Sebuah Penggalan Masa Lalu yang Megah dan Kukuh

Minggu, 14 Juni 2015 – 01:43 WIB
PETILASAN: Bayon berdiri tegak. Kompleks candi itu berisi banyak candi kecil. Bentuk yang banyak ditemui di sana adalah muka Suryawarman. (Ira Kurniasari/Jawa Pos)

jpnn.com - SANGAT bersyukur saya berkesempatan mengunjungi Kamboja dan Vietnam dalam kurun waktu lima hari.

---------------
Ira Kurniasari, Wartawan Jawa Pos
---------------
PENERBANGAN dari Surabaya ke Siem Reap disela dengan transit dua jam di Kuala Lumpur. Pukul 14.20 pas saya mendarat dengan selamat di kota yang dapat ditempuh selama enam jam dari Phnom Penh, ibu kota Kamboja, tersebut.

BACA JUGA: Inilah Bahayanya Keseringan Nonton Video Dewasa

Kesan pertama mengenai Siem Reap: gersang! Dari jendela pesawat, kota ini begitu berpasir merah. Angin sedikit panas menyambut ketika saya turun dari pesawat melangkah menuju bandara, kira-kira 34 Celsius. Belum lagi petugas yang galak-galak.

Setelah cap empat jari dan satu jempol di tangan kanan-kiri, saya pun melaju dan merasakan keadaan Siem Reap yang sesungguhnya. Bandara internasional itu sepi dari keramaian. Cuma ada empat tenant SIM card dan satu gerai yang mengurusi transportasi.

BACA JUGA: Sensasi Bersauna di Atas Marmer, Dipijat dengan Busa

Saya nggak tertarik dengan SIM card, mengingat hostel tempat saya menginap bakal joss internetnya. Lagi pula, internet bikin kita tidak membaur dengan orang lain.

Nah, gerai transpor itu membantu saya mencari transpor yang enak untuk perjalanan dari bandara ke hostel. Akhirnya, saya diantarkan ojek. Mereka bilang, motor ride. Biayanya 2 dolar Amerika. Bapak ojeknya bernama Suviet. Orangnya baik. Bukan tipe sok kenal, ya pertanyaannya tipis-tipis gitu. Kamu dari mana, mau kemana, berapa lama di Siem Reap. So-so lah. Saya juga nggak suka banyak bicara.

BACA JUGA: 4 Fakta Yang Harus Diketahui Tentang Uban

Di perjalanan menyusuri daerah yang banyak pasir dan lumayan sepi itu, saya sempat melihat ada polisi yang sembunyi dan menilang pengendara perempuan tanpa helm. Ah, sama saja.

Betewe, di obrolan singkat itu, Suviet berminat mengantarkan saya keliling Angkor Wat besok harinya (28/6). Sempat berunding, saya pun setuju dengan 20 dolar Amerika untuk dua hari. Ok, sip. Transportasi besok sudah ada.

Sampai di Hostel, yang saya pikirkan adalah transportasi ke Phnom Penh. Rupanya di hostel kita bisa booking bus. Puji Tuhan.

Saya menginap di One Stop Hostel. Tempatnya strategis dan dekat dengan keramaian pasar malam. Kenapa memilih di sana? Ya, setidaknya kalau saya kelaperan bisa langsung nyamil-nyamil gitu.

Dan benar, jalan Sivatha yang sepi itu berubah ramai oleh pejalan kaki dan pedagang kaki lima. Jajanan yang dijual bermacam-macam. Ada jus, takoyaki, T-shirt, celana kain dengan hiasan gajah, dan pedagang daging babi yang berjejer. Kira-kira jumlahnya sama banyak dengan ATM di sana.

***

Pagi itu pukul 05.00, Suviet sudah melenggang di lobi hostel, siap dengan tuk-tuk. Saya pun check out dari penginapan One Stop Hostel. Enaknya, di hostel itu barang bawaan bisa dititipkan. Jadi, perjalanan melanglang buana ke Angkor Wat bisa sedikit lebih ringan.

Pagi di Siem Reap terasa sejuk. Tidak banyak yang beraktivitas, kecuali bule yang mengejar sunrise di Angkor Wat.

Dari Krong Siem Reap ke Angkor Wat yang berjarak 12 km ditempuh selama 30 menit. Masuk dalam kawasan situs warisan dunia itu, pepohonan besar menyapa. Hutan belantara dengan angin yang sejuk. Pengunjung yang akan ke Angkor Wat kudu mampir ke pos tiket dan menyiapkan 20 dolar Amerika. Tak sampai 5 menit, tiket itu jadi plus ditambah foto diri.

Menjejakkan kaki di depan Angkor Wat seperti kembali ke masa di mana saya untuk kali pertama melihat Candi Borobudur. Tempatnya berbeda, tapi rasanya sama. Megah, kukuh, dan tak terbantahkan.

Banyak pengunjung yang mengabadikan sunrise. Yaa, sayangnya saya terlambat. Ok. Masuk ke kawasan Angkor Wat, saya disapa oleh banyaknya pedagang buku, celana kain, dan kipas.

Bila buta Angkor Wat, kita bisa menggunakan jasa pemandu tur yang mengenakan seragam peach. Sementara itu, petugas keamanan mengenakan seragam berwarna biru muda. Mereka akan mengecek tiket Anda.

Angkor Wat merupakan sebuah kuil yang berada di Angkor, Kamboja, dibangun pada pertengahan abad ke-12 oleh Raja Suryavarman II dan masih berdiri kukuh hingga kini. Bangunan terdiri atas lima menara tinggi menjulang dengan candi-candi kecil di sekitarnya.

Banyak yang mengabadikan gambar. Ada pula yang kepo dengan sejarah. Tidak jarang yang memberikan donasi ke beberapa biksu yang kemudian sebagai imbalan memberikan seutas gelang merah. Mereka berdoa untukmu. Saya menjajalnya. Gelang merah itu berpindah di tangan kanan saya menemani perjalanan hingga pulang ke tanah air.

Bukan hanya Angkor Wat, candi-candi kecil juga ada di kompleks Bayon dan Ta Prohm. Ta Prohm itu pernah menjadi salah satu lokasi syuting Lara Croft: Tomb Raider yang dibintangi Angelina Jolie pada 2011. Pas ke sana, beberapa titik candi sedang diperbaiki, termasuk lokasi syuting itu. Selfie pun jadi tidak maksimal. Mana tongsis, mana tongsis…??!

Cukup tujuh jam saya mengunjungi kawasan Angkor Wat. Jam tangan menunjukkan pukul 12.00 dan saya berada dalam perjalanan kembali ke hostel. Sepuluh jam menunggu bus ke Phnom Penh saya habiskan dengan menonton The Wolf of Wall Street bersama solo backpacker lainnya di lobi hostel dan jalan-jalan di night market. Suasananya sama dengan pasar malam di Surabaya.

Mencari moda transportasi yang berbeda, saya memilih sleeping bus Giant Bus dari Siem Reap ke Phnom Penh. Biayanya 15 dolar Amerika. Fasilitasnya lumayan untuk yang doyan internet. Sebab, bus itu ditunjang wifi dan colokan plus air minum. Saya sih tidak masalah. Kasurnya pas untuk ukuran orang Asia. Tapi, untuk bule, mereka musti menekuk kaki. Bye Siem Reap… (*/c17/dos)

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Ladies, Ini Dress Pesta, Jauh dari Kesan Glamor tapi Elegan


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler