Restoran Bistro Eden milik Sangeeta Maharaj sudah terkenal di kalangan warga Fiji selama lebih dari sepuluh tahun.

Dengan standar layanan yang tinggi untuk menjaga reputasi, Sangeeta bekerja keras untuk melatih para pekerjanya.

BACA JUGA: Menparekraf Sandiaga Uno: Lampung Bisa jadi Pilihan Utama Berwisata

Beberapa di antara mereka bahkan sudah bekerja sejak restorannya dibuka.

Namun baru-baru ini, sebagian pekerjanya malah berhenti, sehingga restorannya jadi kekurangan pekerja. 

BACA JUGA: Polisi Bantah Kekerasan dalam Kematian Aktivis Trans Asal Peru Saat Bulan Madu di Bali

Dalam beberapa bulan terakhir, Sangeeta kehilangan empat tukang masak dan banyak pelayan.

Dia mengatakan hampir semuanya pindah ke Australia dan ini dialami juga oleh restoran lainnya.

BACA JUGA: Temukan Dosis Tepat, Australia Langsung Kirim 1 Juta Vaksin PMK ke Indonesia

"Skema pengiriman tenaga kerja dari sini ke Australia begitu tiba-tiba, rasanya seperti eksodus," kata Sangeeta kepada ABC.

"Kami tidak lagi memiliki staf untuk melayani sejak sebulan terakhir. Saya mendapat surat pengunduran diri hari Kamis dan mereka tak lagi bekerja sejak hari Sabtu."

Bulan April lalu pemerintah Australia memperluas program Skema Pergerakan Pekerja Pasifik Australia (PALM), yang sekarang mengizinkan pekerja di bidang 'hospitality', pariwisata dan layanan lanjut usia untuk mengisi kekurangan pekerja di Australia.

Langkah itu muncul di saat pariwisata di Fiji baru mendapatkan kembali momentum dengan dibukanya kembali negara tersebut setelah ditutup karena COVID.

Dalam kunjungannya ke Fiji bulan lalu, Perdana Menteri Anthony Albanese mengatakan skema ini "bagus bagi Australia" untuk mengisi kekurangan pekerja. Namun juga "bagus bagi negara tetangga kami di Pasifik", khususnya karena lebih banyak pekerja perempuan bisa berpartisipasi.

Namun pergerakan pekerja ini tidaklah begitu positif bagi bisnis lokal di kepulauan Pasifik karena mereka pergi di saat sedang sibuk. 'Tidak pernah terjadi sebelumnya'

Shakil Zoro Bhamji pernah mempekerjakan sampai 95 orang di jaringan kedai kopinya Coffee Hub.

Tetapi dia kehilangan 20 pekerja tahun ini, karena banyak yang berhenti mendadak setelah visa mereka untuk bekerja di Australia keluar.

"Mereka pada dasarnya meninggalkan tempat kerja begitu saja. Jadi bikin kesal melihat keadaan seperti ini," kata Sakhil.

Dia mengatakan mereka sekarang seperti "berdiri di satu kaki" dengan harus mencari pekerja baru, tapi kemudian pekerja tersebut juga akan keluar.

"Inilah yang terjadi. Mereka didekati oleh hotel, karena hotel juga kehilangan pekerja setelah adanya skema kerja di Australia tersebut," kata Sakhil.

Jam operasi kafe juga lebih sebentar dari sebelumnya, akhirnya Sakhil harus mencari pekerja di kalangan pelajar atau mahasiswa.

"Kami pada dasarnya hidup dari ke hari mencari pekerja, dan sekarang sebagian besar pekerja kami tidak punya pengalaman sebelumnya sama sekali," katanya.

Fantasha Lockington CEO Asosiasi Turisme dan Perhotelan Fiji mengatakan mereka sebenarnya sudah terbiasa dengan pergerakan pekerja yang pindah ke Australia dan Selandia Baru.

Namun yang sekarang yang terjadi adalah "kenaikan yang luar biasa dari segi jumlah".

"Sekarang sudah sembilan bulan sejak Fiji dibuka kembali dan kami mengalami musim turis yang sangat positif, tetapi juga bersamaan dengan dibukanya kembali Australia dan Selandia Baru yang juga butuh pekerja," katanya.

"Kami mengerti hal tersebut akan terjadi, namun terjadi dalam tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya."

Badan Turisme Fiji sudah mengadakan pelatihan untuk mengisi kekosongan, namun Fantasha juga ingin pemerintah Australia mempertimbangkan kebutuhan bisnis negara-negara Pasifik.

"Yang ingin kita lihat adalah lebih banyak diskusi mengenai apa yang bisa mereka lakukan dalam membantu pelatihan, dan bukannya sekadar membuka aturan sehingga pekerja bisa pindah dengan mudah," katanya.

Juru bicara Departemen Luar Negeri dan Perdagangan (DFAT) Australia mengatakan dengan mendukung para pekerja Pasifik membangun keterampilan baru atau meningkatkan keterampilan mereka maka nantinya "akan menjadi modal bagi negara-negara Pasifik".

Dia menambahkan sekarang tergantung pada negara-negara Pasifik untuk mengatur bagaimana pergerakan para pekerja tersebut.

"Negara-negara yang terlibat dalam skema PALM memiliki kebijakan sendiri-sendiri soal pergerakan pekerja dan bisa mengatur siapa yang bisa mendaftar untuk bisa bekerja," kata juru bicara tersebut.

Pemerintah Australia menghormati keputusan negara mitra bagaimana mereka akan memfokuskan pada pekerja mereka. Dampaknya di berbagai kawasan Pasifik

Kekurangan pekerja juga terjadi khususnya di industri pariwisata, karena para pekerja berusaha mendapatkan gaji yang lebih tinggi dibandingkan di Australia dan Selandia Baru.

Menurut data dari Departemen Tenaga Kerja Australia, sampai akhir bulan Juli sudah ada 26.600 pekerja PALM yang tiba di Australia.

Antara bulan Mei sampai Juli 2022, ada 4.792 yang tiba lewat skema tersebut.

Sejumlah 50 ribu orang sudah melewati batas pemeriksaan awal dan sedang menunggu tawaran kerja.

Di bawah skema ini, mereka yang datang bisa bekerja sampai sembilan bulan, namun kerja untuk masa lebih panjang antara satu sampai empat tahun juga bisa dipertimbangkan.

Pemerintah Australia mengatakan secara rata-rata para pekerja dalam skema PALM mengirimkan uang sekitar Rp60 juta setiap tahun kembali ke negara masing-masing.

Artikel ini diproduksi oleh Sastra Wijaya dari ABC News

BACA ARTIKEL LAINNYA... Dunia Hari Ini: Polisi Indonesia Gagalkan Pengiriman TKI Ilegal ke Kamboja

Berita Terkait