Seabrek Kekeliruan dalam Tuntutan Mati untuk Terdakwa ASABRI

Jumat, 10 Desember 2021 – 22:45 WIB
Presiden Komisaris PT Trada Alam Minera Tbk (TRAM) Heru Hidayat saat hendak memasuki mobil tahanan Kejagung, Selasa (14/1). Foto: Antara/Anita Permata Dewi

jpnn.com, JAKARTA - Pakar hukum pidana Dian Adriawan menilai surat dakwaan dan tuntutan yang disusun jaksa penuntut umum (JPU) terhadap terdakwa Heru Hidayat secara substansi mengandung kekeliruan.

Pengamat dari Universitas Trisakti itu memandang hukuman mati terhadap terdakwa kasus dugaan korupsi pengelolaan dana PT Asabri itu tidak tercantum dalam surat dakwaan, yakni Pasal 2 ayat (2) UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).

BACA JUGA: Apresiasi Kejagung, MAKI: Koruptor ASABRI Layak Dihukum Mati

"Kalau tidak ada dalam surat dakwaan, berarti kekeliruan yang dilakukan jaksa ketika dia mencantumkan itu (hukuman mati) di dalam tuntutan pidana,” kata Dian saat dihubungi, Jumat (10/12).

Menurut Dian, seharusnya tuntutan jaksa merujuk pada surat dakwaan.

BACA JUGA: Kejagung Tuntut Hukuman Mati, Deretan Pakar Hukum Ini Ungkap Kejanggalan Kasus ASABRI

Dia menegaskan surat dakwaan merupakan hal yang penting karena menjadi koridor bagi hakim untuk melakukan pemeriksaan perkara.

Selain itu, kata dia, surat dakwaan menjadi batasan bagi jaksa dalam pengajuan tuntutan pidana bagi seorang terdakwa.

BACA JUGA: Prof Budi Jelaskan Efek Hukuman Mati di Kasus ASABRI terhadap Investasi, Mengerikan

“Kalau tidak ada dalam surat dakwaan, kemudian dalam tuntutan-tuntutan pidana ada Pasal 2 ayat 2, itu sesuatu kekeliruan JPU. Karena begini, apa yang ada dalam surat dakwaan, diantisipasi juga oleh terdakwa di dalam pembuktian. Nah, bagaimana dia (terdakwa) mengantisipasi Pasal 2 ayat 2 kalau tidak ada dalam surat dakwaan,” jelas Dian.

Dian juga melihat aksi Heru Hidayat tidak bisa dikategorikan sebagai pengulangan tindak pidana.

Sebab, pengulangan tindak pidana terjadi ketika seseorang sudah diputuskan bersalah secara inkrah, lalu mengalami perbuatan yang sama.

Sementara Heru terjerat di kasus korupsi Asabri dan Jiwasraya.

“Kalau ini kasusnya bersama-sama. Pengertian yang dikemukakan oleh jaksa itu keliru kalau menurut saya,” jelas dia.

Selain itu, kata Dian, hukuman pidana mati lebih tepat diterapkan dalam kasus korupsi terhadap dana-dana yang dipergunakan untuk penanganan dan penanggulangan kondisi darurat.

Dia mencontohkan kondisi darurat tersebut seperti bencana nasional atau krisis moneter.

Sementara, tindak pidana korupsi Heru Hidayat tidak terkait dengan kondisi darurat tersebut.

“Sebenarnya situasi tertentu itu cocoknya, yang paling tepat kalau diterapkan pada kasus yang lain, seperti kasus Bansos, itu terjadi pada masa pandemi seharusnya hukuman mati,” pungkas Dian.

Jaksa penuntut umum (JPU) menuntut hakim agar menjatuhkan hukuman mati terhadap terdakwa Komisaris Utama PT Trada Alam Minera Heru Hidayat.

Jaksa menilai Heru Hidayat terbukti melakukan korupsi di PT Asabri yang merugikan negara hingga Rp 16 triliun.

Karena itu, hukuman mati layak diberikan mengingat tindakan korupsi masuk dalam kejahatan luar biasa.

"Menuntut menghukum terdakwa Heru Hidayat dengan pidana mati," kata JPU dari Kejaksaan Agung saat membacakan surat tuntutan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin (6/12).

Dalam kasus ini, Heru disangkakan melanggar Pasal 2 ayat 1 juncto Pasal 18 UU 31/1999 sebagaimana telah diubah dengan UU 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Selain itu, Heru juga disangkakan melanggar Pasal 3 UU 8/2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. (tan/jpnn)

Jangan Lewatkan Video Terbaru:


Redaktur : Adil
Reporter : Fathan Sinaga

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler