Sebelum Lengser, Presiden SBY Harus Reformasi TNI

Rabu, 24 April 2013 – 03:24 WIB
JAKARTA –  Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan (KMSRSK) meminta Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebelum mengakhiri masa jabatannya, mereformasi TNI dengan mendorong DPR merevisi Undang-undang Peradilan Militer. Hal itu diungkapkan KMSRSK menanggapi peristiwa kekerasan oleh oknum TNI yang terus saja terjadi bahkan terakhir kasus penyerangan petugas keamanan di kantor DPP PDI Perjuangan, di Jakarta Selatan, Sabtu (20/4).

“Reformasi peradilan militer merupakan keharusan konstitusional yang harus dijalankan Presiden dan DPR RI,” jelas Direktur Imparsial, Pungky Indarti di Jakarta, Selasa (23/4) didampingi sejumlah anggota koalisi dari KontraS, Setara Institute, Ridep Institute, YLBHI, dan lainnya.

Dia menegaskan, reformasi peradilan militer harus bisa dilaksanakan di sisa masa jabatan pemerintahan Presiden SBY. “Karena semua kejadian kekerasan yang melibatkan oknum tentara berimplikasi kepada tidak adanya efek jera pelaku karena tidak adanya penghukuman yang adil,” paparnya.

Pungky menilai kekerasan yang dilakukan oknum anggota Batalyon Zeni Konstruksi 13 yang akan terus terjadi dimana-mana. Padahal di saat yang sama, ia melanjutkan, proses pengusutan kasus pembunuhan empat tahanan di Lapas Cebongan Yogyakarta, serta pembakaran dan penganiayaan Polres Ogan Komering Ulu (OKU) Sumatera Selatan belum tuntas.

Menurutnya, kekerasan oleh oknum TNI tidak bisa dibenarkan oleh siapapun dengan dalih apapun termasuk pimpinan TNI. ”Kami menyesalkan adanya sifat permisif atas kekerasan anggota TNI selama ini dengan alasan jiwa korsa atau solidaritas. Kami juga menyesalkan dibenarkannya pembunuhan dengan alasan melawan premanisme,” ucap Pungky.

Ia menambahkan, sikap permisif dan pemakluman yang muncul selama ini tak lepas dari Presiden SBY maupun pihak lain yang menilai para pelaku pembunuhan tahanan LP Cebongan itu sebagai kesatria.  ”Dengan sikap SBY yang sepertti itu justru akan menambah panjang kekerasan,” tegasnya.

Padahal, ia melanjutkan, kesatria itu selalu mengakui perbuatannya di awal-awal, bukan di belakang ketika kasus itu mulai terungkap.  “Lihat sekarang kasus kekerasan tentara dilakukan di kantor parpol (PDIP) yang padahal parpol punya power (besar). Bagaimana kalau rumah kita yang kena, siapa yang akan menolong? Mau gak mau kita harus desak pemerintah untuk serius mengubah peradilan militer ini,” katanya.

Pungky juga meminta SBY merestrukturisasi komando teritorial terkait reformasi TNI. Pihaknya menilai penataan kembali gelar kekuatan TNI juga penting dilakukan, khususnya terkait dengan restrukturisasi komando teritorial dan persoalan jarak humaniter.

“Sebab dalam catatan kami beberapa kasus kekerasan yang terjadi terdapat oknum anggota TNI yang berada dalam kendali Komando Teritorial,” papar  Poengky lagi.

Ketua Setara Institute Hendardi mengaku pesimistis kalau reformasi peradilan militer bisa terjadi di pemerintahan SBY. Ia menilai SBY sudah tidak menjalankan reformasi selama 8,5 tahun pemerintahannya ini.

”Artinya SBY terkesan membiarkan saja kekerasan yang dilakukan militer terhadap sipil. Padahal selama undang-undang Peradilan Militer belum direvisi, maka berbagai persoalan kekerasan itu selalu akan muncul,” ujar Hendardi.

Ia menambahkan, perlu dilakukan perubahan terhadap UU TNI dengan mengikutsertakan pihak eksternal. ”Kami dijanjikan peradilan militer lebih berat daripada peradilan sipil. Ini bukan persoalan hukuman berat atau ringan, tapi persoalan hukuman tersebut harus transparan,” kata Hendardi.

Dicontohkannya, peradilan militer terhadap 11 anggota Kopassus justru akan memutus rantai komando. ”Yang akan dikorbankan adalah anak buahnya, sementara atasan tidak akan tersentuh hukum,” pungkasnya. (boy/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Kapolri Tak Bisa Dipilih dari Lelang Jabatan

Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler