jpnn.com - SEBENARNYA ini keberhasilan besar. Besar sekali: pemerintah berhasil memaksa bank menurunkan bunga pinjaman.
Betul. Pemerintah betul. Sudah terlalu lama dunia perbankan menikmati bunga tinggi. Sampai laba perbankan di Indonesia luar biasa tingginya. Termasuk tertinggi di dunia. Bank-bank asing pun ikut berbahagia.
BACA JUGA: Tuan Guru dengan Masa Depan yang Panjang
Mestinya peristiwa ”bunga rendah” ini disambut gegap gempita. Terutama oleh dunia usaha. Ini luar biasa. Ini bersejarah.
Inilah saatnya penganut aliran ”bunga rendahlah yang mendorong ekonomi” berkibar. Mengalahkan penganut aliran ekonomi pasar. Presiden, Wapres, dan Menko Perekonomian kali ini kompak. Kebetulan Menko Perekonomiannya, Darmin Nasution, memang dari aliran ”bunga rendah” ini.
BACA JUGA: Jakarta Beijing nan bak Bandung Tianjin
Bacalah bukunya. Yang terbit saat Darmin mengakhiri masa jabatannya sebagai gubernur Bank Indonesia. Tiga tahun lalu. Buku yang sangat bagus. Terlihat jelas di situ. Dia berideologi bunga rendah.
Saya sendiri ikut bergembira. Tapi, saya masih harap-harap cemas. Sedap-sedap ngeri. Di satu pihak, saya sangat senang. Di pihak lain, saya tahu: keberhasilan bunga murah memerlukan banyak syarat. Salah satunya: inflasi harus juga rendah.
BACA JUGA: Universitas Rakyat dari Hati Rukun Abadi
Bisakah pemerintah membuat inflasi rendah? Dan stabil? Dan dalam waktu yang panjang?
Menurut hukum ekonomi yang lazim, pemerintahlah yang lebih dulu membuktikan bisa membuat inflasi rendah. Ini berarti pemerintah terbukti bisa menjaga harga-harga tidak naik. Setelah itu terbukti, dunia perbankan harus menurunkan bunga. Kalau bandel, barulah dipaksa.
Kali ini rupanya hukum itu akan dibalik: suku bunga dulu yang harus rendah. Nantilah. Inflasi akan ikut rendah.
Tentu ini bukan tontonan. Tapi, cerita yang dibalikkan itu menarik untuk disaksikan. Dengan berdebar. Menanti akhir dari cerita itu.
Skenario 1: Bunga turun, ekonomi bergairah, produksi naik, infrastruktur beres, logistik efisien, dan seterusnya. Inflasi pun akan rendah. Bunga rendah pun bisa terus dipertahankan. Bahkan dibuat lebih rendah lagi.
Itu skenario happy ending. Meski awalnya berdebar, akhirnya membuat penonton tersenyum. Bahagia.
Skenario 2: Bunga rendah, ekonomi bergairah. Tapi, produksi tidak naik. Infrastruktur tidak oke. Jalan macet, listrik mati-mati, pelabuhan ruwet, birokrasi lambat. Akibatnya, harga-harga naik. Inflasi tinggi.
Kalau skenario 2 ini yang terjadi, itulah skenario tragic ending. Dalam waktu dua tahun dunia perbankan sesak napas. Termehek-mehek. Tidak kuat lagi. Ekonomi runtuh secara mendasar. Perbankan, yang semula dipaksa ibarat dokter yang harus menyembuhkan pasien, justru dia sendiri yang sakit.
Dunia perbankan sudah berhasil takluk. Ditaklukkan. Masa depan perbankan sepenuhnya menunggu kinerja ekonomi pemerintah.
Kalau pemerintah berhasil menjaga inflasi maksimum 3,5 persen, dunia perbankan selamat. Kalau sebaliknya, dunia perbankan wasalam.
Mampukah pemerintah menciptakan inflasi maksimum 3,5 persen? Bisakah pemerintah meningkatkan produksi di segala bidang? Lalu mengendalikan harga-harga? Dalam waktu yang panjang?
Seharusnya bisa. Terutama karena ini: harga minyak mentah dunia turun begitu rendahnya. Tapi, kenaikan harga-harga beras, daging, cabai, dan sejenisnya membuktikan hal yang sebaliknya.
Sungguh berat tugas pemerintah saat ini. Meningkatkan produksi bukanlah masalah sepele. Peningkatan produksi tidak sama dengan ”citra meningkatnya produksi”. Yang satu berada di dunia nyata. Yang satunya di dunia fatamorgana.
Pidato, ancaman, gertakan, dan hukuman tidak berpengaruh langsung ke peningkatan produksi. Baik produksi pertanian, lebih-lebih lagi produksi industri.
Kalau produksi bisa meningkat, pasar dalam negeri penuh dengan barang produksi sendiri. Lalu bisa ekspor. Dampaknya pada penguatan ekonomi luar biasa.
Saya menyambut gembira datangnya rezim suku bunga murah. Meskipun melalui pemaksaan. Saya bangga dengan skenario 1. Tapi, saya juga menyiapkan napas cadangan untuk jaga-jaga terhadap skenario 2. (*)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Medan Cahaya di Lokasi Medan Perang
Redaktur : Tim Redaksi