Penduduk salah satu desa di dataran tinggi Papua, di wilayah Indonesia paling timur, kini kembali ke kampungnya dan menemukan puing-puing rumah mereka yang hangus terbakar.

Seorang perempuan tampak terpuruk sedih di rerumputan, ketika sejumlah pria menggali lubang untuk mencari mayat orang-orang yang tak bisa menyelamatkan diri dari pertumpahan darah.

BACA JUGA: Selandia Baru Melonggarkan Pembatasan Pergerakan Warganya Terkait Virus Corona

Udara terasa sesak dipenuhi suara tangis yang pilu. Video: Tonton warga yang kembali ke kampung-kampung mereka yang telah terbakar. (ABC News)

 

BACA JUGA: Jenazah Pilot Ditemukan di Danau Sentani, Begini Suaranya Terakhir Kali

Saksi mata yang berhasil melarikan diri dari serangan itu mengaku melihat bom dijatuhkan dari helikopter-helikopter pasukan keamanan Indonesia.

Inilah situasi setelah perang rahasia yang terjadi hanya beberapa ratus kilometer di utara benua Australia, terekam dalam video yang diperoleh program Foreign Correspondent dari ABC News.

BACA JUGA: Situasi Belum Normal, Warga Indonesia di Australia Selatan Kembali Beraktivitas

Sejak akhir 2018, separatis Papua Barat telah terlibat dalam eskalasi pertempuran mematikan dengan pasukan keamanan Indonesia ketika mereka melancarkan kembali upaya merebut kemerdekaan yang sudah berlangsung beberapa dekade. Photo: Kelompok separatis bersenjata di dataran tinggi Papua. (Supplied)

 

Indonesia telah berupaya untuk menahan penyebaran berita konflik ini, membatasi media asing memasuki kedua provinsi di Papua, dan bahkan memutus akses internet kawasan itu di saat puncak pemberontakan.

Ratusan orang terbunuh dan pihak berwenang setempat mengatakan sekitar 45.000 warga Papua kini terlantar, namun angka ini dibantah Indonesia yang menyatakan hanya 2.000 warga yang melarikan diri.

Meskipun pemicu gelombang kekerasan saat ini adalah proyek jalan Trans Papua sepanjang 4.000 km, namun perjuangan kemerdekaan Papua telah bermula di era Perang Dingin. Bangkitnya gerakan kemerdekaan Photo: Pemimpin gerakan Papua Merdeka Victor Yeimo bersembunyi setelah aksi--aksi protes tahun lalu. (Foreign Correspondent: Greg Nelson ACS)

 

Hari masih sangat dini ketika pemimpin gerakan kemerdekaan Papua Barat Victor Yeimo muncul dari kegelapan.

Dia melakukan perjalanan sepanjang malam melintasi perbatasan Indonesia ke Papua Nugini untuk wawancara eksklusif dengan program Foreign Correspondent ABC.

Yeimo sebelumnya pernah dipenjara oleh pihak berwenang Indonesia. Dia khawatir akan ditangkap kembali.

"Sepanjang hidupku saya selalu dengan nyawaku," katanya. "Bukan hanya nyawaku, saya juga khawatir dengan kehidupan rakyatku." Photo: Pendukung Papua Merdeka bertemu di Papua Nugini. (Foreign Correspondent: Greg Nelson ACS)

 

Yeimo merupakan generasi aktivis baru dan berani menuntut kemerdekaan Papua. Dia mendorong digelarnya referendum kemerdekaan rakyat Papua.

"Bagi kami lebih baik bertarung sebelum mati, demi martabat kami," katanya. "Berjuang adalah tugas, peran generasi muda seperti saya."

Pulau Papua dibagi oleh garis perbatasan. Di timur menjadi Papua Nugini yang merdeka dan di belahan baratnya adalah propinsi Papua dan Papua Barat, yang secara kolektif dikenal sebagai Papua Barat oleh para aktivis kemerdekaan. Photo: Aktivis Papua Merdeka menyatakan propinsi Papua dan Papua Barat harus menjadi negara sendiri terpisah dari Indonesia. (Foreign Correspondent: Andres Gomes Isaza)

 

Papua berada di bawah kekuasaan Indonesia selama lebih dari 50 tahun setelah diserahkan dalam perjanjian yang disahkan PBB saat era Perang Dingin.

Pada tahun 1969, Indonesia mengadakan penentuan pendapat rakyat yang disebut 'Act of Free Choice'. Tapi hanya lebih dari seribu warga Papua yang diizinkan untuk memilih.

Indonesia menyatakan menang dengan suara bulat. Sementara kebanyakan warga Papua merasa dirampok dan gerakan kemerdekaan pun lahir. Photo: Warga Papua memberikan suara dalam Penetuan Pendapat Rakyat (Pepera) di tahun 1969. Banyak pihak merasa pemilihan itu berlangsung tidak adil.

