jpnn.com - KONJEN RI di Johor Bahru berinisiatif mendirikan sekolah rintisan agar anak-anak tenaga kerja Indonesia (TKI) punya masa depan. Pasalnya, belum semua anak TKI di Malaysia mendapat pendidikan yang layak. Bahkan, beberapa tidak bisa bersekolah.
----------
Laporan Sholahuddin, Johor Bahru, Malaysia
----------
BEL berbunyi nyaring di Indonesia Community Center (ICC), sekolah rintisan di Johor Bahru, pagi itu. Anak-anak yang berseragam SD dan SMP berlarian masuk ke ruang kelas. Namun, tidak semua anak itu mau masuk kelas. Beberapa di antara mereka masih tetap asyik bermain kejar-kejaran di halaman sekolah.
BACA JUGA: Lutfi Bansir, Lahirkan 170 Jenis Nangka dan 40 Macam Durian
’’Ayo, masuk semua. Fajar, kamu kan ketua kelas, semestinya bisa kasih contoh teman-temanmu untuk masuk. Itu gunanya kamu dipilih menjadi ketua kelas,’’ ujar seorang guru kepada Fajar dan teman-temannya yang masih berada di luar kelas. Mendapat perintah itu, Fajar cs buru-buru berlarian masuk kelas.
BACA JUGA: Keliling 11 Negara dengan Biaya Rp 0 untuk Jalur Darat
Sekolah tempat menimba ilmu bagi anak-anak TKI tersebut sangat sederhana. Dinding kelasnya dibangun dari kontainer bekas. Namun, ruangannya ber-AC sehingga tidak panas. Ukuran ruang kelas juga sempit. Hanya sekitar 4 x 6 meter.
Dengan ruangan seluas itu, kelas tersebut hanya mampu menampung murid tidak lebih dari sepuluh anak. Itu pun berimpitan. Bahkan, jarak papan tulis dengan bangku siswa terdepan tidak sampai semeter.
BACA JUGA: Transgender Asal Indonesia Ini Sukses di Hollywood
Sekolah rintisan tersebut berada satu kompleks dengan kantor Konsulat Jenderal (Konjen) RI di Johor Bahru. Tepatnya di No 46 Jalan Taat, 80100. Saat ini, sudah ada enam ruang kelas. Sebagian besar untuk siswa SD.
Sebagian lagi untuk pelajar kejar paket SMP. Uniknya, ruang-ruang kelas itu diberi nama para mantan menteri pendidikan Indonesia. Mulai Ki Hadjar Dewantara hingga Abdul Malik Fadjar. Nama itu tertulis di pintu masuk kelas.
’’Nanti ada juga nama Pak Anies Baswedan kalau ruang kelasnya bertambah. Insya Allah terus kami bangun,’’ kata Taufiqur Rijal, konsul jenderal RI di Johor Bahru, saat mendampingi rombongan Dompet Dhuafa Indonesia yang dipimpin Presdir Ahmad Juwaini ketika mengunjungi sekolah rintisan tersebut awal Maret silam.
Menurut Rijal, sebelum sekolah itu dibangun, anak-anak TKI harus belajar di ruangan seadanya. Mereka belajar di ruang aula kantor konjen yang disekat-sekat dengan papan. Karena itu, proses belajar-mengajar tidak efektif. Jumlah murid pun belum banyak. Baru setelah ruang-ruang kelas dari kontainer itu didirikan, jumlah anak yang bisa mengenyam pendidikan di ICC mencapai 100 orang.
Hanya, tidak mudah untuk mendapatkan murid. Rijal bersama staf konjen mesti blusukan ke tempat-tempat tinggal para TKI. Tujuannya, mendapatkan anak-anak yang mau bersekolah. Bahkan, tidak hanya di Johor Bahru, tapi juga ke wilayah Melaka, Pahang, dan Negeri Sembilan.
’’Kami datangi dan rayu-rayu supaya mau. Bahkan, kami jemput ke rumahnya kalau mau sekolah,’’ katanya.
Rijal mengungkapkan, sebagian besar murid sekolah rintisan adalah anak TKI yang bekerja di ladang kelapa sawit dan konstruksi serta pembantu rumah tangga (PRT). Di antara anak-anak itu, ada yang datang menyusul atau dibawa orang tuanya dengan visa kunjungan wisata. Atau masuk melalui jalur perbatasan secara ilegal.
