Sejumlah Media Barat Dinilai Salah Memahami Dokumen Polisi Xinjiang

Jumat, 26 Agustus 2022 – 18:53 WIB
Penulis buku 'Islam di China' Novi Basuki. Foto: Istimewa for JPNN.com

jpnn.com - Penulis buku 'Islam di China' Novi Basuki menilai media barat salah memahami isi dokumen polisi Xinjiang.

Dokumen rahasia tersebut sebelumnya bocor ke media dan disebarluaskan oleh sejumlah media, termasuk oleh Adrian Zenz dari Yayasan Peringatan Korban Komunis di Amerika.

BACA JUGA: Xi Jinping Disambut Muslim Uighur Xinjiang, Lalu Bilang Begini soal Islam

Menurut Novi, sejumlah media banyak mengutip dari dokumen tersebut pernyataan bekas Sekjen Partai Komunis China di Xinjiang.

"Cuma mereka fatal dana menerjemahkannya, jadi media-media barat terlihat gagal paham,” ujar Novi dalam sebuah diskusi terbatas yang digelar oleh Indonesian Muslim Crisis Center (IMCC) di Jakarta, Kamis (25/8).

BACA JUGA: Kampung Halaman Muslim Uighur Sedot Investasi Rp 446 Triliun, Siapa yang Menikmati?

Menurut Novi, teks dalam dokumen berbahasa China yang beredar secara jelas mengatakan ada perubahan transformasi kebijakan Pemerintah China dalam menghadapi radikalisme, esktremisme, terorisme dan separatisme.

Pemerintah China telah melakukan perubahan yang revolusioner dari awalnya menggunakan cara-cara keamanan (hard approach), kesejahteraan dan kemudian ke basis pendidikan (soft approach).

BACA JUGA: PBB Usut Penindasan Muslim Uighur, Xi Akui China Tidak Sempurna

Langkah Pemerintah China menghadapi radikalisme, ekstremisme, terorisme dan separatisme dengan cara-cara keras, ternyata kurang berhasil.

Kemudian diganti dengan pendekatan peningkatan kesejahteraan di masyarakat dan ternyata juga dianggap kurang berhasil.

“Nah, yang dilakukan saat ini adalah kebijakan yang ketiga yakni berbasis pada pendidikan yang oleh media barat disebut camp konsentrasi."

"Padahal, itu adalah sekolah vokasi atau pusat reedukasi yang didalamnya ada peningkatan kemampuan bahasa nasionalis China dan peningkatan kemampuan skillnya,” tutur Novi.

Novi lebih lanjut mengatakan bahwa mereka yang masuk dalam pusat reedukasi ini adalah yang melakukan pelanggaran dalam hukum di China yang dibagi menjadi dua kategorisasi.

Yakni, pelanggaran berat dan ringan.

Pelanggaran berat terbukti melakukan aksi-aksi terorisme, maka akan diberikan hukuman terlebih dahulu.

Setelahnya baru dimasukan ke pusat reedukasi.

Sementara, untuk mereka yang melakukan pelanggaran ringan tidak ada hukuman.

“Mereka langsung dimasukan ke pusat reedukasi,” ucapnya.

Novi juga mengatakan pusat reedukasi di China memiliki fasilitas ruangan ber-AC, diberikan uang saku sekitar 15 yuan dan juga makanan yang layak.

“Saya tidak tahu dengan pusat rehabilitasi milik BNPT soal fasilitas,” ujar Novi.

Direktur IMCC Robi Sugara mengatakan bahwa pusat reedukasi atau sekolah vokasi tersebut dalam konteks Indonesia mirip Pusat Deradikalisasi yang saat ini dikembangkan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).

Di tempat yang sama Direktur Sino-Nusantara Insititut Ahmad Syaifuddin Zuhri mengatakan pusat reedukasi adalah bentuk ikhtiar Pemerintah China dalam menanggulangi radikalisme, terorisme dan seperatisme.

“Semua tahu bahwa setelah peristiwa 11 September 2001 di Amerika, seluruh dunia termasuk China menghadapi ancaman yang serupa dari terorisme,” kata Ahmad Syaifuddin. (gir/jpnn)


Redaktur & Reporter : Kennorton Girsang

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler