Sekjen KNTI: Perizinan di Sektor Kelautan dan Perikanan menyisakan Banyak Masalah

Selasa, 05 Maret 2019 – 19:51 WIB
Fraksi Partai Hanura DPR RI mengadakan Focus Group Discussion bertema Menimbang Ulang Kebijakan Kementerian Kelautan dan Perikanan RI tentang Moratorium SIPI dan SIUP di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (5/3). Foto: Hanura

jpnn.com, JAKARTA - Kebijakan moratorium SIPI (Surat Izin Penangkapan Ikan) dan SIUP (Surat Izin Usaha Penangkapan) yang dikeluarkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan yang tertuang dalam peraturan Menteri KKP RI No. 56/PERMEN-KP/2014 dan diperkuat oleh Perpres No. 44 tahun 2016 menuai kontroversial di tengah masyarakat.

Persoalan ini mendorong Fraksi Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI mengadakan Focus Group Discussion (FGD) dengan tema “Menimbang Ulang Kebijakan Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia tentang Moratorium SIPI dan SIUP”.

BACA JUGA: Fahri Hamzah: Norwegia Negara Maju Dalam Banyak Hal

FGD yang digelar di ruang rapat Fraksi Partai Hanura, lantai 16, Gedung Nusantara 1, DPR RI ini menghadirkan sejumlah pakar dan narasumber yakni Dirjen Perikanan Tangkap KKP M. Zulficar Mochtar; Guru Besar Manajemen Pembangunan Pesisir dan Lautan IPB, Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri; Sekjen KNTI/ Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia Iin Rohimin; dan Anggota Komisi IV DPR RI dari Fraksi Partai Hanura Dr. Erislan.

BACA JUGA: Perinus Buka Peluang Bisnis dengan Pasar Terbesar Perikanan Laut di Jepang

BACA JUGA: Pentolan Hanura DKI Pengin Andi Arief Dihukum Mati

Dalam kesempatan itu, Rokhmin Dahuri memaparkan materi dengan judul kebijakan pengelolaan perikanan tangkap untuk peningkatan kesejahteraan nelayan, daya saing saing, dan pertumbuhan ekonomi inklusif secara berkelanjutan. Rokhmin menguraikan sejumlah permasalahan yang dihadapi bangsa Indonesia di antaranya pengangguran dan kemiskinan, ketimpangan sosial ekonomi terburuk keempat di dunia, disparitas pembangunan antarwilayah, gizi buruk dan stunting growth, daya saing dan IPM rendah, kerusakan lingkungan dan SDA.

Terkait dengan permasalahan nelayan, menurutnya, ada beberapa permasalahan yang dihadapi seperti, sekitar 48 persen nelayan masih miskin berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS tahun 2018), sebagian besar usaha perikanan tangkap dilakukan secara tradisional, kontribusi sektor KP terhadap PDB masih sangat rendah, umumnya nelayan hanya bisa melaut sekitar 8 bulan dalam setahun, perizinan perikanan (SIPI, SIUP, dan PHP) semakin susah, lama, dan mahal, dan mayoritas nelayan belum melakukan Best Handling Practies dan Cold Chain Syestem sehingga kwalitas ikan menurun.

BACA JUGA: Bamsoet: DPR dan Pemerintah Juga Fokus Bangun SDM

“Sesuai data Direktorat Perizinan dan kenelayanan KKP tahun 2019, SIUP berjumlah 4.478, SIPI 4.262, dan SIKPI hanya 298. Faktanya juga proses pembuatan atau perpanjangan izin kapal perikanan bisa memakan waktu lebih dari 3 bulan bahkan sampai tahunan,” kata Rokhmin.

Sementara itu, Sekjen Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia, Iin Rohimin dalam materi yang berjudul perizinan dan mimpi mewujudkan perlindungan serta pemberdayaan nelayan menjelaskan, sampai saat ini perizinan di sektor kelautan dan perikanan masih menyisakan banyak masalah.

Menurut Iin, salah satu indikator untuk melihat kerja nyata KKP selama ini adalah masalah perizinan sebab dapat dilihat secara kasat mata.

“Menteri Susi dan jajarannya menjawab persoalan tersebut sedemikian luar biasa, dengan mengeluarkan data dan berbagai akrobat politik, namun faktanya hingga hari ini perizinan di sektor kelautan dan perikanan masih menyisakan banyak masalah,” jelas Rohimin.

Lebih lanjut dia menjelaskan, masalah perizinan seringkali yang disorot adalah soal perizinan perahu nelayan di atas 30 GT yang menjadi kewenangan KKP, baik dari sisi ruwetnya proses perizinan, lamanya waktu, hingga rendahnya pelayanan KKP dalam menerbitkan surat sakti untuk melaut.

Padahal untuk perahu yang dibawah 30 GT yang menjadi kewenangan Provinsi dan kabupaten juga masih menyisahkan sejumlah persoalan antara lain, tumpang tindihnya aturan perundangan-undangan, keterbatasan petugas dan lokasi, pengurusan pra PTSP, dan online singel submission (OSS).

Untuk itu kata Rohimin, terkait dengan permsalahan-permasalahan ini ada beberapa solusi yang perlu dilakukan. Di antaranya mendekatkan pelayanan, menambah petugas yang melayani berbagai pengurusan dokumen perizinan, melibatkan nelayan atau masyarakat dengan cara membuat pelatihan dan petugas perizinan.

Selain itu, menyederhanakan segala proses pembuatan dokumen untuk pengurusan izin, nelayan diberikan waktu yang cukup hingga enam bulan untuk menyiapkan segala dokumen perizinan namun dalam jangka waktu tersebut nelayan tetap diperbolehkan melaut.

DPR RI juga harus melakukan sinkronisasi terhadap berbagai peraturan perundang-undangan yang tumpang tindih yang saling berbenturan satu sama lain, dan harus ada kepastian hukum dalam hal pelarangan alat tangkap nelayan yang merusak lingkungan.(fri/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... DPR Siapkan Proses Seleksi Sebelas Calon Hakim Konstitusi


Redaktur & Reporter : Friederich

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler