Sembahyang Rebutan

Oleh: Dahlan Iskan

Sabtu, 24 Agustus 2024 – 08:17 WIB
Dahlan Iskan. Foto/ilustrasi: Ricardo/JPNN.com

jpnn.com - SENAM itu sudah ditunda setengah jam. Belum juga memenuhi kuorum. Perusuh Disway Pontianak belum ada yang datang, padahal tanpa mereka kurang seru.

Senam pun dimulai. Kebetulan hujan yang turun sejak sebelum subuh baru saja reda. Lebih 100 karyawan BPN Kalbar juga sudah tiba --dipimpin langsung Kepala BPN-nya, Dr Andi Tenri Abeng. Merekalah penyelenggara senam itu: untuk merayakan hari kemerdekaan.

BACA JUGA: Akal-akalan

Tidak akan saya ceritakan peristiwa malam sebelumnya. Saat pesta durian. Ini memang belum musim durian di Pontianak, tetapi raja durian tidak hanya tumbuh di sekitar Pontianak.

Masih ada durian raja diraja di Kalbar. Dia tumbuh di perbatasan dengan Serawak. Namanya: Durian Balai Karangan. Lebih hebat dari raja mana pun.

BACA JUGA: Anti-Gempa

Selesai senam saya bergegas ke bandara. Ini musim padat penumpang. Banyak orang Tionghoa asal Pontianak pulang kampung.

"Ini kan hari raya Cingbing. Banyak orang ke makam,” ujar sahabat Disway di Pontianak. Dia orang Melayu. Tidak begitu paham budaya Tionghoa.

BACA JUGA: Akselerasi Yasonna

"Ini ramai bukan karena Cingbing," kata saya.

"Cingbing," tukasnya sok tahu.

"Ini hari raya Rebutan," kata saya.

Tentu saya tahu itu. Tiap tahun saya diundang sembahyang hari raya Rebutan. Hari itu pun saya buru-buru ke bandara terkait dengan hari raya Rebutan. Kali ini saya sudah menyanggupi untuk hadir.

Kali ini saya harus hadir. Sudah sejak 17 tahun lalu saya selalu diundang. Selalu saja absen. Pernah diwakili oleh istri. Kali ini akan hadir sendiri.

Kenapa saya selalu diundang?

Salah satu arwah yang didoakan di hari raya Rebutan di vihara ini memang ada hubungannya dengan saya. Yakni arwah almarhum yang hatinya, saat ini, berada di dalam tubuh saya.

Saya sendiri tidak tahu namanya. Juga tidak tahu asal usulnya. Saya hanya tahu ia orang Tianjin. Umurnya, saat meninggal, 20 tahun.

Begitu meninggal, hati anak muda itu diambil. Dilarikan ke rumah sakit.

Saya berada di salah satu kamar RS itu. Di lantai 11. Saya cepat-cepat dimasukkan kamar operasi.

Hati saya yang sudah penuh kanker diambil. Dikeluarkan.

Hati anak muda yang masih sangat muda itu dimasukkan ke dada saya. Hati anak muda itu menggantikan hati lama saya yang terkena kanker hati.

Itu 17 tahun yang lalu.

Begitu saya masuk ruang operasi, puluhan umat Buddha di Surabaya berkumpul di vihara Kenjeran. Mereka menyalakan lilin. Berdoa. Selama delapan jam. Sampai operasi ganti hati selesai.

Sejak itu arwah si anak muda selalu dimasukkan dalam daftar arwah yang didoakan di Vihara Sanggar Agung tersebut.

Di hari raya Rebutan itu ratusan orang berkumpul di Sanggar Agung. Juga di kelenteng-kelenteng. Itulah hari ketika para setan dilepaskan dari belenggu. Mereka akan mengganggu arwah siapa pun.

Vihara Sanggar Agung dibangun di pinggir pantai Kenjeran. Yang membangunnya adalah sahabat baik saya: Soetijadi Yudo.

Dia pengusaha besar. Awalnya hanya jualan permen. Keliling kampung-kampung. Lalu punya pabrik permen. Berkembang terus ke usaha-usaha lainnya.

Malam itu bulan hampir purnama. Saat sembahyang akan dimulai bulan bulat muncul dari permukaan laut dengan menornya.

Di atas altar tiga banthe (ulama Buddha) memimpin sembahyang. Mereka membaca kitab suci.

Nama-nama arwah yang didoakan ditulis dan dipajang di empat meja. Dua meja di kanan. Dua di kiri. Salah satu tulisan itu berbunyi: arwah donor hati Dahlan Iskan.

Sebelum sembahyang dimulai saya mendekat ke meja itu. Saya angkat kertas itu. Saya doakan dengan cara saya. Lalu saya letakkan kembali.

Di halaman depan vihara sudah dipajang kapal kertas. Layarnya juga terbuat dari kertas. Kapal itu dibuat sejak 10 hari sebelumnya. Perlu waktu 10 hari karena kapalnya memang besar.

Sembahyang selesai. Semua nama yang dipajang di atas meja diangkut ke kapal. Dimasukkan ke geladak kapal.

Saya diminta memulai prosesi ini.

Saya ambil kertas arwah donor hati saya dari meja sembahyangan.

Saya bawa ke kapal.

Saya masukkan ke kapal.

Mereka pun mengikuti apa yang saya lakukan.

Setelah semua kertas arwah memenuhi kapal saya diminta menyulutkan api. Di susul para banthe. Juga tokoh-tokoh vihara.

Api pun menjulang tinggi. Kapal terbakar. Itu pertanda semua arwah sudah dilayarkan ke langit. Kapal pun habis terbakar.

Ritual terakhir: semua berjalan mengelilingi abu kapal itu. Seperti tawaf, tetapi hanya tiga kali. Sambil menyiprat-nyipratkan air.

Mengapa disebut hari raya Rebutan?

Di hari raya ini disajikan banyak sekali makanan dan buah-buahan. Setan pun lupa menganggu arwah almarhum. Mereka sibuk rebutan makanan yang tersedia di vihara.

Jangan bertanya apakah itu masuk akal. Saya setuju dengan Kumaila dari Forbidden Question: agama hanya masuk akal bagi pemeluknya.(*)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Gempa MK


Redaktur : M. Fathra Nazrul Islam
Reporter : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler