jpnn.com, JAKARTA - Pengamat dan praktisi pendidikan Satriwan Salim mengatakan, sekolah Satuan Pendidikan Kerja sama (SPK) seharusnya mampu menyejahterakan tenaga pendidik dan kependidikan.
Pasalnya, sekolah SPK menarik dana yang tidak sedikit dari orang tua murid.
BACA JUGA: PGRI Tolak Penghentian TPG Bagi Guru Tersertifikasi di Sekolah SPK
"Rerata sekolah SPK ini bayarannya mahal. Meski ada juga SPK yang SPP-nya sama dengan sekolah swasta nasional. Namun, SPK itu identik dengan sekolah mahal karena sumber pembiayaannya tidak hanya dari SPP," kata Satriwan kepada JPNN.com, Rabu (22/7).
Dia mencontohkan beberapa SPK yang dimiliki industri berskala besar. Selain dari SPP, bisa saja sekolah juga mendapatkan subsidi dari industrinya.
BACA JUGA: Inilah Nama-nama Pejabat Kemendikbud yang Dilantik Nadiem Makarim
Kondisi ini berbeda dengan sekolah swasta nasional yang juga standarnya berbeda-beda.
Ada sekolah swasta nasional yang makmur tetapi lebih banyak pas-pasan. Mereka hanya mengandalkan sumber pemasukan dari SPP.
BACA JUGA: Target Kemendikbud, Jalur Rempah jadi Warisan Dunia pada 2024
"Karena SPP sekolah SPK mahal, ditambah sumber pendanaan lainnya mestinya tenaga pendidik dan kependidikan harus lebih sejahtera. Namun, fakta yang saya lihat ada juga yayasan SPK yang kurang perhatian. Mestinya kan enggak begitu," ucap Satriwan.
Wakil Sekjen Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) ini menambahkan, mahalnya biaya sekolah SPK ini harus diimbangi juga dengan kualitas pendidikannya.
Mengingat fasilitas SPK jauh lebih bagus dengan kombinasi kurikulum internasional dan nasional.
"Jadi ketika belajar dari rumah (BDR) begini enggak ada kesulitan. Enggak seperti sekolah swasta dan negeri lainnya yang bingung dengan kuota internet," ucapnya.
Dihubungi terpisah Anita Purnomosari dari IPH Schools mengungkapkan, sejatinya sekolah berstatus SPK sudah secara mandiri mengelola operasionalnya, termasuk masalah kesejahteraan guru.
Dia mencontohkan ketika IPH Schools beralih dari sekolah swasta nasional ke SPK, pihaknya langsung mengumumkan guru-gurunya tidak lagi mendapatkan tunjangan profesi dari pemerintah.
Artinya, yayasan SPK yang akan menanggung gaji serta tunjangan gurunya.
"Ya kan memang harus begitu. Aturan mainnya, ketika sudah komitmen menjadi SPK otomatis semua jadi tanggung jawab yayasan. Tidak boleh lagi mengharapkan bantuan pemerintah karena yayasan diberikan kewenangan untuk mengatur sendiri manajemen sekolahnya," terangnya.
Di sisi lain, ketika guru-guru SPK sudah ditingkatkan kesejahteraannya oleh yayasan, otomatis kinerjanya harus sesuai standar asing. Sebab, SPK itu dikelola bersama dengan lembaga pendidikan asing.
Hal sama diungkapkan Aulia Widya Esti dari Surabaya European School. Surabaya European School tadinya international school dan kemudian beralih status jadi SPK. Sebenarnya yayasan sudah mengetahui aturan dari Kemendikbud soal SPK. Bahwa yayasan lah yang mengatur standar kesejahteraan guru-guru SPK.
"Kalau di sekolah kami, guru-gurunya diperhatikan kesejahteraannya. Ini agar mereka bisa mengajar dengan gembira dan profesional sesuai standar asing," terangnya.
Dia mengungkapkan untuk standar gaji antara guru asing dan lokal sama. Yang membedakan hanya tunjangannya. Guru asing tunjangannya lebih besar karena pertimbangannya mereka harus pindah ke Indonesia sehingga ada tambahan biaya.
"Kenapa SPK jadi mahal karena kami harus mendatangkan guru-guru asing juga. Selain itu setiap kali ujian, yayasan harus mendatangkan para penguji dari dari luar negeri. Jadi bukan sekolah yang menguji tetapi dari negara yang kami ajak kerja sama," tandasnya. (esy/jpnn)
Redaktur & Reporter : Mesya Mohamad