Selain itu, ada anak-anak TKI yang lahir di tanah jiran karena perkawinan antar sesama TKI. Padahal, peraturan keimigrasian Malaysia melarang para TKI nonprofesional untuk menikah, membawa keluarga, atau bahkan melahirkan anak di Malaysia. Namun, faktanya, banyak juga yang tetap nekat.
’’Kondisi itulah yang sejak setahun terakhir ini menjadi tantangan saya. Apa pun kondisinya, mereka adalah generasi Indonesia, anak-anak bangsa,’’ tegas Rijal.
Jumlah siswa yang makin banyak, lanjut Rijal, ternyata juga membawa kendala tersendiri. Sebab, jumlah tenaga pengajarnya terbatas. Untung, banyak mahasiswa pascasarjana asal Indonesia yang sedang menempuh pendidikan di Malaysia yang mau membantu.
Mereka bersedia menjadi guru bagi anak-anak tersebut. Tentu saja, mereka juga mendapat tunjangan walaupun tidak banyak.
”Jadi, guru SD di sini itu bergelar master dan doktor, lho,” tambahnya. Rijal menambahkan, ikhtiar untuk membesarkan sekolah bagi anak-anak Indonesia di perantauan itu mulai mendapat perhatian dari pemerintah.
Belum lama ini pihaknya mendapatkan bantuan anggaran sekitar Rp 2 miliar. Dana itulah yang dimanfaatkan untuk membangun ruang-ruang kelas tersebut. Pihaknya pun berharap pemerintah mau mengirimkan tenaga pengajar. ’’Insya Allah tahun ini bisa terwujud,’’ harapnya.
Perkembangan sekolah rintisan bagi anak-anak TKI itu juga mendapat perhatian Atase Pendidikan Kedutaan Besar RI di Kuala Lumpur Prof Ari Purbayanto.
Melihat kondisi sekolah itu, Ari memberikan acungan jempol terhadap kegigihan Taufiqur Rijal dan staf. ’’Dulu saya ke sini (Johor Bahru) belum begini sekolahnya. Sekarang sudah makin layak,’’ kata Ari.
Ari mengungkapkan, jumlah TKI yang bekerja di Malaysia saat ini sekitar 1,94 juta. Jumlah itu belum termasuk TKI tanpa dokumen.
Di antara jumlah tersebut, tidak sedikit yang membawa anak-anak untuk mengadu nasib di Malaysia. ’’Jadi, permasalahan pendidikan bagi anak-anak TKI di Malaysia merupakan tantangan besar dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,’’ katanya.
Menurut dia, upaya pemerintah Indonesia untuk memfasilitasi pendidikan dasar bagi anak-anak TKI itu tidak mudah. Masih ada persoalan, terutama terkait status keimigrasian para peserta didik dan keberlanjutan pendidikannya.
’’Program wajib belajar itu diperuntukkan seluruh WNI usia sekolah 7–15 tahun, tidak terkecuali anak-anak TKI di Malaysia,’’ ungkapnya.
Selain di Johor, di provinsi lain di Malaysia sudah ada beberapa pusat kegiatan belajar masyarakat (PKBM). Di Sabah, misalnya, saat ini tercatat sebanyak 207 PKBM di wilayah ladang maupun nonladang. PKBM itu melayani 6.605 siswa SD dan 3.066 siswa SMP.
Di Kinabalu juga ada sekolah Indonesia (SD–SMA). Jumlah siswanya 709. Lalu, di wilayah Sarawak ada 13 PKBM dengan 21 guru yang mengajar 625 siswa.
Ari menambahkan, membuka Sekolah Indonesia Luar Negeri (SILN) di Malaysia tidak mudah. Tidak adanya izin tinggal dan belajar bagi anak-anak TKI akan menjadi beban masalah. Padahal, SILN sejatinya didirikan untuk tujuan memberikan layanan pendidikan bagi anak-anak Indonesia yang orang tuanya sedang bertugas atau bekerja di luar negeri sebagai pekerja profesional.
’’Seperti sekolah di Johor ini, sebagian orang tuanya masih dalam cekaman ketakutan bila sewaktu-waktu terkena operasi yustisi. Karena itu, masih bersifat rintisan,’’ kata Ari. (*/c5/c10/ari)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Emergency Magic, Trio Professional Magician Penghibur Pasien Anak
Redaktur : Tim Redaksi