"Paradigma ini membuat SBY berusaha menjalin pertemanan dengan Negara sebanyak mungkin, meski negara asing itu mengeruk kekayaan sumber daya alam (SDA) kita," kata Dani Setiawan, dalam Diskusi bertajuk “Mengungkap Misteri Pemberian Gelar Ksatria dan Korupsi di Sektor Migas”, diselenggarakan Rumah Perubahan 2.0, di Jakarta, Selasa (4/12).
Padahal lanjut Dani, sejarah membuktikan Inggris dan negara-negara kolonialis selalu merayu kepala negara atau raja-raja yang daerahnya menjadi incaran mereka, dengan upeti dan gelar-gelar.
"Lihat saja foto atau lukisan raja-raja zaman dulu, mereka dengan bangga menyematkan bermacam medali pemberian Negara asing di bajunya,” ungkap Dani.
Di tempat yang sama, migas Marwan Batubara menyoroti kedaulatan energi yang kian jauh terwujud. Dalam banyak kontrak dengan perusahaan gas asing, antara lain disebutkan alokasi gas untuk dalam negeri hanya 30 persen. "Padahal banyak industry lokal yang sangat membutuhkan gas. Beberapa di antaranya bahkan mati karena ketiadaan pasok gas," kata Marwan.
Kalau pemerintah benar-benar bertekad mewujudkan kedaulatan energi, seharusnya pasal-pasal seperti ini tidak boleh ada lagi. Pemerintahlah, lanjut dia, yang harus menentukan besarnya pasok gas yang dihasilkan dari perut bumi Indonesia untuk kepentingan domestik.
“PLN berani membeli gas seharga US$12-15/mmbtu. Harga ini jauh lebih mahal ketimbang yang dibayar China dan Korea Selatan yang hanya US$3/mmbtu. Namun karena saham perusahaan gas yang mengeksplorasi dikuasai asing yang juga sekaligus jadi pembelinya, mereka sangat berkepentingan agar gas itu dijual dengan sangat murah. Ironisnya, BUMN kita sama sekali tidak punya saham di sana, walau pun hanya 1 persen sekali pun,” ungkap Marwan. (fas/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Kakak Nazar Ancam Rosa Agar Tak Sebut Nama
Redaktur : Tim Redaksi