jpnn.com - AWALNYA berita kecil: Bupati Kediri ngamuk-ngamuk. Bulan lalu. Yakni saat meninjau proyek pasar di sana.
Anggaran proyek itu dari Kementerian Perdagangan.
BACA JUGA: Dari Li ke Li
Sang Bupati, Hanindhito Himawan Pramana, mendadak ke proyek pasar itu.
Dia sepak bahan untuk plafon pasar. Berantakan.
BACA JUGA: Ginjal Duoria
Dia pun marah-marah. Salah satu kalimatnya menyebut Semen Padang.
Dia katakan itu semen dengan kualitas terendah. Tidak kuat.
BACA JUGA: Kerelaan Anda
Belakangan Mas Dhito, panggilan akrabnya, minta maaf kepada Semen Padang. Dia tidak punya maksud merendahkan Semen Padang.
Selesai. Semen Padang juga memaafkan anak Pramono Anung itu.
"Semen Padang itu sudah dipakai di Surabaya sejak 1914," ujar Khairul Jasmi, komisaris perusahaan itu kepada saya.
Tentu Mas Dhito tidak tahu. Dia belum lahir saat itu. Saya juga baru tahu begitu panjang sejarah Semen Padang di Surabaya.
Jasmin lantas mengirimkan ke saya kopian dokumen kuno pengiriman semen itu. Tahunnya 1914. Menarik sekali.
Semen itu dikirim dari Padang ke pelabuhan Batavia, Cheribon enTegal, Semarang, Soerabaja, Bandjarmasin, Samarinda, Boeleleng, Makassar, Manado, Gorontalo, Ternate, Ambon.
Semua kota itu kita tahu di mana letaknya. Namun, di dokumen kuno itu disebut beberapa kota tujuan yang saya tidak tahu lokasinya di mana saat ini: Toboali, Soengai Slan, Ko-ba, Batoe Roesa, Merawang, Soengai Liat, Blinjoe, Muntok, dan Kroe.
Dalam dokumen pengiriman semen itu terlihat juga tujuan lain: Penang dan Singapura. Tentu keduanya saat itu belum disebut luar negeri.
Semen Padang kini memang lagi mengumpulkan dokumen lama terkait sejarah masa lalunya. Kebetulan ada orang Padang yang lagi top di Belanda: Dr Suryadi MA.
Maka Suryadi kini menyisihkan waktunya untuk membongkar arsip-arsip lama di Leiden dan Amsterdam. Dia dapat banyak sekali. Kalau dokumen itu dijajarkan panjangnya bisa 10 km.
Semen Padang adalah pabrik semen tertua di Indonesia. Bahkan, mungkin, di Asia Tenggara.
Pabrik itu didirikan pada 1910. Swasta.
Dr Suryadi bisa mendapatkan arsip akta pendirian perusahaan itu. Kopiannya dikirim ke saya kemarin.
Suryadi anak petani di nagari Sunur, Pariaman. Sunur itu tetangga Ulakan, pusat tarekat Syatariyah di Sumbar. Saya pernah ke makam Syeh Burhanuddin di Ulakan.
Setamat SMA di Pariaman, Suryadi kuliah di Universitas Andalas, Padang.
Dia pilih jurusan sastra daerah. Dia pun tertarik pada lowongan pekerjaan menjadi dosen di Universitas Leiden, Belanda.
Dia melamar. Diterima.
Kini Suryadi sudah 20 tahun di Belanda. Sambil mengajar, dia terus kuliah. Kini sudah doktor. Disertasinya sudah diterbitkan oleh penerbit Malaysia. Yakni, Institute of Ethnic Studies, Universiti Kebangsaan Malaysia, 2020. Judul buku itu: Audible Locality.
Bahwa namanya hanya satu kata, Suryadi, dan mirip nama orang Jawa, itu terkait pemberontakan PRRI di Sumbar. Anak-anak yang lahir di zaman itu banyak diberi nama Jawa. Untuk keselamatan masa depan. Agar tidak dikait-kaitkan dengan pemberontakan.
Dari dokumen yang dia temukan, Semen Padang itu, dimiliki oleh sepuluh orang pemegang saham. Semuanya orang Amsterdam, kecuali satu orang yang tinggal di Padang.
Dari sembilan orang Amsterdam itu salah satunya pengusaha besar di bidang perdagangan. Nama perusahaannya: Firma Gebroeders Veth.
Perusahaan ini punya dua cabang di Timur Jauh, yakni di Padang dan Makassar.
Gebroeders Veth dimiliki tiga bersaudara, memegang 325 lembar saham.
Ada dua orang yang sahamnya sama dengan Gebroeders, tetapi ada satu orang lagi yang paling besar: 400 lembar saham. Orang Amsterdam.
Namanya: Engelbertus van Essen. Dia seorang pialang saham di Belanda dan Eropa.
Dari sepuluh pemegang saham itu ada satu yang harus diingat: Christopher Lau. Sahamnya 150 lembar. Orang inilah yang menjadi inisiator pendirian pabrik Semen Padang.
Lau seorang insinyur. Tinggalnya di Padang. Lau-lah yang menemukan bahan baku untuk pabrik semen di Indarung, dekat Padang itu.
Insinyur itu lantas menggalang dana di Amsterdam. Ia mencari investor yang berminat. Ia perlu modal besar untuk membangun pabrik semen.
Rupanya Belanda menaruh perhatian besar pada kekayaan alam Sumatera Tengah. Terutama sejak ditemukannya batu bara di Ombilin, Sawahlunto, pada 1880. Itulah tambang batu bara pertama di Indonesia.
Dari 10 orang pemegang saham Semen Padang itu terkumpul modal 1.350.000 gulden. Cukup.
Mesin-mesin didatangkan dari Jerman dan Denmark. Berdirilah perusahaan semen itu: NV NI PCM (Nederlandsch Indische Portland Cement Mastchappij).
Ratu Belanda mengesahkan akta itu pada 1910. Pabriknya sendiri mulai berproduksi tahun 1911, saat belum bisa beroperasi penuh. Menurut catatan sejarah, selama 1911 itu sudah mampu berproduksi: 25.000 vaten per bulan.
Rupanya di zaman itu semen ditaruh di dalam drum. Agar tidak kena air atau embun. Yakni drum berukuran 170 kg.
Melihat sulitnya medan Indarung zaman itu, dan sulitnya angkutan internasional, maka waktu 2 tahun pembangunan pabrik semen tersebut sangat cepat.
Maka proyek-proyek seperti Monas Jakarta, Jembatan Ampera Palembang, dan Sarinah, semennya dari Padang. Masih kokoh sampai sekarang. Mungkin karena tidak ada yang menendang Monas.
Pada 1950-an barulah dibangun pabrik semen kedua di Indonesia: Semen Gresik. Lalu Tonasa. Lalu swasta pertama: Tiga Roda, Cibinong, Bosowa. Lalu pabrik semen asing: Tiongkok. Kecil-kecil tetapi banyak.
Mutu semen itu, kata para kontraktor, hampir sama. Dari pabrik yang mana pun dan merek apa pun. Perbedaan kualitas lebih ditentukan pada tukang di lapangan saat menggunakannya.
Orang Padang tentu sangat bangga dengan sejarah panjang itu. Makanya Jasmin langsung telepon saya ketika nama Semen Padang dianggap terjelek.
Dia tahu yang bicara bupati Kediri, Jatim. Akan tetapi saya juga orang Jatim: harus ikut bertanggung jawab. (*)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Pajak Roket
Redaktur : M. Fathra Nazrul Islam
Reporter : Tim Redaksi