jpnn.com - Presiden Joko Widodo suka memakai kutipan dan metafora bahasa Jawa dalam berbagai kesempatan.
Dalam hal pencalonan presiden pada kontestasi 2024, dia mempopulerkan frasa ‘’Ojo Kesusu’’.
BACA JUGA: Erick Thohir Menteri Kesayangan Jokowi dan Bisa jadi Cawapres
Kali ini, dalam kesempatan memberi sambutan pada acara ulang tahun ke-58 Partai Golkar, Jumat (21/10), Jokowi memakai frasa ‘’Ojo Sembrono’’ untuk mengingatkan supaya berhati-hati dalam memilih calon presiden.
Sembrono adalah kosa kata bahasa Jawa.
BACA JUGA: Ganjar Tidak Bersalah soal Siap Jadi Capres, tetapi Kena Sanksi Teguran Lisan
Menurut Kamus Besar Baahasa Indonesia (KBBI), artinya kurang hati-hati, gegabah, dan ceroboh.
Seseorang disebut sembrono kalau melakukan sesuatu tanpa pertimbangan yang matang, dan tidak cermat dalam pilihannya.
BACA JUGA: Jokowi Tak Sambut Pelukan Surya Paloh, Hasto PDIP: Publik Tahu Kok
Jokowi menyampaikan hal itu di hadapan hampir seluruh pimpinan perwakilan partai politik di Indonesia.
Pernyataan itu dimaksudkan sebagai peringatan terhadap Golkar.
Akan tetapi, banyak juga yang menafsirkannya sebagai sindiran terhadap partai yang sudah terlebih dahulu mendeklarasikan calon presiden untuk Pilpres 2024.
Sampai sejauh ini baru Partai Gerindra dan Partai Nasdem yang sudah mendeklarasikan calon presidennya.
Gerindra mengusung Prabowo Subianto dan Nasdem mengusung Anies Baswedan.
Lantas, siapa yang oleh Jokowi disindir sembrono dalam memilih calon presiden? Partai Gerindra tidak merasa tersindir, dan Partai Nasdem pun tidak merasa tersindir.
Banyak yang menafsirkan bahwa Jokowi sebenarnya menyindir Partai Nasdem.
Akan tetapi, Surya Paloh sebagai supremo Nasdem tidak merasa tersindir.
Menurut Paloh, Nasdem memilih Anies Baswedan sebagai calon presiden dengan pertimbangan dan pemikiran yang cermat, sehingga bisa dipastikan bahwa pilihan itu tidak sembrono.
Gerindra juga demikian. Ketua Harian Partai Gerindra Sufmi Dasco Ahmad mengatakan bahwa partainya memilih sang Ketua Umum Prabowo Subianto sebagai calon presiden dengan pertimbangan yang matang, sehingga jauh dari kemungkinan sembrono.
Gerindra, kata Sufmi, memperhatikan berbagai survei dan aspirasi akar rumput sebelum memutuskan untuk mengusung Prabowo Subianto sebagai calon presiden.
Kalau hanya ada ‘’dua terdakwa’’ tetapi dua-duanya tidak mengaku, siapa sebenarnya sasaran Jokowi?
Banyak yang mengira Nasdem yang menjadi sasaran utama.
Prabowo sudah dicalonkan, tetapi dianggap tidak menjadi ancaman bagi Jokowi, karena Prabowo ialah bagian dari inner circle pemerintahan Jokowi.
Banyak yang bahkan menduga Jokowi akan merestui Prabowo maju sebagai calon presiden.
Beda dengan Nasdem yang mencalonkan Anies Baswedan.
Selama ini Anies dipersepsikan sebagai orang di luar circle kekuasaan, meskipun sebenarnya Anies berada di dalam bagian dari kekuasaan.
Sebagai gubernur DKI Jakarta secara struktural Anies ialah bawahan presiden. Akan tetapi, persepsi politik sudah telanjur terbangun bahwa Anies bukan orang dalam lingkaran Presiden Jokowi.
Politikus Nasdem Zulfan Lindan memanaskan keadaan dengan menyebut Anies sebagai antitesis Jokowi.
Keadaan menjadi makin runyam karena Hasto Kristiyanto menganggap hal ini sebagai masalah serius dan secara implisit mendesak Presiden Jokowi supaya mengeluarkan Nasdem dari koalisi.
Serangan terhadap Nasdem bergelombang. Yang paling kencang datang dari PDIP sebagai the ruling party.
Partai lain yang menjadi anggota koalisi partai pendukung pemerintah, tidak ada yang berani terang-terangan mengusir Nasdem dari koalisi.
