Selama Masih Dianggap Rekayasa, Aksi Teror Tidak Akan Sirna

Kamis, 01 April 2021 – 23:55 WIB
Tim Densus 88 Mabes Polri mekakukan penjagaan terhadap 22 terduga teroris, di Polda Jatim ke Mabes Polri, sebelum dibawa ke Jakarta, Kamis (18/3/2021). Foto: Polda Jatim

jpnn.com, JAKARTA - Ketua Setara Institute Hendardi menilai, peristiwa teror bom di Makassar dan penyerangan ke Mabes Polri, Jakarta, menunjukkan kelompok pengusung ideologi teror masih eksis di Indonesia, termasuk dengan menggunakan strategi lone wolf.

Menurutnya, jaringan Jamaah Ansharud Daulah (JAD) adalah salah satu jaringan terorisme yang paling menonjol mengadopsi strategi lone wolf dalam menjalankan tindakan teror.

BACA JUGA: Moeldoko Tegaskan Ancaman Terorisme Nyata, Dekat, dan Berbahaya

"JAD mengkapitalisasi pesatnya perkembangan teknologi informasi dan memanfaatkannya secara efektif untuk melakukan proses radikalisasi di ruang publik," ujar Hendardi dalam keterangannya, Kamis (1/4).

Eksistensi kelompok teroris ini, kata Hendardi, dimungkinkan karena tiga hal.

BACA JUGA: 1 Narapidana Perkara Terorisme Berikrar Setia kepada Pancasila dan NKRI

Pertama, karena mengendurnya kepekaan dan melemahnya partisipasi masyarakat.

Kedua, berkembang upaya untuk mendelegitimasi tindakan polisional oleh institusi-institusi keamanan negara dalam menangani terorisme.

BACA JUGA: Imbauan Mbah Mijan Kepada Figur Publik Soal Bahaya Terorisme

"Ketiga, berkembang persepsi bahwa terorisme adalah konspirasi atau rekayasa pihak-pihak tertentu," katanya.

Padahal, dua aksi terakhir menurut Hendardi, menunjukkan betapa jejaring itu nyata dan keberadaan mereka membahayakan jiwa masyarakat.

Hendardi lebih lanjut mengatakan, tindakan polisional yang terukur dan akuntabel dibenarkan dalam perpsektif hukum dan hak asasi manusia, untuk melumpuhkan teroris dan jaringannya, demi melindungi kepentingan publik dan keselamatan warga.

Hendardi menyayangkan, penyesatan opini yang mendeligitimasi tindakan koersif negara dalam menangani aksi terorisme, yang masih terus berlangsung.

Menurutnya,  hal itu jelas menjadi kampanye distortif atas kinerja pemberantasan terorisme di satu sisi, dan semakin memperluas ruang radikalisasi publik dan memperkuat sikap permisif warga, di sisi lain.

Padahal, ruang-ruang publik yang permisif terhadap intoleransi dan radikalisme sangat kondusif bagi tumbuhnya jaringan teror, juga tempat yang nyaman bagi sel-sel tidur mereka.

Hendardi kembali mengingatkan, terorisme merupakan musuh bersama.

Karena itu, mobilisasi sumber daya dan dukungan bersama sangat dibutuhkan.

Selain itu,  penanganan terorisme mulai dari pencegahan hingga penindakan yang bersifat terukur dan akuntabel, juga harus dilakukan secara simultan, untuk menjamin keamanan dan keselamatan seluruh warga negara.

Dalam hal ini, katanya kemudian, masyarakat mesti berpartisipasi dalam pencegahan dan aparatur negara harus melakukan tindakan hukum yang akuntabel dan terukur dalam bentuk penindakan.

"Sinergi demikian akan membentuk imunitas kolektif dari penyebaran terorisme melalui saluran apapun, termasuk dengan memanfaatkan perkembangan teknologi, seperti media sosial dan internet," pungkas Hendardi.(gir/jpnn)


Redaktur & Reporter : Ken Girsang

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler