jpnn.com, JAKARTA - Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), Agus Taufik Mulyono meminta pemerintah menyelesaikan masalah status dan fungsi jalan yang masih carut-marut sebelum menerapkan Zero Over Dimension Overload (ODOL).
Menurutnya, hal tersebut merupakan problem klasik yang masih belum diselesaikan hingga saat ini.
BACA JUGA: Razia ODOL Dinilai Tidak Efektif, Ini Saran Pengamat
“Apabila hal itu tidak dibenahi, maka persoalan ODOL diperkirakan terus terjadi,” ujarnya baru-baru ini.
Dia mengatakan jalan itu merupakan jaringan atau bangunan luas yang memanjang dan bukan bangunan simpul. Tapi, yang terjadi sekarang ini adalah jalan itu melayani simpul.
BACA JUGA: Pemerintah Diminta Pakai Teknologi Digital Untuk Memperketat Pengawasan Truk ODOL
“Ini yang menyebabkan terjadinya masalah bagi truk-truk besar ketika melewati berbagai wilayah administratif baik provinsi, antar provinsi, kabupaten, kota, antar kabupaten, antarkota, serta antar kota dan kabupaten,” ungkapnya.
Menurutnya, orang sering keliru saat bicara mengenai status kelas jalan ketika jalan itu berada di wilayah provinsi, kabupaten, dan kota. Di mana, orang lebih mengedepankan persoalan batas administratif. Padahal sesungguhnya, ketika bicara fungsi, jalan itu tidak mengenal administratif.
BACA JUGA: Pakar Transportasi: Penyelesaian Masalah ODOL Harus Melihat Sisi Keselamatan & Ekonomi
“Kondisi ini masih persoalan di Indonesia hingga sekarang,” katanya.
Oleh karena itu, dia mengusulkan agar seharusnya kelas jalan itu diturunkan dari fungsi jalan dan tidak boleh dari status jalan. “Jadi, fungsi jalan itu dewanya yang membuat aturan yang bisa membuat jalan itu menerus per wilayah dan tidak boleh terpisah. Karena, fungsi jalan nanti, turunannya ada aspek prasarana dan sarana yang lewat,” ucapnya.
Masalahnya, menurut Agus, kawasan pabrik itu tidak ada yang berada di kota tapi semua berada di desa atau kecamatan. Dengan demikian, katanya, ketika mengangkut barang dari pabrik-pabrik itu menuju pelabuhan utama, truk-truk tersebut akan melewati jalan yang statusnya beda, mulai jalan desa, kabupaten, kota, provinsi, dan arteri (nasional).
"Tidak hanya statusnya, truk-truk itu juga pasti akan melalui jalan-jalan yang fungsinya juga berbeda. Mulai lingkungan primer atau jalan lokal, kolektor 3 atau jalan kabupaten, kolektor 2 atau jalan provinsi, dan kolektor 1 atau jalan arteri," lanjutnya.
Selain fungsi dan status, kelas jalan yang dilalui truk dari pabrik menuju pelabuhan utama juga berbeda. Menurutnya, terdapat tiga kelas jalan yakni kelas 3, kelas 2, dan kelas 1. Saat melalui jalan yang berbeda-beda itu, kata Agus, truk-truk itu tidak mungkin akan menurunkan barang-barang bawaannya saat akan pindah jalan.
“Kalaupun harus membongkar muatannya, kan dibutuhkan yang namanya terminal handling sebagai tempat untuk mengumpulkan barang-barang yang kelebihan muat. Masalahnya, terminal handling ini juga tidak pernah ada karena memang tidak diwajibkan dalam undang-undang,” tukas Agus.
Fakta-fakta tersebut yang menurut Agus akhirnya membuat jalan-jalan itu. Khususnya jalan yang ada di kabupaten banyak yang rusak karena harus dilalui truk-truk besar.
“Jadi, karut-marut antara kelas, fungsi dan status jalan inilah sebetulnya yang menjadi penyebab hancur-hancuran jalan itu. Artinya, penerapan kelas jalan itu tidak sesuai dengan penerapan status jalannya,” tukas Agus.
Menurut Agus, hal tersebut terjadi lantaran tidak adanya keselarasan antara UU Jalan dengan UU Lalu Lintas. Dia mengutarakan di pasal 19 UU Lalu Lintas tentang Kelas Jalan, dikaitkan dengan fungsi jalan, dikaitkan status jalan, tidak pernah ketemu.
“Jadi, masalah ODOL ini tidak akan pernah bisa diselesaikan. Mau diselesaikan pakai apa?” ucapnya.
Sementara, Sekjen MTI, Harya S. Dillon mengatakan kunci sukses pelaksanaan Zero ODOL di Indonesia adalah terciptanya sinergi antar Kementerian dan Lembaga terkait.
Menurutnya, hingga saat ini masih terlihat belum terlihat adanya pemahaman dan visi yang sama di antara Kementerian dan Lembaga terkait itu.
Dia mengatakan perlunya dibuat opsi angkutan barang berbasis rel. Menurutnya, seharusnya rencana pembangunan pelabuhan dan sentra industri terintegrasi dengan konektivitas rel. Sehingga, arus lalu lintas barang bervolume tinggi dapat terlayani dengan efisien dan berkeselamatan.
Dia juga mengatakan kewenangan manajemen transportasi angkutan barang berbasis jalan raya masih belum sepenuhnya terintegrasi, karena masih ada kewenangan Ditjen Bina Marga Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), dan Ditjen Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan. Belum lagi kewenangan penindakan di lapangan yang masih ada peran Polri (Korlantas).
“Di beberapa negara maju, otoritas itu di bawah satu kementerian,” ujarnya.
Oleh karenanya, menurutnya, sebaiknya masalah kelembagaan terlebih dahulu harus dipecahkan. Dengan begitu, pelaku usaha dalam hal ini pengusaha truk maupun pemilik barang tidak akan bingung. “Kalau sudah tidak bingung, edukasi terkait Zero ODOL akan lebih mudah nantinya,” tukasnya.(ray/jpnn)
Redaktur & Reporter : Budianto Hutahaean