 

Pemerintah Indonesia menyatakan kedua propinsi ini telah diberikan "status otonomi khusus dengan hak istimewa untuk memastikan partisipasi rakyat Papua dalam pembangunan".

Tapi aktivis Papua Barat menilai otonomi khusus bukanlah solusi. Mereka menginginkan kemerdekaan dari Indonesia dan "solusi final yang demokratis".

"Indonesia mencoba memberi kami pembangunan," kata Yeimo. "Itu bukan aspirasi kami." Pemicu perjuangan

Berkelok-kelok sepanjang ribuan kilometer membelas hutan lebat dan melintasi puncak dataran tinggi, Jalan Raya Trans-Papua dalam waktu dekat akan menghubungkan Propinsi Papua dan Propinsi Papua Barat.

Indonesia menyatakan proyek infrastruktur ini penting karena akan meningkatkan transportasi dan akses ke pasar dan layanan bagi penduduk di wilayah ini. Photo: Membelah dataran tinggi terpencil, Jalan Raya Trans Papua sepanjang 4000 km dinilai oleh aktivis Papua Merdeka sebagai upaya Indonesia untuk lebih mengontrol wilayah tersebut. (Foreign Correspondent)

 

Namun warga Papua khawatir jalan raya ini akan membantu militer Indonesia dan membuka tanah mereka yang kaya sumber daya alam untuk dieksploitasi oleh kepentingan bisnis luar, dengan mengorbankan masyarakat setempat.

Pada bulan Desember 2018, proyek jalan raya yang ditentang penduduk itu menjadi pemicu konflik yang membara.

Kelompok separatis bersenjata Papua menyergap dan membantai setidaknya 16 pekerja jalan di Nduga, sebuah kabupaten di dataran tinggi tengah Papua. Photo: Lokasi pengepungan pekerja jalan trans Papua oleh kelompok separatis. Kejadian ini mendahului terjadinya serangkaian kekerasan. (Supplied)

 

Indonesia membalas pembantaian yang dilakukan kelompok separatis dengan menerjunkan ratusan polisi dan tentara, memburu mereka yang bertanggung jawab atas serangan itu.

Program Foreign Correspondent memperoleh pernyataan independen para saksi mata dari warga sipil yang melarikan diri dari desanya, mencari perlindungan di hutan.

"Mereka mendatangkan helikopter-helikopter yang terbang di atas desa kami dan melakukan pemboman," kata Irian Kogoya kepada program ABC ini.

"Penduduk dibunuh, ditangkap, disiksa, dipaksa menggali lubang sehingga ketika mereka terbunuh akan disembunyikan di sana," ujarnya. Photo: Salah satu grafiti yang Papua Nugini menunjukkan Bendera Bintang Kejora, lambang Papua Merdeka. (Foreign Correspondent: Greg Nelson ACS)

 

Indonesia membantah menggunakan bom tetapi mengakui adanya penggunaan granat selama operasi keamanan.

Raga Kogoya, tokoh masyarakat di Wamena mengatakan, dia berhenti menghitung jumlah korban mati dan terluka dari serangan itu.

Dia saat ini merawat anak-anak pengungsi yang trauma. Dari 220 orang yang berlindung di dekat desanya, kebanyakan adalah anak-anak. Photo: Egianus Kogoya memimpin pasukan bersenjata untuk melawan angkatan bersenjata Indonesia. (Supplied)

 

Seorang anak yang tinggal bersama Raga Kogoya menceritakan apa yang dia alami kepada program ABC.

"Ketika pengeboman pertama terjadi, mereka membunuh ayahku," ujarnya.

"Saya merasa hancur. Indonesia harus bertanggung jawab karena mereka membunuh ayahku," katanya.

Konsekuensi tragis dari kekerasan ini, anak-anak berusia 12 tahun pun terseret ke dalam pasukan pejuang kemerdekaan yang dipimpin oleh Egianus Kogoya yang baru berusia 19 tahun. Egianus masih sepupu dengan Raga.

Penggunaan tentara anak-anak dilarang berdasarkan hukum internasional.

"Anak-anak tidak bergabung karena Egianus meminta mereka melakukannya. Mereka yang ayahnya ditembak, disiksa, kemudian mati - akibatnya banyak yang akan ikut," katanya.

"Banyak anak sekolah di Nduga yang ikut perang," tambah Raga.

Kini muncul sejumlah video yang menunjukkan dugaan pelanggaran hak asasi manusia oleh pihak Indonesia.

Satu klip dari video tersebut memperlihatkan kuburan yang tak begitu dalam, berisi mayat tiga perempuan Papua dan dua anak-anak. Aktivis HAM mengklaim korban ini ditembak oleh aparat keamanan Indonesia. Photo: Tentara anak-anak di antara pasukan bersenjata pimpinan Egianus Kogoya. (Supplied)

 

Indonesia membantah telah melakukan pelanggaran HAM dan menyatakan aparat keamanan mereka merupakan "organisasi militer profesional yang tunduk pada kode etik yang ketat dan aturan prosedur dalam melakukan operasi, termasuk kewajiban untuk menghormati dan mempromosikan HAM".

