Sebuah laporan soal industri fashion menyatakan sejumlah perusahaan mode dan tekstil dari Australia belum cukup melakukan perlindungan bagi para buruh di pabrik pakaian di luar negeri.
Laporan tersebut muncul hampir dua tahun setelah runtuhnya pabrik di kawasan Rana Plaza, Bangladesh yang menewaskan ratusan pabrik tekstil.
BACA JUGA: Partai Demokrat Australia Dicabut Statusnya Sebagai Parpol
Pabrik-pabrik tersebut banyak memproduksi pakaian bagi merk-merk ternama dunia.
Yayasan Baptist World Aid mencoba menelusuri rantai pasokan untuk ritel fesyen dan mode di Australia, yang tertuang dalam Laporan Fashion Australia 2015.
Laporan ini telah menilai 219 perusaahan fesyen asal Australia berdasarkan kebijakan mereka, rantai pasokan, program, dan pemenuhan hak-hak pekerjanya.
BACA JUGA: Ditemukan Praktek Korupsi Agen Pendidikan Untuk Kuliah di Australia
"Beberapa merk [asal Australia] seperti Just Group, Best and Less and Lowes, Industry, Ally and Tmt, Valley Girl, mereka tidak melakukannya dengan cukup baik," ujar Gershon Nimbalker, manajer advokasi dari Baptist World Aid Australia.
"Tidak cukup banyak bukti apakah para buruh-buruh di luar negeri yang memproduksi untuk mereka mendapat perlakuan wajar, tidak dipaksa, tidak memperkerjakan anak-anak, dan tidak mendapat upah yang sangat rendah," tambahnya.
BACA JUGA: RUU Migrasi Australia Berikan Kewenangan untuk Pukuli Pencari Suaka
Warga berkumpul di kawasan Rana Plaza, Bangladesh, dimana banyak buruh pabrik yang tertimpa bangunan yang runtuh, pada April 2013. Foto: Reuters, Andrew Biraj.
Tetapi dalam laporan tersebut pun disebutkan bahwa beberapa perusahaan mode dan fesyen asal Australia lainnya K-mart, Cotton On, dan The Sussan Group telah meningkatkan kondisi para buruh mereka di sejumlah negara, seperti Bangladesh.
Secara keseluruhan, industri manufaktur pakaian di dunia masih dikenal memiliki majikan yang 'brutalan'.
Di Bangladesh, para buruhnya mendapat upah sekitar $70 atau Rp 700.000 sebulan dan banyak anak-anak yang dipaksa untuk bekerja di sejumlah pabrik.
Menurut Carolyn Kitto, dari yayasan Stop the Traffik yang banyak menyoroti eksploitasi buruh, yang bisa dilakukan oleh para konsumen adalah menekan para produsen mode dan pemilik merk-merk fesyen untuk menjual produk mereka dengan lebih bertanggung jawab dan etis.
"Mereka harus bertanya kepada merk-merk favorit mereka, "Siapa yang membuat pakaian-pakaian ini?", "Apa yang kamu ketahuai soal rantai suplainya?", "Apa yang kamu ketahui soal perburuhannya?"," tegas Kitto.
Kitto juga mengingatkan bahwa sebagai konsumen, kita memiliki kekuatan untuk menentukan apa yang akan dipilih dan dibeli. Karena pada akhirnya bisnis akan mendengar apa yang diinginkan konsumennya.
BACA ARTIKEL LAINNYA... Penyelidikan Independen Produk Berry Beku Tidak Mengandung Hepatitis A