jpnn.com, SURABAYA - Tiga tokoh asal Jatim menerima anugerah penghargaan dari Menlu Jepang. Ketiganya dianggap punya andil besar di bidang masing-masing dalam hubungan persahabatan Jepang-Indonesia. Konsistensi mereka tidak main-main.
NURUL KOMARIYAH
BACA JUGA: Sejumlah Permintaan Jokowi ke Jepang, Apa Saja?
---
"ACARA ini seperti mengenang istri saya. Terima kasih banyak,'' ujar Oetoro terbata-bata. Dia mengucapkan satu per satu kata dengan suara yang sangat pelan. Hingga setiap kata seolah dieja dengan cukup payah. Namun, semangat untuk mewakili sang istri, Tomiko Oetoro, jelas menyala dari cahaya matanya.
Malam itu (4/10) Oetoro yang sudah berusia 90 tahun datang ke rumah dinas Konjen Jepang di daerah Dharmahusada.
Dia mewakili sang istri yang menerima penghargaan dari Menlu Jepang. Istrinya, Tomiko, memang pergi mendahuluinya pada Maret lalu. Namun, jasanya tetap hidup.
Bagi pemerintah Jepang, Tomiko bak kamus hidup bagi masyarakat Jepang di Jatim. Perempuan yang lahir di Jepang dan menjadi WNI pada 1955 itu berkiprah dalam Perkumpulan Jepang Jawa Timur (PJJT) atau dikenal dengan nama East Java Japan Club (EJJC). Dia memulai karir di sana sebagai staf administrasi pada 1983.
Dia berperan besar dalam membantu penerbitan buletin Jepang bernama Berantas. Dia juga punya andil yang tidak kecil untuk mengenalkan Jepang kepada masyarakat Jawa Timur dan sebaliknya.
Apresiasi dalam bentuk piagam penghargaan itu tidak hanya diberikan pada Tomiko. Tetapi juga dua tokoh lainnya dari Jatim.
Yakni, Joshie Halim dan Djodjok Soepardjo. Mereka sekaligus merupakan tiga dari total 16 orang lainnya dan empat organisasi di Indonesia yang dianugerahi penghargaan serupa.
Djodjok mengatakan sangat bangga menerima penghargaan tersebut. Hal itu memacu semangatnya untuk meningkatkan kerja sama yang lebih erat dan mesra antara Jepang-Indonesia.
Lulusan Nagoya University jurusan linguistik Jepang itu dianggap sebagai salah satu tokoh yang kali pertama mengembangkan pembelajaran hingga penelitian bahasa Jepang di Jatim.
Bukan hanya melalui jalur formal, melainkan juga lewat sebuah lembaga kursus. Dengan begitu, masyarakat luas bisa lebih mengenal bahasa dan budaya Jepang.
Djodjok tercatat sebagai pendiri Nihong Indonesia Culture Exchange Center (Nice Center) periode 2000-2005.
Lembaga kursus itu kemudian berubah nama menjadi International Multicultual Center (IMC) yang berdiri hingga kini.
Wakil rektor bidang perencanaan dan kerja sama Unesa itu juga aktif bergerak dalam penerbitan buku-buku pelajaran bahasa Jepang yang dikonsumsi seluruh pembelajar di Indonesia.
''Kursus yang saya dirikan sendiri punya tipikal diampu berbagai karakter guru yang bisa memahami berbagai macam karakter siswa yang juga berbeda-beda,'' tuturnya.
Bahkan, Djodjok pernah terlibat selama 11 tahun dalam penelitian bahasa Jepang. Dia pun produktif menulis berbagai buku. Antara lain, Kamus Dasar Indonesia-Jepang yang terbit pada 2012 dan Linguistik Jepang yang terbit pada 2013. Djojok juga menulis buku berjudul Gairah Hidup pada 2014.
Buku tersebut banyak terinspirasi dari konsep hidup orang Jepang.
Bagaimana nilai-nilai kehidupan di sana bisa diterapkan pada pola kehidupan di sini. ''Misalnya, konsisten terhadap waktu. Saking menghargai waktu, orang Jepang sudah menganggap waktu sebagai civil religion bagi mereka,'' paparnya.
Djodjok mengungkapkan, beberapa waktu lalu dirinya berbincang dengan wakil Menlu Jepang.
Dalam kesempatan itu, dia memberikan pandangan terhadap pembelajaran bahasa Jepang di Indonesia. Menurut dia, jumlah pembelajar tidak harus banyak. Sebab, yang lebih penting adalah kebermanfaatan yang diberikan.
''Mending sedikit tapi betul-betul punya peran dan ikut andil jadi jembatan persaudaraan dua negara,'' tambahnya.
Sementara itu, Joshie Halim menjadi sosok pendukung di balik layar. Sebagai wakil ketua pembina EJJC, dia banyak membantu dan mendedikasikan diri untuk mengurus administrasi dan perizinan bagi pembangunan beberapa gedung sekolah Jepang di Surabaya.
Bahkan, Joshie menyebut Jepang sebagai negara yang paling konsisten dalam membantu Indonesia.
Alumnus Yokohama National University dan Tokyo University itu terlibat aktif sebagai surveyor yang kemudian merekomendasikan bantuan dalam segala hal.
Sebut saja sumbangan sarpras untuk pendidikan tropical disease FK Unair pada 2000-an atau pembangunan gedung IRD di RSUD dr Soetomo. (*/c15/ano/jpnn)
Redaktur & Reporter : Natalia