jpnn.com, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merupakan salah satu produk yang dihasilkan di awal era reformasi. Lahirnya reformasi merupakan kritik dari kesalahan atau kekurangan selama pemerintahan orde baru di bawah Presiden RI Kedua Soeharto kala itu.
Pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra membeber sejarah berdirinya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Menurutnya, lahirnya KPK tak terlepas dari proses reformasi.
BACA JUGA: Buat yang Tak Setuju KPK Kena Hak Angket, Simak Penjelasan Yusril Mahendra Ini
Berbicara di depan Panitia Khusus Angket KPK di DPR, Senin (10/7), Yusril menjelaskan, setelah transformasi pemerintahan dari Presiden Soeharto ke BJ Habibie, ada Tap MPR Nomor XI tahun 1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dari korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Selanjutnya, pada 1999 ada Undang-undang (UU) Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaran Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi.
Tidak lama setelah itu, lahirlah UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagai pengganti UU Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). “UU 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi itu lebih keras dari UU 3/1971,” kata Yusril.
BACA JUGA: Soal Hak Angket KPK, Begini Kata Jubir Kepresidenan
Mantan menteri hukum dan perundang-undangan itu menambahkan, pemerintah kemudian mengajukan lagi revisi UU 31 Tahun 1999 menjadi UU 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor. “Ini isinya lebih keras lagi,” tuturnya.
Baru setelah ada UU Nomor 20 Tahun 2001, ada UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. Menurut Yusril, lahirnya UU KPK tidak hanya didasarkan pada Tap MPR Nomor XI Tahun 1998 dan UU Nomor 28 Tahun 1999.
BACA JUGA: Yusril Tegaskan DPR Bisa Gunakan Angket ke KPK, Begini Penjelasannya...
Yusril menegaskan, lahirnya UU KPK juga berdasar pada Pasal 43 UU Nomor 31 Tahun 1999. Pasal itu menyatakan bahwa paling lambat dalam kurun waktu dua tahun setelah diberlakukannya UU 31/1999 harus sudah ada KPK.
“Di zaman Gus Dur (Presiden RI Keempat Abdurrahman Wahid) memerintahkan kami mempercepat Rancangan Undang-undang KPK itu. Kemudian pada 5 Juni 2001 lewat Ampres (Amanat Presiden, red) yang disampaikan ke DPR, kami ditunjuk membahas UU ini sampai selesai,” paparnya.
Menurut Yusril, spirit memberantas korupsi kala itu sangat keras. Bahkan, setelah lahirnya KPK, pemerintah menindaklanjutinya dengan mengajukan RUU Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).
Karenanya ada UU 15 Tahun 2002 tentang TPPU yang kini telah direvisi menjadi UU Nomor 8 tahun 2010. “Ini semua untuk membangun sebuah sistem pemberantasan korupsi,” katanya .
Lebih lanjut Yusril mengatakan, di era Presiden Megawati Soekarnoputri, Mendagri Hari Sabarno selaku menteri hukum dan hak asasi manusia ad interim yang mewakili pemerintah sempat menyebut korupsi sebagai kejahatan luar biasa atau extraordinary crime. Yusril menegaskan, penyebutan itu memang tak merujuk pada Statuta Roma ataupun Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB).
Dalam pembahasan UU itu, kata dia, Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) sempat menanyakan apakah UU Pemberantasan Tipikor bisa berlaku surut jika korupsi termasuk extraordinary crime. “Ini menjadi perdebatan,” katanya.
Namun, Yusril menegaskan, jika di dalam UU KPK dinyatakan korupsi merupakan extraordinary crime maka itu hanya persepsi saja. “Kalau mengacu Statuta Roma bisa diberlakukan retroaktif (berlaku surut),” ujarnya.
Bahkan, Yusril mempertegas argumennya dengan menyatakan bahwa dalam Konvensi PBB yang turut ditandatangani Indonesia di Amerika Serikat, korupsi tidak dinyatakan sebagai extraordinary crime. “Tapi ditekankan bahwa cara menindak dan memberantasnya harus menggunakan cara extraordinary,” kata Yusril.(boy/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Pernyataan Keras Yusril soal Perdebatan Presidential Threshold
Redaktur : Tim Redaksi