JAKARTA - Pengembang mengharapkan agar Kementerian Perumahan Rakyat (Kemenpera) segera menggulirkan Perjanjian Kerjasama Operasi (PKO) program bunga KPR subsidi atau fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan (FLPP). Desakan ini tidak lepas dari dampak terhentinya FLPP akibat kisruh soal bunga kredit antara bank penyalur dengan pemerintah.
"Sebagai pengusaha kita tidak cengeng. Kita dukung segala upaya dalam mencapai titik temu bunga FLPP. Kita tidak bisa intervensi juga, kepada BTN (Bank Tabungan Negara) atau bank lain untuk ikutan (FLPP). Mereka pasti ada hitungannya," kata Ketua Umum DPP Real Estate Indonesia (REI) Setyo Maharso, di Jakarta, akhir pekan lalu.
Menurut Setyo, dampak masif yang dapat terjadi adalah tertundanya masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) dalam memiliki rumah. Pasalnya, belum ada payung hukum baru, terkait FLPP 2012.
Dia juga memperhatikan pengembang yang ada di daerah, karena tidak bisa menjalankan usahanya. Pengembang kecil menengah sangat tergantung pada cashflow. Hingga saat kredit program macet, berpengaruh kepada kinerja perusahaan.
"Masyarakat saat ini wait and see. Akan jalan lagi atau tidak? Padahal kondisinya masyarakat sudah butuh rumah. Kan kasian," ujarnya.
Pengembang pun, kata Setyo, dapat dengan mudah mengubah rumah mereka dari skema FLPP ke konvensional agar dapat terserap pasar. "Pengusaha kan nggak mau rugi, kalau nggak jalan (rumah skema FLPP) yang kita ngga bangun. Kita create produk Rp 100 juta," katanya.
Setyo juga memahami pemikiran Djan Faridz, Menteri Perumahan Rakyat (Menpera) baru. Sebagai pengusaha, dia memiliki hitungan dengan BI rate mengalami tren penurunan, harusnya suku bunga KPR juga mengikuti.
"Beliau kan dari pengusaha. Pikirnya bunga turun. Jadi kalau nggak mau bunga 5 persen, ya udah nggak usaha ikutan (bank pembayar, termasuk BTN," ujar Setyo.
Baginya, kisruh KPR FLPP dapat terselesaikan dengan komunikasi yang intensif. "Harus duduk bareng. Kan ada asosiasi perbankan BUMN, Himbara. Temukan solusinya seperti apa," kata Setyo.
Dilanjutkan Setyo, permasalahan perumahan sebetulnya bukan pada suku bunga dan angsuran. Karena, perbedaan tipis selisih Rp 50-60 ribu pada angsuran masih bisa ditolerir oleh masyarakat. "Sebetulnya MBR terkendala angsuran uang muka. Uang muka ini yang harusnya dibahas bagaimana jalan keluarnya oleh perbankan dan pemerintah," ujarnya.
Selain itu, tambah Setyo, adanya perpanjangan masa tenor kredit yang paling tidak bisa mencapai 25 tahun. Karena, rata-rata usia konsumen MBR masih berkisar diusia 30 an.
Dengan panjangnya masa tenor ini, konsumen diberi kebebasan untuk memilik sesuai kemampuan. Dengan demikian, segmen pasar akan semakin lebar. (vit)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Ribuan Gandum Australia Tak Kantongi Uji Lab
Redaktur : Tim Redaksi