JAKARTA - Anggota Komisi X DPR Rohmani menilai, sekolah Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) yang dikembangkan pemerintah salah kaprah. Alasannya, RSBI telah memunculkan persepsi baru dari masyarakat bahwa kalau sekolah menggunakan Bahasa Inggris dianggap sekolah bertaraf internasional dan yang tidak menggunakan Bahasa Inggris dipahami sebagai sekolah yang tidak berkualitas.
"Pertanyaan saya, apakah sekolah dengan pengantar Bahasa Indonesia dan bahasa daerah tidak bisa berkualitas internasional? Ini sudah salah kaprah," tegas Rohmani, di Jakarta, Rabu (2/5).
Rohmani menduga, sekolah-sekolah RSBI telah kerap menjual kursi sekolah kepada para orang murid yang berkamampuan finansial.
"Banyak kasus, sekolah berlabel RSBI menjual kursi untuk diisi oleh-anak-anak yang sebenarnya tidak lolos atau tidak layak di sekolah bertaraf internasional. Tapi karena orangtuanya pejabat atau berkemampuan finansial, maka kekurangmampuan akademis anak dicukupi dengan kontribusi uang ke sekolah RSBI," ungkap politisi PKS itu.
Pandangan serupa juga diungkap oleh Koordinator Koalisi Antikomersialisasi Pendidikan, Andi Muttaqien. Menurut Andi, RSBI sebagai program pemerintah yang ahistoris.
"Keberadaan RSBI yang merupakan mandat Pasal 50 ayat 3 dari dari Undang-Undang nomor 23 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) justru diarahkan untuk mengadopsi nilai dan proses pembelajaran di negara anggota OECD atau negara maju. Mereka ini menggunakan dasar dan falsafah individualistis dan kapitalistis. Ini berbeda dengan dasar dan falsafah bangsa Indonesia," tegas Andi Muttaqiem.
Dikatakannya, penggunaan Bahasa Inggris sebagai pengantar mata pelajaran di RSBI, kecuali pelajaran Bahasa Indonesia, Pendidikan Agama, Pendidikan Kewarganegaraan, Pendidikan Sejarah, dan muatan lokal adalah suatu masalah.
Kebijakan itu lanjutnya, bertentangan dengan semangat Sumpah Pemuda 1928 yang berikrar bertanah air, berbangsa, dan berbahasa satu, yaitu Indonesia.
"Padahal kapasitas Bahasa Indonesia sebagai bahasa modern yang dapat digunakan untuk membahas hal-hal yang abstrak telah diakui UNESCO," imbuhnya.
Menyikapi hal tersebut, Koalisi tengah mengajukan uji materi atas Pasal 50 ayat 3 UU Sisdiknas karena Pasal 50 ayat 3 UU Sisdiknas bertujuan meliberalisasi pendidikan Indonesia.
"Ada misi terselubung dari pasal itu yakni secara perlahan memindahkan tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan Indonesia dan pembiayaannya digeser kepada individu. Misi itu jelas bertentangan dengan Pasal 31 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa tiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya," tegas Andi.
Diingatkannya, Indonesia merupakan negara kesejahteraan (welfare state) karena itu pendidikan merupakan barang publik (public goods), bukan barang pribadi (private goods).
"Karena itu kami berharap Majelis Hakim MK membatalkan Pasal 50 ayat (3) UU Sisdiknas sehingga dasar, falsafah dan tujuan pendidikan nasional dapat dikembalikan kepada tujuan awalnya, yakni untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Sehingga, kemakmuran dan kesejahteraan bangsa Indonesia dapat dicapai dan dinikmati seluruh rakyat Indonesia," imbuhnya. (fas/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Ternyata Pengecekan Kunci Jawaban Belum Jalan
Redaktur : Tim Redaksi