Sejarah Masjid Kemayoran, Dibangun di Atas Tanah Mayor Belanda

Jumat, 16 Juni 2017 – 10:36 WIB
NAMANYA UNIK: Masjid Kemayoran yang sebelumnya di Alun-alun Contong berpindah ke Jalan Indrapura. Foto Satria Nugraha/Radar Surabaya/JPNN.com

jpnn.com, SURABAYA - Surabaya menjadi kota yang digunakan untuk memperluas penyebaran agama Islam di Jatim.

Sehingga tak heran, jika di Kota Pahlawan ini terdapat banyak masjid tua yang menjadi saksi bisu syiar Islam.

BACA JUGA: Jelang Lebaran, BRI Beri Layanan KMK SPBU

Salah satunya Masjid Kemayoran di Jalan Indrapura.

===========================
Yuan Abadi - Radar Surabaya
===========================

BACA JUGA: AMITRA Berbagi Berkah Ramadan di 6 Kota Besar

Selain memiliki bentuk yang unik, masjid yang terletak di depan Gedung DPRD Jatim ini juga memiliki nama unik.

Nama Kemayoran konon berasal dari tanah tempat masjid itu berdiri, yaitu di sebuah tanah milik seorang Mayor Belanda.

BACA JUGA: Hadapi Arus Mudik, Pelabuhan Tanjung Perak Siagakan 33 Kapal

Ahli sejarah Surabaya, Purnawan Basundoro menjelaskan lokasi masjid tersebut sebelumnya berada di alunalun contong.

Masjid tersebut awalnya ingin dihancurkan oleh Belanda saat itu. Namun, masyarakat Surabaya menghalangi niatan tersebut.

Sehingga dengan dipimpin oleh seorang ulama tersohor dengan sebutan Kiai Sedo Masjid, menyerang pemerintah Belanda.

“Waktu itu sempat terjadi baku tembak, dan pemerintah Belanda akhirnya memberi pilihan agar masjid tersebut dipindah lokasinya. Akhirnya, pemerintah Belanda waktu itu memilih tanah milik salah satu mayornya untuk di bangun masjid tersebut. Dan tawaran itu diterima oleh masyarakat Surabaya,” ungkapnya.

Purnawan menjelaskan berdasarkan catatan sejarah, masjid itu dibangun sekitar 1772 tahun Jawa atau sekitar tahun 1884 masehi. Arsiteknya bernama JWB Wardeenar.

Setelah masjid tersebut dibangun, maka warga muslim Surabaya menggunakan untuk menyebarkan dakwah Islam di sekitarnya.

Kini masjid ini oleh Pemkot Surabaya dijadikan sebagai bangunan cagar budaya.

“Masjid Kemayoran juga menjadi salah satu masjid tertua di Surabaya setelah Masjid Ampel yang berada di kawasan religi Sunan Ampel,” jelas Purnawan.

Selain namanya, keunikan dari masjid tersebut juga terlihat dari bentuk menara dan kubahnya. Desain masjid ini memiliki bangunan utama sebagai tempat beribadah dan dua menara yang berada di sisi kiri dan kanan.

Ketinggian menara sekitar 70 kaki. Hingga kini satu menara masih utuh, sedangkan menara lain sudah runtuh beberapa tahun setelah masjid tersebut dibangun.

Informasinya, menara tersebut runtuh karena disambar petir.

“Untuk bentuk kubahnya, masjid tersebut sudah tidak asli. Sebab sudah mengalami beberapa kali renovasi,” jelasnya.

Sejarah pembangunan masjid tua Kemayoran ini memiliki banyak versi. Bukan hanya sekadar cerita rakyat, sejarah pendirian masjid ini ditandai oleh sebuah parasati dengan tulisan aksara Jawa.

Prasasti tersebut berukuran kurang lebih 1 meter kali 50 sentimeter yang menempel di dinding masjid.

Dari prasasti tersebut juga bisa dilihat dari arti tulisan aksara jawa itu, kurang lebihnya ialah ‘Ini adalah pemberian Kanjeng Gubernur Belanda kepada seluruh bangsa/warga Islam saat diberikan itu ketika Paduka Tuan Bijaksana Jan Wakot Rengusin Gubernur Jenderal di Tanah Nederland Hindia.

Mister Daniel Frans Willem Pietermaat Residen di Surapringga dan Raden Tumenggung Krama Jaya Dirana Bupati di negeri Surapringga.

“Prasasti tersebut juga sebagai bukti bahwa masjid yang membentang dari tepi Kalimas (Bibis) sampai sebelah Barat dan Utara masjid merupakan tanah dan bangunan hadiah dari Pemerintah Hinda Belanda bagi umat Islam. Sehingga aset tersebut bukan merupakan aset pribadi seseorang atau milik keluarga tertentu,” lanjut Dosen Sejarah Unair ini. (*/no)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Masjid Muhammad Cheng Hoo, Tempat Mualaf Ucapkan Dua Kalimat Syahadat


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler