jpnn.com, JAKARTA - Pakar hukum tata negara Mahfud MD menilai pengungkapan kembali kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang sudah berkekuatan hukum tetap, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Terutama tentang jaminan kepastian hukum bagi setiap warga negara.
"Prinsipnya sesuatu yang sudah dibuat secara sah menurut hukum maka dia tidak bisa dibatalkan. Kalau ada pidananya itu tindak pidana tersendiri kepada pelakunya, tetapi bagi yang terlibat dalam sebuah perjanjian yang resmi seperti tax amnesty, BLBI sebenarnya dan seharusnya sudah selesai secara hukum," kata Mahfud usai menjadi pembicara dalam sebuah diskusi di Jakarta, Kamis (12/7).
BACA JUGA: Soal Nama Mahfud MD, Simak nih Omongan Mas Hasto
Menurut Mahfud, di dalam hukum ada tiga prinsip yang harus dijadikan pegangan yakni, kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan. "Nah ini harus bersinergi, sesuatu kepastian hukum kalau tidak adil itu nanti bisa challange di pengadilan. Akan tetapi prinsipnya sesuatu yang sudah dibuat secara sah menurut hukum maka dia tidak bisa dibatalkan," tegasnya.
Dia menambahkan, setiap produk hukum dikeluarkan atas nama negara. Karena itu, negara wajib memberikan jaminan kepastian hukum kepada mereka yang terdampak.
BACA JUGA: Bursa Cawapres Pendamping Jokowi, Mahfud MD Senyum
Sebab jika jaminan kepastian hukum tidak bisa diberikan oleh negara, lanjut Mahfud, hal tersebut akan berimbas terhadap iklim investasi dan ekonomi di Indonesia.
Persoalan jaminan kepastian hukum tersebut juga dikeluhkan oleh Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) yang menilai jaminan kepastian hukum di Indonesia masih sangat lemah. Ini bisa memicu demotivasi atau hilangnya gairah para pengusaha untuk berinvestasi di Indonesia.
BACA JUGA: Soal Cawapres, Mahfud MD: Nanti Saya Jawab ke Jokowi
Salah satu contohnya adalah diperkarakannya kembali kebijakan pemberian surat keterangan lunas (SKL) kepada salah satu obligor BLBI yang secara resmi sudah dinyatakan lunas oleh beberapa rezim pemerintahan sebelumnya.
Bahkan, dalam kasus ini, Apindo juga mempertanyakan kredibilitas Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang diketahui mengeluarkan audit investigatif pada 2017 tanpa ada persetujuan dari pihak yang terperiksa, dalam hal ini mantan kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung (SAT).
“Kok bisa BPK ini mengeluarkan hasil audit investigatif tanpa ada auditeenya, tanpa ada yang terperiksa. Itu kan jadi pertanyaan semua orang karena menyalahi prinsip utama dari pemeriksaan dimana orang yang diperiksa mesti dikonfirmasi terlebih dahulu,” kata Ketua Umum Apindo Hariyadi Sukamdani kepada wartawan di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Selain BPK, Apindo juga mengingatkan kepada institusi KPK serta Pengadilan Tindak Pidana Korupsi agar tetap mengedepankan fakta-fakta hukum yang ada. Sehingga kredibilitas institusi penegakan hukum negara tersebut tidak rusak di mata masyarakat.
“Kredibilitas KPK juga dipertaruhkan karena bila proses hukumnya seperti ini, yaitu bisa menggunakan segala cara untuk menjerat seseorang, termasuk hal-hal yang tidak dalam koridor. Pengadilan sendiri juga kalau tidak cermat melihat dari perkaranya itu juga nanti akan menjadi bias terhadap penegakan hukum sendiri,” ujar Hariyadi menegaskan.
Jangan karena tekanan publik, kata dia, lalu pengadilan mengambil keputusan yang justru membuat ketidakpastian hukum. “Kalau memang itu tidak bersalah, ya harus dinyatakan tidak bersalah. Ini analogi saya. Tapi karena tekanan publik, diputuskannya salah, ini kan jadi kacau dan jadi preseden,” ujar Hariyado.
Dia juga mengingatkan pentingnya komitmen jaminan kepastian hukum karena bukan tidak mungkin pada rezim pemerintah selanjutnya kebijakan tax amnesty yang dilakukan oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo akan diungkit kembali.
“Kalau diutak-atik lagi, maka akan semakin runtuhlah kepercayaan masyarakat terhadap hukum. Padahal katanya kita negara hukum yang menganut secara prinsip hukum-hukum yang harus kita tegakkan,” kata dia.
Di kalangan pengusaha Apindo, Hariyadi melanjutkan, penyelesaian kasus BLBI sudah menjadi preseden karena ada perlakuan hukum yang tidak sama antara para penerima SKL. “Ini selalu menjadi pembicaraan di kalangan pengusaha, sebenarnya kasusnya seperti apa sih? Kasus yang sama, satunya sudah beres, tapi yang satu lagi tidak pernah selesai?” ujar Hariyadi. (dil/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Mahfud MD Cawapres, Elektabilitas Jokowi Bakal Makin Meroket
Redaktur & Reporter : Adil