jpnn.com, JAKARTA - Kenaikan harga beras tidak serta merta membuat petani menikmati hal tersebut, seperti yang dialami warga kampung Sindangsono, desa Sukamanah, Cigalontang, kabupaten Tasikmalaya.
Mereka justru mengaku kehidupannya makin sulit. Hal ini lantaran dibarengi kenaikan harga pupuk, ongkos kerja, sawah yang tidak luas, dan hasil panen yang tidak cukup.
BACA JUGA: Perpadi Gelar Rakernas di Solo, Harga Beras Jadi Fokus Utama
Anggota Majelis Nasional Sekretariat Kolaborasi Indonesia (SKI) Syaiful Bahari mengatakan kenaikan harga beras berkaitan erat dengan kesalahan kebijakan pertanian.
"Indonesia salah langkah karena hanya terfokus di lahan basah dari dahulu. Riset dan kurikulum pertanian melupakan lahan kering. Padahal, mayoritas pertanian kita berlahan kering,” ujarnya pada media, Selasa 24 Oktober 2023.
BACA JUGA: El Nino & Geopolitik, Jangan Galau, Jokowi: Cadangan Beras Cukup
Dia melanjutkan, intensifikasi akhirnya digenjot menggunakan pupuk kimia dan akhirnya tanah menjadi rusak. Sehingga mengakibatkan produktivitas menurun dari tahun ke tahun.
“Jadi, yang lahan basah hanya sebagian kecilap, tetapi dilengkapi dengan irigasi, baik modern maupun semi," tuturnya.
BACA JUGA: Harga Beras Naik, Warga Mengeluh
Pengurus SKI ini menuturkan, jika selama sepuluh tahun terakhir dicermati, pembangunan waduk dengan tol tidak seimbang.
“Berapa persen waduk yang dibangun jika dibandingkan dengan pembangunan tol? Kalau bicara irigasi pertanian dengan konteks saat ini, apakah kita masih sangat kurang? Kurang banget,” ujar pakar pertanian.
Saiful menuturkan, di India terdapat sekitar 25 universitas khusus pertanian sehingga negara tersebut menggenjot bagian riset dan pengembangan di sektor pertanian.
“Kita hanya punya satu, IPB. India, bahkan memiliki satu universitas besar yang khusus penanganan lahan kering," tuturnya.
Dia meyakini jika pertanian mendapatkan perhatian khusus, persoalan kenaikan harga beras ataupun impor tidak akan terjadi. (jlo/jpnn)
Redaktur & Reporter : Djainab Natalia Saroh