Hanya sepekan sebelum merayakan ulang tahunnya yang ke-18, Yvone memasukkan surat lamaran untuk bekerja di restoran makanan cepat saji di dekat rumahnya.

Orangtua Yvone tidak menyuruhnya melakukan itu, namun dalam setahun terakhir dia melihat bagaimana orangtuanya kewalahan dengan ongkos biaya hidup yang terus meroket di Australia.

BACA JUGA: Dunia Hari Ini: Setidaknya 300 Imigran Hilang Saat Menuju ke Spanyol

Kadang mereka kehabisan roti dan susu saat ayahnya belum gajian.

Jelas sekali penghasilan tambahan akan membantu keluarganya.

BACA JUGA: Pria Israel Minta Diizinkan Menggunakan Sperma Anaknya yang Sudah Meninggal Supaya Punya Cucu

Jadi pada hari Selasa sore yang mendung itu, setelah menyelesaikan latihan soal menjelang ujian dan menyuapi adiknya yang kecil, Yvone mengambil jaket, menyamber ranselnya, sebelum menyeberang jalan untuk naik bus nomor 167 ke Tarneit Central, sekitar 28 kilometer dari pusat kota Melbourne.

Sebagai anak tertua dari enam bersaudara, Yvone mengatakan dia merasa memiliki tanggung jawab lebih besar untuk membantu orang tuanya.

BACA JUGA: Rijksmuseum Belanda Kembalikan Benda Budaya Jarahan ke Sri Lanka dan Indonesia

"Semua harga naik, saya bisa melihat kesulitan yang mereka alami, hanya untuk membeli barang seperti makanan, juga sewa rumah, tagihan listrik, semuanya.

"Saya tidak mau menjadi beban juga. Saya ingin menolong sebisa mungkin."

Dan para remaja lain juga merasakan hal yang sama.Remaja menanggung sebagian beban

Selama setahun terakhir, guru, konselor dan pengacara hukum yang bekerja di berbagai sekolah di Melbourne mengatakan mereka melihat peningkatan tajam jumlah murid sekolah yang juga bekerja.

Banyak di antaranya yang kemudian membolos, bahkan kadang seharian, untuk bekerja demi menghasilkan pendapatan tambahan membantu orangtua mereka.

Abbi Chamberlain, konselor sekolah di  The Grange P-12 College di Tarneit mengatakan kadang melihat murid sekolah datang dengan keadaan lelah karena mereka bekerja sampai larut malam sebelumnya, dan bahkan tak jarang melewatkan jam-jam awal pelajaran.

"Mereka yang sebenarnya sudah mengalami stres untuk mendapat nilai baik dan menyelesaikan VCE (ijazah SMA), sekarang ada tekanan tambahan untuk bekerja dan membantu untuk mengurangi beban orangtua," katanya.

"Kami melihat semakin banyak anak-anak yang mengatakan betapa sulitnya keadaan ekonomi di rumah mereka."

Mereka mendatangi guru untuk bertanya mengenai apa yang harus mereka lakukan.

Mereka meminta masukan tentang ke mana mereka harus mencari kerja.

Murid-murid yang mengunjungi kantor Abbi Chamberlain karena memerlukan makanan juga meningkat.

Abbi mengatakan kepada murid-murid bahwa makanan di kantornya akan dibuang, padahal tidak, supaya murid-murid tidak merasa malu untuk meminta bantuan.

"Dana kesejahteraan dari sekolah semakin banyak digunakan untuk membantu mereka," kata Abbi.

"Kami ingin bisa membantu dan mendukung seluruh siswa dan sebagian besar anggaran kami dihabiskan untuk pembelian dari Coles (nama supermarket), sehingga kami memiliki persediaan makanan."

Dan dia melihat situasinya semakin memburuk.

"Semakin lama kenaikan biaya hidup itu berlangsung, semakin banyak siswa yang harus mencari kerja untuk membantu orangtua mereka. Dan semakin besar juga dampaknya," katanya.

"Ini tidak lagi sekadar bekerja di hari Sabtu sore, satu minggu sekali, tapi bisa jadi setiap hari sepulang sekolah."Mengorbankan pendidikan untuk mencari uang

Ashleigh Newnham, direktur advokasi dan pengembangan di Jasa Layanan Hukum South-East Monash Legal Service, mengatakan pada dasarnya bukanlah hal yang buruk bahwa semakin banyak remaja yang bekerja sambil sekolah.

Hal yang mengkhawatirkan katanya adalah jumlah siswa yang mengorbankan pendidikan mereka karenanya.

"Mereka bekerja khususnya untuk menambah penghasilan keluarga, bukan untuk menabung biaya universitas atau membeli mobil untuk mereka sendiri," katanya.

Baru-baru ini ketika mengunjungi sebuah sekolah di Melbourne untuk mengajari siswa mengenai aturan hukum di tempat kerja, Newnham mendengar murid sekolah yang bercerita mengenai berapa banyak pelajaran di mana dia bolos agar dia bisa bekerja.

"Cara mereka mengatakan bahwa ini adalah hal yang normal sangat mengejutkan. Semua tampaknya setuju bahwa ini adalah hal yang normal dilakukan sekarang," katanya.

"Semua di dalam kelas tidak merasa terkejut."

Beberapa cerita dari murid-murid juga menyedihkan menurut Newnham, seperti seorang remaja putri yang meminta pusat bantuan hukum untuk membantu menulis surat lamaran.

Dia baru berusia 13 tahun.

"Remaja tersebut mengatakan sudah mendengarkan keluhan dari ibunya, orangtua tunggal yang khawatir akan kehilangan tempat tinggal," kata Newnham.

"Remaja berusia 13 tahun ini datang ke kami karena dia ingin kami membantunya menulis surat lamaran dan mendapatkan pekerjaan tanpa sepengetahuan ibunya."

Namun Ashleigh Newnham tidak membantu karena usia 13 tahun masih dianggap di bawah umur untuk bisa bekerja resmi di negara bagian Victoria.

Frankie Lai yang bekerja di Pusat Hukum Komunitas WestJustice juga menyampaikan kekhawatiran yang sama seperti Newnham.

"Pendapatan mereka bukan digunakan sebagai uang saku untuk kegiatan mereka sendiri," katanya.

Data dari Biro Statistik Australia memang menunjukkan semakin banyaknya anak-anak muda di Australia yang bekerja.

Porsi mereka yang berusia antara 15 sampai 17 tahun yang bekerja saat ini merupakan angka tertinggi sejak tahun 1992.

Antara bulan Mei 2019 sampai Mei 2023, jumlah remaja berusia 15 sampai 17 tahun yang bekerja selama 24 sampai 30 jam naik dua kali lipat.

Ketika fenomena ini bisa dilihat sebagai akibat meningkatnya biaya hidup di Australia, ekonom senior dari ANZ Bank Adelaide Timbrell mengatakan ini juga bisa menunjukkan kurangnya tenaga kerja di Australia saat ini.

"Yang juga berubah adalah bahwa tingkat pengangguran lebih rendah, jadi remaja yang ingin bekerja saat ini besar kemungkinan akan mendapatkannya," kata Timbrell.

Artikel ini diproduksi oleh Sastra Wijaya dari ABC News.

BACA ARTIKEL LAINNYA... Menko Airlangga Harap Kerja Sama Indonesia-Australia Bisa Optimal

Berita Terkait