"Eksekusi terhadap Bapak kami hanya sebuah proses perpindahan roh dari fisiknya menghadap pemilikNya," kata Sardjono Kartosoewirjo, saat peluncuran dan bedah buku "Hari Terakhir Kartosoewirjo: 81 Foto Eksekusi Mati Imam DI/TII", ditulis Fadli Zon, di Taman Ismail Marzuki Jakarta, Rabu (5/9).
Dijelaskan Sardjono, hari terakhir pelaksanaan eksekusi mati 5 September 1962 ada empat permintaan Kartosoewirjo kepada penguasa saat itu. Pertama pertemukan dia dengan perwira-perwira terdekat DI/TII. Kedua, saat eksekusi berlangsung, Kartosoewirjo memohon hadirkan perwakilan keluarganya. Ketiga, jenazahnya minta dimakamkan di makam keluarga dan keempat, pertemukan Kartosoewirjo dengan keluarga sebelum eksekusi mati dilaksanakan.
"Dari keempat permohonan tersebut hanya satu yang depenuhi oleh Mahkamah Darurat Perang yaitu bertemu dengan pihak keluarga dan saya sendiri tidak ikut hadir karena masih kecil," ungkap Sardjono.
Di tempat yang sama, penulis buku "Hari Terakhir Kartosoewirjo: 81 Foto Eksekusi Mati Imam DI/TII", Fadli Zon menjelaskan buku tersebut disusun terinspirasi dari tawaran pihak swasta yang menyodorkan sejumlah foto eksekusi mati Kartosoewirjo berikut dengan teks yang ada tentang foto-foto tersebut.
"Dokumen foto-foto dimulai dengan acara makan siang Kartosoewirjo dengan rendang Padang, tumpukan barang-barang milik Kartosoewirjo antara lain jam tangan Rolexs," ujar Wakil Ketua Umum Partai Gerindara itu.
Lebih lanjut Fadli Zon mengutip sebagian dari teks yang tertulis di foto. "Setelah mendarat di Pulau Ubi, Kepulauan Seribu, Kartosoewirjo dibawa ke sebuah lokasi di mana tiang papan pengikat sudah menunggu. Petugas militer mengikat Kartosoewirjo pada tiang tersebut, disaksikan beberapa pejabat yang hadir dan regu tembak 12 orang siap menembak mati Kartosoewirjo. Tak ada yang tahu pada senjata siapa peluru disarangkan," kata Fadli Zon.
Namun sesaat setelah komandan memberi instruksi, beberapa peluru menembus dada sebelah kiri Kartosoewirjo. Terakhir, komandan regu penembak melakukan tembakan tambahan jarak dekat sekali. "Begitulah wafatnya Sang Imam, Kartosoewirjo. Kesan saya dari foto, ia pergi dengan tegar dan tak kelihatan sedikitpun rasa takut," imbuh Fadli Zon.
Dalam karya-karya mengenai Kartosoewirjo yang telah ada, jika ditelaah, sangat sedikit bukti-bukti foto yang ditampilkan. Apalagi detik akhir Kartosoewirjo saat menjalani eksekusi matinya. "Padahal arsip foto adalah kekayaan yang sangat berharga dalam mengembangkan sebuah sejarah," kata Fadli Zon.
Minimnya publikasi foto Kartosoewirjo tidaklah mengherankan karena memang sangat sulit untuk memperolehnya. Dengan minimnya sumber foto tersebut mengakibatkan informasi penting mengenai kapan dan di mana Kartosoewirjo dieksekusi mati, sampai sekarang masih menjadi misteri sejarah yang belum tuntas. "Dan buku ini hadir untuk melengkapi puzzle yang belum tuntas itu," imbuhnya. (fas/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Teroris Solo Gunakan Senjata dari Filipina
Redaktur : Tim Redaksi