Di tengah situasi pandemi COVID-19 yang tidak menentu di Indonesia, jejaring pengaman pembiayaan seperti asuransi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan atau pun swasta menjadi hal yang penting untuk dimiliki.
Sebagian biaya perawatan COVID-19 memang ditanggung oleh pemerintah, namun tidak jarang warga harus mengeluarkan uang dari kantong sendiri, terutama untuk penyakit yang bukan COVID-19.
BACA JUGA: Selandia Baru Merasa Sudah Berhasil Kalahkan Varian Delta
Ini dialami oleh Tubagus Adhi, seorang wartawan di Jakarta yang istrinya, Yudansha Azrina meninggal dunia karena stroke.
Tubagus masih sempat harus melunasi tagihan biaya perawatan mendiang istrinya selama 35 hari di rumah sakit setelah kepergiannya.
BACA JUGA: Jelang PON, Airlangga Ajak Kepala Daerah Papua Turunkan Kasus Covid-19
Menurut Tubagus, ketika mencari tempat perawatan untuk istrinya yang tidak sadarkan diri pada tanggal 10 Juli, ia ditolak empat rumah sakit.
Setelah akhirnya diterima di Rumah Sakit Siloam Jakarta, istrinya sempat sadarkan diri di hari keempat dalam ICU, di mana ia "divonis penyumbatan pembuluh darah di otak kanan".
BACA JUGA: Jumlah Kasus Positif Covid-19 di DKI Jakarta Turun Sedikit
"Yang penting [saat itu] istri saya bisa dapat rumah sakit dan diselamatkan. Walau takdir menentukan lain," katanya Tubagus.
"Selama 37 hari dirawat di Siloam, dia lebih banyak di ICU, dengan penyakit yang semakin meluas."
Istrinya mengembuskan napas terakhir tanggal 16 Agustus 2021, meninggalkan tagihan sebesar hampir setengah miliar rupiah karena rumah sakit tidak menerima pasien BPJS.
Tubagus juga tidak memiliki asuransi swasta.
"Dulu saya pernah ikut beberapa asuransi. Tetapi, saya agak lalai mematuhi ketentuannya, khususnya pembayaran bulanannya. Beberapa asuransi kemudian hangus."
Biaya yang harus dibayar Tubagus tadi belum termasuk tes isotermal, untuk mendeteksi COVID-19 sebesar Rp830 ribu untuk sang istri dan setiap anggota keluarga yang menjenguk.
Uang sebesar Rp455 juta harus dikeluarkan dari koceknya sendiri, karena biaya perawatan ini tidak ditanggung oleh BPJS maupun asuransi.
"Alhamdulillah, saat ini saya sudah bisa bernapas lebih lega karena seluruh pembiayaan di RS Siloam Simatupang, sekitar Rp455 juta, sudah terselesaikan," kata Tubagus kepada wartawan ABC Indonesia Sastra Wijaya.
Tubagus menuturkan, dana tersebut ia dapatkan dari tabungannya, anak-anaknya, juga bantuan dari beberapa teman dan sahabat. Satu keluarga terkena COVID
Di sisi lain, warga Kabupaten Sleman, DI Yogyakarta, Evy Dwikorina merasa lega karena seluruh biaya perawatan rumah sakit keluarganya ditanggung pemerintah.
Evy, yang pernah bekerja di Jakarta, kembali ke kampung halaman untuk menemani ibunya yang hidup sendiri dan memiliki penyakit diabetes dan lainnya.
Di rumah yang sama juga tinggal anak Evy, cucu, dan adik perempuannya.
"Kami semua kemudian positif terkena COVID. Saya sempat panik apalagi ketika khawatir keadaan saya, atau adik saya atau anak saya parah dan harus opname," kata Evy yang tidak dirawat di rumah sakit.
Ibu Evy kemudian dirawat setelah perjuangan mencari rumah sakit yang masih memiliki tempat tidur.
Ini terjadi sepanjang bulan Juli, ketika loud speaker masjid di desa mengumumkan berita duka cita dari minimal dua orang dalam sehari, kenang Evy.
Walau tidak keluar biaya untuk rumah sakit, Evy tetap harus membayar sendiri biaya obat-obatan kala isolasi mandiri.
"Untuk saya, adik saya, anak saya, karena tidak mendapat respon yang baik oleh puskesmas setempat, kami mengusahakan sendiri obat-obatan," kata Evy.
