan pernah bisa lagi terbayar.
“Padahal aku masih ingin ketemu Bapak, masih mau pulang, Natalan sama Bapak lagi kalau keadaan sudah membaik.”
“Sekarang kalau pulang Bapaknya sudah enggak ada,” kata suami saya lamat-lamat dalam isakan tangisnya saat itu.
Ada rasa duka yang juga tidak tersalurkan, yang tidak tuntas.
Dan lebih dari itu, mungkin diam-diam kami juga merasa tidak terima telah 'dikalahkan' oleh COVID.
Sebagai orang yang selama ini merasa banyak tahu soal COVID-19 karena banyak berkomunikasi dan berdiskusi dengan pakar, dokter, dan juga warga lain yang berbagi pelajaran mengenai COVID-19, saya merasa tidak berguna dan tidak berdaya.
Ada ironi yang saya rasakan saat melihat nol kasus di Victoria saat saya harus kehilangan bapak mertua dan paman saya hanya dalam waktu sepekan. Penularan di Indonesia terus naik, vaksinasi masih rendah
Bapak mertua dan paman saya pergi di saat situasi COVID-19 di Indonesia sedang dilanda gelombang kedua kasus COVID-19, meski beberapa ahli berpendapat bahwa sejatinya gelombang yang pertama pun belum pernah terlalui.
Beberapa pakar sebenarnya sudah mengingatkan kemungkinan terburuk yang bisa menimpa Indonesia sebagai negara dengan penduduk terbesar keempat di dunia jika tidak serius mengatasi pandemi.
Belakangan, epidemiolog dari Universitas Indonesia Dr Pandu Riono menggunakan istilah 'herd stupidity' untuk menggambarkan kondisi di Indonesia.
Yanuar Nugroho, sosiolog Indonesia di ISEAS yang pernah bekerja di kantor kepresidenan Joko Widodo dan Susilo Bambang Yudhoyono, mengatakan salah satu kesalahan fatal yang dilakukan pemerintah sehingga berujung pada situasi saat ini adalah "ketiadaan persepsi dan pesan yang tunggal kepada masyarakat".
Di lapangan, berdasarkan observasi saya selama pandemi ini, memang banyak kesimpangsiuran soal informasi penting, termasuk keamanan vaksinasi untuk orang-orang yang memiliki penyakit bawaan seperti paman saya.
Ini membuat banyak orang ragu untuk divaksinasi.
Laju vaksinasi Indonesia juga tidak bisa dibilang tinggi.
Sampai hari Jumat (15/07) menurut Johns Hopkins University baru 5,8 persen persen dari total populasi yang sudah menerima dua dosis vaksin.
Sementara baru hampir 15 persen dari total 21 juta warga lanjut usia, seperti Bapak, yang katanya adalah kelompok prioritas, yang sudah menerima dua dosis vaksin.
Pada hari Jumat, kementerian kesehatan Indonesia mencatat angka tertinggi, XX kasus baru dan XX kematian dalam 24 jam, dengan tingkat kematian harian hingga 10 kali lipat dari angka yang terlihat pada awal Juni.
Total kasus di Indonesia sekarang telah melewati 2,7 juta orang, dengan lebih dari 70.000 kematian.
Tapi bagi saya, angka-angka itu tidak akan pernah sama lagi.
Karena sekarang saya selalu melihat wajah ayah mertua dan paman saya di sana.
Baca artikel saya dalam bahasa Inggris
Video Terpopuler Hari ini:
BACA ARTIKEL LAINNYA... Kementerian ATR/BPN Susun RKA-K/L 2022, Sekjen Himawan Singgung Soal COVID-19