Nasdem berada pada posisi defensif untuk tetap bertahan di dalam koalisi.
Nasdem mengira ada kekuatan politik yang ingin mengeluarkannya dari koalisi.
Demikian pula, ada kekuatan politik yang ingin menjauhkan Anies Baswedan dari Jokowi.
Nasdem tidak menyebut siapa yang dimaksud.
Partai Gerindra cepat bereaksi dengan mengatakan bahwa bukan Gerindra yang ingin menjauhkan Anies dari Jokowi.
Surya Paloh berada pada posisi terjepit.
Dia bertekad akan tetap bertahan dengan pilihannya terhadap Anies Baswedan, tetapi di sisi lain dia berusaha keras supaya Nasdem tetap berada dalam koalisi sampai 2024.
Paloh berkali-kali menegaskan bahwa Nasdem tetap akan mengawal pasangan Jokowi-Ma’ruf sampai tuntas masa bakti di 2024.
Hubungan Surya Paloh dengan Jokowi menjadi sorotan.
Sebuah gesture kecil pun bisa menjadi rumor politik besar.
Dalam acara ulang tahun Golkar itu terlihat Jokowi dan Surya Paloh saling bersalaman, tetapi tidak berpelukan.
Ada yang mengatakan bahwa Paloh berusaha memeluk, tetapi Jokowi menghindar.
Gesture kecil ini menunjukkan perubahan hubungan Jokowi-Surya Paloh.
Bukan sekali ini saja Jokowi membuat gesture politik seperti itu.
Pada upacara peringatan hari ulang tahun TNI 5 Oktober yang lalu, Jokowi terlihat tidak menyalami Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo.
Hal ini menimbulkan berbagai spekulasi politik.
Sampai sejauh ini spekulasi tidak ada yang terbukti.
Deklarasi Anies sebagai calon presiden membawa efek besar.
Pencalonan ini seolah-olah menempatkan partai lain dalam posisi fait accompli.
Golkar sudah punya koalisi KIB (Koalisi Indonesia Bersatu) bersama PAN (Partai Amanat Nasional) dan PPP (Partai Persatuan Pembangunan), tetapi belum memunculkan nama calon presiden.
Dalam kesempatan memberi sambutan ulang tahun, Jokowi menyindir KIB yang disebutnya sudah sering berpelukan di antara para pemimpin partainya, tetapi belum juga mengumumkan calon presiden.
Di satu sisi Jokowi bilang jangan sembrono, tetapi di sisi lain Jokowi mendesak supaya KIB segera mengumumkan calon presidennya.
KIB berada di posisi fait accompli yang sulit.
Di antara 3 ketua umum partai KIB, hanya Airlangga Hartarto yang secara terbuka menyatakan keinginannya menjadi calon presiden.
Akan tetapi, elektabilitas Airlangga yang masih tidak beranjak dari satu koma, tidak memungkinkannya menjadi calon presiden.
Paling mungkin adalah Airlangga menjadi calon wakil presiden, dan calon presiden diambil dari luar koalisi.
Banyak yang menyebut bahwa KIB dipersiapkan untuk menjadi kendaraan politik cadangan bagi Ganjar Pranowo.
Akan tetapi, sampai sekarang situasi bukan semakin terang malah makin berkabut.
Ganjar Pranowo mencoba melepas kartu dengan menyatakan siap menjadi calon presiden.
Alih-alih mendapat sambutan positif dari PDIP, Ganjar malah terancam kena peringatan.
PDIP juga masih tidak bergerak untuk memutuskan sikap.
Sampai sekarang PDIP masih berharap mencalonkan Puan Maharani.
Akan tetapi, elektabilitas Puan yang mentok di bawah tidak memungkinkan PDIP sembrono mencalonkannya sebagai calon presiden.
PDIP mengatakan tidak akan grusah-grusuh, atau tergesa-gesa, untuk memilih calon presiden.
PDIP terlihat ingin ‘’buying time’’ membeli waktu, sambil melihat perkembangan elektabilitas Puan Maharani.
Race against the time. Semua berkejaran dengan waktu. Dan sampai sekarang, yang terlihat terus berlari ialah Anies Baswedan, dan hal ini bisa jadi membuat risau banyak pesaing politiknya.
Banyak manuver dilakukan untuk mengerem langkah Anies. Bila perlu Anies harus dijegal untuk menghentikannya. (**)
Simak! Video Pilihan Redaksi:
Redaktur : M. Kusdharmadi
Reporter : Cak Abror