"Obat anti virus dibelikan oleh tante saya yang perawat di RSUD Sleman. Vitamin-vitamin kami beli sendiri."
Ia pun menerima kiriman makanan dari teman kuliah hingga SMA, dan bahkan dari Jakarta melalui layanan ojek online.
"Di saat-saat genting ketika tubuh saya terkapar tidak bisa melakukan apapun, bantuan dari teman-teman berdatangan," katanya.
Keluarga Evy di Yogyakarta sekarang sudah sembuh dari COVID, namun salah seorang adik perempuannya yang tinggal di Jakarta meninggal bulan Juni lalu. Dari tes COVID diketahui ada kanker
Dalam situasi pandemi seperti sekarang ini, jaringan pengaman seperti kepemilikan asuransi menjadi lebih penting.
Lilie Chow sudah bekerja penuh di sebuah perusahaan asuransi di Jakarta selama lebih dari 12 tahun dan sudah berhubungan dengan ratusan nasabah.
Dia menceritakan beberapa contoh nasabahnya yang mengalami masalah selama pandemi dan merasa beruntung karena terbantu asuransi.
Seorang perempuan berusia 30 tahun dan suaminya positif COVID-19 lalu hingga harus dirawat di Jakarta.
Seminggu setelah dinyatakan negatif, hasil pemeriksaan darahnya menunjukkan D-dimer, atau fragmen protein yang dapat membantu proses pembekuan darah masih di tingkat 3.000.
Curiga, dokter pun menyarankan pemeriksaan menyeluruh, lalu menemukan bahwa nasabah tersebut menderita kanker kandungan stadium empat yang sudah menyebar ke dinding perutnya.
Menurut Lilie, dokter kemudian menyarankan agar nasabahnya segera terbang ke luar negeri untuk mendapatkan pengobatan yang lebih baik.
"Beruntung dia punya asuransi kesehatan dengan limit tahunan Rp35 M dan bisa menjalani pengobatan di seluruh dunia termasuk di Amerika Serikat," kata Lilie.
"Di tengah kesulitannya dia tetap berusaha membayar premi asuransinya dengan lancar."
Kepemilikan asuransi juga membantu nasabah yang memiliki bisnis penyewaan gedung dan katering makanan di Surabaya tersebut.
"Sejak pandemi bisnisnya terhenti sama sekali, semua pesanan dibatalkan dan dia mengatakan hampir bangkrut," kata Lilie.
"Tetapi dia sudah memiliki asuransi dan tetap membayar preminya."
Sayangnya, Lilie mengatakan kesadaran untuk memiliki asuransi kesehatan di Indonesia masih rendah dibanding negara lain di dunia.
Ia pun menambahkan agen asuransi adalah salah satu profesi yang pekerjanya paling banyak dihindari orang. Terkena COVID lima hari setelah mendaftar asuransi
Lilie menceritakan juga kasus lain di mana seorang nasabah lain yang terkena COVID hanya beberapa hari setelah mendaftarkan diri masuk asuransi.
"Nasabah saya menemani mamanya yang terkena kanker berobat ke Jakarta. Saat itu pandemi sedang tinggi-tingginya. Semua orang takut ke luar rumah apalagi ke rumah sakit," katanya.
"Karena kenal sebelumnya karena masih sanak keluarga, saya sharing mengenai asuransi ketika menjenguk ibunya."
Ia pun mengingatkan bahaya dan risiko terkena COVID di rumah sakit, yang menurutnya adalah "sarangnya COVID".
"Hanya lima hari setelah membeli asuransi, dia terkena COVID. Saat itu semua kamar rumah sakit penuh sehingga dia menyewa satu kamar di apartemen yang sama agar tidak menulari mamanya," katanya.
"Dia harus melakukan isoman. Total biaya yang diklaimnya Rp13,5 juta. Dia sangat berterima kasih isomannya dibayar oleh asuransi."
Tubagus Adhi yang kehilangan istrinya juga sepakat bahwa memiliki asuransi adalah hal yang sangat penting, walau tidak memilikinya ketika istrinya meninggal.
"Seluruh rumah sakit menerima asuransi, tetapi tidak dengan BPJS.
"Lebih utama lagi, ya sehat itu mahal. Jadi, berusaha tetap sehat, wajib hukumnya." kata Tubagus Adhi.
BACA ARTIKEL LAINNYA... Presdir Acer Indonesia Temui Mayjen Mulyo Aji, Ada Bantuan untuk Penanganan Covid-19