"Prinsip-prinsip HAM juga telah dimasukkan ke dalam rules of engagement," pernyataan dari Kedutaan Besar RI di Canberra.

Kedubes RI juga mengatakan Komnas HAM RI "saat ini melakukan penyelidikan terhadap insiden di Nduga serta kerusuhan di sejumlah tempat di Papua, termasuk di Wamena pada Agustus 2019".

Komnas HAM yang dihubungi ABC di Jakarta mengatakan "tidak menyelidiki insiden Nduga namun terbuka untuk menyelidiki insiden Nduga jika ada bukti-bukti baru di masa depan".

Para aktivis HAM saat ini mendesak agar PBB diizinkan mengakses Nduga untuk melakukan penyelidikan di sana. Photo: Indonesia menerjunkan ribuan polisi ke popinsi Papua dan Papua Barat. (Supplied)

 

Sampai kini belum terlihat akhir dari konflik ini. Beberapa anggota separatis bersenjata mengatakan akan terus menyerang warga sipil Indonesia yang bekerja bersama aparat keamanan.

"Kami akan membunuh, kami akan berperang," kata Sebby Sambom, juru bicara kelompok bersenjata yang kini berbasis di Papua Nugini. "Kami akan terus berjuang tanpa kompromi."

Sementara Raga Kogoya bertekad memperingatkan dunia luar tentang apa yang terjadi di negaranya. Ia khawatir gerakan Papua Barat akan melemah dan masyarakat adat akan "musnah".

"Mereka dibunuh dan disembelih seperti binatang," katanya. Pemblokiran internet

Pecahnya aksi-aksi kekerasan baru pada bulan Agustus 2019 membuat Indonesia memutus kemampuan warga Papua untuk menyebarkan berita.

Setelah berminggu-minggu terjadi pertumpahan darah, Indonesia melakukan pemblokiran internet untuk Papua. Namun video, foto, dan laporan tertulis terus mengalir keluar.

Ketegangan merebak awal Agustus lalu ketika sekelompok mahasiswa Papua dikepung di asrama mereka di Surabaya, menyusul laporan mengenai bendera Merah Putih yang dirusak di sana. Video: Warga turun ke jalan untuk mendukung gerakan Papua Merdeka. (ABC News)

 

Massa pun berkumpul dan melakukan pelecehan rasial terhadap mahasiswa Papua, termasuk menyebut mereka sebagai monyet.

Sebagai reaksi, di Papua ribuan orang, kebanyakan mahasiswa dan pelajar, turun ke jalan menuntut diakhirinya rasisme dan menuntut kemerdekaan.

Aksi-aksi damai dengan cepat berubah menjadi kekerasan, demonstran dan aparat keamanan bentrok. Kelompok-kelompok milisi sipil pun bergabung dalam aksi konflik ini.

Indonesia mengerahkan 6.000 polisi dan tentara ke Papua Barat dan Papua untuk memadamkan kerusuhan.

Pada 28 Agustus, aparat keamanan Indonesia menembaki para pengunjuk rasa di Kota Deiyai. Video kejadian itu diunggah di jejaring sosial dan menyebar luas.

Indonesia berdalih aparatnya bertindak untuk membela diri dan massa "mengabaikan permintaan aparat dan menyerang mereka dengan panah".

"Aparat penegak hukum berusaha membubarkan kerumunan dengan tembakan peringatan dan gas air mata tapi serangan [terhadap mereka] berlanjut," kata Kedubes RI dalam sebuah pernyataan.

Aparat penegak hukum "dipaksa untuk menembak, sesuai dengan tanggung jawab mereka dalam memulihkan ketertiban umum".

Sebuah laporan gereja dan laporan media setempat di Papua mengatakan aksi demo berubah menjadi aksi kekerasan, setelah seorang pemuda Papua ditabrak mati oleh kendaraan aparat keamanan Indonesia. Photo: Victor Yeimo bertekad untuk terus memperjuangkan kemerdekaan Papua. Perang di wilayah Indonesia timur ini belum tampak kapan akan berakhir. (Supplied)

 

Victor Yeimo berharap adanya solusi damai atas konflik ini. Ia juga berharap impian kemerdekaan Papua Barat akan menjadi kenyataan di masa hidupnya.

"Setelah malam hari, akan terbit matahari di pagi hari," ujarnya.

"Rakyat Papua Barat berharap agar suatu hari kelak Bintang Kejora akan bangkit," katanya.

Diterjemahkan oleh Farid M. Ibrahim dari artikel aslinya dalam Bahasa Inggris.

Saksikan tayangan program Foreign Correspondent pada Selasa (12/05/2020) pukul 8:00 malam waktu Australia Timur (AEST) di ABC TV dan streaming di iview, Facebook dan YouTube.

BACA ARTIKEL LAINNYA... Lolos di AS, Obat Virus Corona Remdesivir Masih Diperdebatkan di Australia

Berita Terkait