jpnn.com - JAKARTA – Deputi Sekretaris Jendral Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Iwan Nurdin, tidak terkejut dengan kabar yang menyebutkan sejumlah pengembang sudah masuk di era lahan yang disengketakan antara warga Sari Rejo, Kecamatan Medan Polonia, Medan dengan TNI AU.
Iwan juga mengaku tidak kaget, jika benar para pengembang perumahan mewah di area lahan yang disengketan itu sudah mengantongi sertifikat tanah. Menurutnya, ya memang seperti itulah model permainan mafia tanah yang selama ini bermain di wilayah Sumut.
BACA JUGA: Bupati Ini Sering Bolak Balik Singapura
“Mafia tanah di Sumut memang luar biasa,” ujar Iwan Nurdin kepada JPNN kemarin (26/8).
Dijelaskan, mafia tanah di Sumut sudah lama bermain. Hal ini bermula dari lahan eks perkebunan jaman Belanda, yang di era awal kemerdekaaan dinasionalisasi menjadi lahan PTPN. Sebelumnya, Belanda mengambil lahan dari tanah milik masyarakat dan atau masyarakat adat.
BACA JUGA: Asap Karhutla di Riau Sudah Masuk Singapura
Selanjutnya, pada 1979 pernah ada upaya redistribusi tanah, yang menurut UU Pokok Agraria, lahan yang diduduki warga harus dikeluarkan dari area perkebunan. Sebelumnya, tahun 1960-an, ada sejumlah surat land reform yang dikeluarkan. Sebagian tanah di Sumut sudah mendapatkan surat land reform ini.
“Tapi karena ada masalah politik, tanah tak jadi didistribusikan, tapi malah dikuasai jaringan kuat mafia tanah. Ada yang balik lagi ke PTPN, ada yang ke TNI/Polri, dan belakangan pengusaha properti banyak yang masuk menjadi bagian dari permainan mafia tanah itu,” ujarnya.
BACA JUGA: WOW, Ini Jumlah CJH Lampung yang Belum Diberangkatkan ke Tanah Suci
Karena itu, dalam kasus Sari Rejo, putusan Mahkamah Agung (MA) yang telah memenangkan warga, tetap saja sulit dieksekusi karena kuatnya jaringan mafia tanah di Sumut.
Jika benar para pengembang yang masuk ke area lahan berkonflik itu sudah mendapatkan sertifikat, lanjut Iwan, itulah modus untuk menjegal agar jangan sampai putusan MA dieksekusi.
“Banyak oknum di Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang menjadi bagian mafia tanah, yang hingga sekarang belum juga dibersihkan. Mafia tanah selalu melibatkan pemilik modal yang kuat,” beber Iwan.
“Sekali lagi, jika memang pengembang itu sudah mendapatkan sertifikat, itulah upaya untuk menjegal agar eksekusi tak bisa dilaksanakan. Mereka membuat dasar hukum berupa sertifikat,” terangnya.
Padahal, lanjutnya, sudah jelas bahwa sertifikat tidak bisa dikeluarkan untuk lahan yang masih disengketakan. Terlebih lagi, sudah ada putusan MA yang memenangkan warga. “Sertifikat itu hanya bisa dikeluarkan untuk lahan yang sudah clean and clear, bukan tanah sengketa,” cetusnya.
Sebelumnya, pihak TNI sudah membantah kabar rencana penjualan lahan tersebut ke pengembang.
Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) Mabes TNI Mayjen TNI Tatang Sulaiman mengatakan, lahan ratusan hektar di Desa Sari Rejo itu merupakan inventaris kekayaan negara (IKN). Pihaknya hanya menguasai dan memanfaatkan lahan tersebut. "Lahan itu aset negara, bukan milik TNI," terangnya, 23 Agustus 2016.
Kabar penjualan lahan hanya isu belaka. Sebagai pihak yang dipasrahi lahan itu, maka TNI akan menjaga dan merawatnya. "Tidak mungkin kami menjual," paparnya.
Terkait dengan lahan sekitar 260 hektar yang ditempati warga, Tatang menyatakan, lahan itu merupakan aset negara. TNI mempunyai surat atau bukti kepemilikan tanah.
Sementara, Ketua Forum Masyarakat Sari Rejo (FORMAS), Pahala Napitupulu, mengungkap temuan ada sekitar 16 pengembang di Medan yang saat ini telah menguasai lahan dimaksud.
“Jadi jika TNI AU selama ini mengklaim tanah Sari Rejo masuk ke dalam IKN, kenapa banyak lahan yang dijual ke pengembang. Dari data yang kami peroleh, ada 16 pengembang yang telah membeli tanah ke TNI AU,” cetus Pahala, 24 Agustus 2016. (sam/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Jumlah Pengidap HIV Meningkat Drastis, Nih Datanya
Redaktur : Tim Redaksi