Kejagung Tuntut Hukuman Mati, Deretan Pakar Hukum Ini Ungkap Kejanggalan Kasus ASABRI

Kamis, 09 Desember 2021 – 08:38 WIB
Ilustrasi - Palu Hakim (ANTARA FOTO/Widodo S. Jusuf)

jpnn.com, JAKARTA - Kejaksaan Agung nekat menuntut terdakwa kasus korupsi ASABRI, Heru Hidayat dijatuhi vonis hukuman mati oleh majelis hakim Pengadilan Tipikor.

Padahal, banyak pakar hukum menemukan kejanggalan dalam penanganan perkara tersebut.

BACA JUGA: ART: Pengganggu Penyidikan Korupsi ASABRI di Kejagung Perlu Disikat

Salah satunya adalah pakar hukum administrasi negara Dian Puji Nugraha Simatupang yang menyoroti metode penghitungan kerugian negara oleh BPK.

Doktor ilmu hukum yang pernah dihadirkan terdakwa ASABRI sebagai ahli dalam persidangan tersebut mengatakan bahwa pemeriksaan formalitas dengan penghitungan hanya didasarkan pada aspek uang masuk dan uang keluar tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

BACA JUGA: Terdakwa Korupsi Asabri Heru Hidayat Dituntut Hukuman Mati

“Penghitungan kerugian negara harus berdasarkan nilai buku atau nilai nyata yang catatan laporan keuangannya ada pada CaLK,” ujar Dian.

Dian juga mengkritik metode total lost yang digunakan BPK. Menurut dia, sejak ada Pasal 39 PP Nomor 38 tahun 2016, maka total lost sudah tidak dikenal lagi.

BACA JUGA: Terdakwa Kasus Asabri Dituntut Hukuman Mati, Haris Azhar Bereaksi Keras

Untuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang mengelola investasi, lanjut dia, mengacu Pasal 4 ayat (1) PMK No. 248 Tahun 2016 untuk mengidentifikasi apakah dari nilai ada kekurangan atau tidak

"Metode penghitungan kerugian negara yang digunakan oleh BPK seharusnya menggunakan metode baku yang diatur dalam Peraturan BPK No. 1 Tahun 2017 tentang Standar Pemeriksaan Keuangan Negara dan harus mengaplikasikan prinsip-prinsip akuntansi, apabila keluar dari situ, artinya BPK telah melanggar peraturan yang menjadi acuan BPK sendiri,” ungkap Dian.

Dian pun menjelaskan bahwa apabila dalam suatu negara terjadi kekeliruan dalam investasi saham akibat fluktuasi harga, maka tidak bisa dianggap sebagai kerugian negara.

“Jadi apabila terdapat kerugian nilai investasi yang merujuk kepada Pasal 30 Peraturan Menteri Keuangan No. 248 Tahun 2016 maka perlu adanya teguran tertulis sebanyak 3 (tiga) kali berturut-turut dengan jangka waktu masing-masing 1 (satu) bulan dan penyelesaiannya dalam jangka waktu 1 (satu) tahun”, tegasnya.

Terpisah, ahli hukum pasar modal Indra Safitri yang dihadirkan terdakwa Lukman Purnomosidi dalam persidangan menjelaskan bahwa turun dan naiknya harga saham ditentukan oleh pergerakan harga yang terbentuk di bursa efek.

“Dalam hal terjadi naik turunnya harga saham, emiten tidak bisa diminta pertanggungjawaban,” ujar dia.

Dalam memberikan keterangan terkait dengan pertanyaan JPU mengenai ada atau tidaknya ketentuan di pasar modal yang mengatur setidaknya transaksi yang menimbulkan kerugian keuangan negara. “Tidak ada,” tegas Indra.

Sementara Dr Miftahul Huda yang juga memberikan keterangan dalam perkara terdakwa Lukman Purnomosidi menyatakan bahwa apabila ada kesepakatan antar badan hukum korporasi dan terbit surat efektif dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) belum jatuh tempo (maturity date), maka hukum pidana tidak bisa diterapkan.

“Jadi perjanjian yang belum due, maka tidak dapat dikatakan wanprestasi dan atau melakukan perbuatan melawan hukum,” tegas Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia ini.

Dr Mahmud Mulyadi, SH., M.Hum sebagai ahli hukum pidana mengatakan bahwa untuk membuktikan adanya suatu dugaan tindak pidana korupsi perlu menerapkan asas dualistis.

“Asas dualistis dianut dengan memisahkan perbuatan pidana (unsur objektif) dengan pertanggungjawaban pidana (unsur subjektif), maka untuk menemukan suatu dugaan tindak pidana korupsi perlu dibuktikan terlebih dahulu objektif dan setelah itu unsur subjektifnya,” jelas Mahmud Mulyadi.

Undang-Undang Pasar Modal, Undang-Undang Administrasi dan lain-lain dan kemudian ditarik dalam UU Tipikor?

“Apabila terdapat UU Pidana Khusus yang berhadapan, perlu diterapkan asas leq specialis systematic derogate lex generalis, jadi aturan UU khusus yang lebih sistematis yang akan diterapkan, tidak sedikit-sedikit harus ditarik ke Tipikor," tegas doktor hukum berpenampilan nyentrik ini. (dil/jpnn)

 


Redaktur & Reporter : Adil

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag

Terpopuler