jpnn.com - Erupsi Gunung Semeru pada Sabtu (4/12) menjadi momen yang mengerikan bagi warga Lumajang, Jawa Timur.
Perut gunung menggelegak dengan suara gemuruh, kemudian terdengar ledakan menggelegar, disusul dengan semburan awan hitam pekat bergulung-gulung membubung ke angkasa.
BACA JUGA: Innalillahi, 13 Warga Meninggal Akibat Erupsi Gunung Semeru
Langit hitam pekat. Sebagian wilayah Lumajang menjadi gelap gulita tidak ada cahaya. Orang-orang panik berlarian menyelamatkan diri. Anak-anak lari dan berteriak ketakutan dengan wajah penuh horor. Teriakan kesakitan terdengar dari korban yang tersambar gulungan debu panas.
Kejadian ini mirip gambaran lukisan Edvard Munch ‘’The Scream’’ yang dibuat pada 1893. Sampai sekarang karya itu dianggap sebagai masterpeace lukisan ekspresionis terbaik di dunia. Lukisan itu dianggap sebagai mahakarya seni yang sejajar dengan lukisan Mona Lisa karya Leonardo da Vinci.
BACA JUGA: Erupsi Gunung Semeru, Letjen Suharyanto Kerahkan 3 Helikopter dan Batalyon 527
The Scream menggambarkan suasana horor yang sangat mengerikan. Gambar utama menunjukkan muka seseorang yang berteriak sambil berlari ketakutan. Di belakangannya mengejar gulungan pekat seperti semburan api dan debu dari ledakan yang amat keras.
Lukisan itu merupakan gambaran letusan gunung berapi Krakatau atau Krakatoa yang terjadi pada 26 Agustus 1883. Dalam buku hariannya Munch mengakui bahwa ia terinspirasi dari ledakan Krakatau yang guncangannya terasa sampai ke Australia dan Samudera Hindia yang jaraknya 4.500 kilometer.
BACA JUGA: Doa Raline Shah untuk Korban Erupsi Gunung Semeru
Sampai sekarang tercatat ada 250 kali tsunami vulkanik akibat letusan gunung. Namun, tsunami yang dihasilkan ledakan Krakatau tetap masih tercatat sebagai tsunami paling ganas, dengan ketinggian hampir 100 meter dan menelan korban 35.500 orang, 4.500 di antaranya meninggal karena luka bakar.
Ledakan Krakatau menjadikan atmosfer gelap gulita dan menyebabkan penurunan suhu bumi di seluruh dunia. Ledakan itu menimbulkan berbagai bencana susulan di seluruh dunia terutama karena perubuhan suhu bumi drastis.
Peristiwa ledakan yang jauh lebih dahsyat terjadi sekitar 77.000 tahun yang lalu di wilayah Toba, Sumatera Utara, sekarang. Ledakan Toba disebut sebagai super-erruption dunia yang menyebabkan musim dingin vulkanik selama 10 tahun dan cuaca dingin berlanjut sampai seribu tahun.
Ledakan Toba mengakibatkan penyusutan drastis jumlah populasi dunia termasuk manusia dan berbagai jenis hewan dan binatang melata.
Ledakan Toba dan Krakatau menunjukkan bahwa geografi Indonesia adalah sentral bumi atau ‘’punjer dunia’’. Apa yang terjadi di Indonesia akan membawa perubahan signifikan di seluruh dunia.
Para peneliti sejarah dan para peminat studi pra-sejarah meyakini bahwa Indonesia pernah menjadi pusat peradaban dunia yang dikenal sebagai ‘’Atlantis’’ yang dinyatakan hilang. Studi ilmiah dilakukan oleh Prof. Arysio Santos dari Brasil mengungkap bahwa lokasi ‘’The Lost Atlantic’’ ada di wilayah Indonesia sekarang.
Atlantis digambarkan sebagai pusat peradaban dunia yang sangat maju di berbagai bidang, mulai dari ekonomi, budaya, sampai teknologi. Hikayat Atlantis diungkapkan oleh filosof Yunani, Plato, dan karena itu eksistensinya diyakini ada.
Kisah Atlantis yang hilang dianggap sebagai mitos. Namun, penelitian Prof. Santos mengungkap bukti-bukti ilmiah yang bisa dipertanggungjawabkan. Cerita-cerita mistis menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari legenda masyarakat terutama di Jawa.
Gunung-gunung di wilayah Jawa yang menjadi bagian dari ‘’ring of fires’’ selalu dikaitkan dengan kisah-kisah mistis.
Gunung Semeru atau kerap juga disebut Mahameru menjadi salah satu gunung yang punya kisah mistis kuat dan sangat dikeramatkan oleh sebagian masyarakat Jawa.
Banyak beredar cerita asal-usul nama Mahameru yang bersumber dari tradisi lisan maupun tradisi tekstual penganut agama Hindu.
Sebuah kitab kuno ‘’Tantu Pagelaran’’ yang ditulis pada abad ke-15, menceritakan asal-usul Gunung Semeru di Pulau Jawa. Mitos itu menyebut Pulau Jawa sempat terapung dan terombang-ambing tak tentu arah di tengah lautan.
Kepercayaan Hindu menyebutkan, saat itulah Dewa Shiwa memaku Pulau Jawa dengan cara memindahkan Gunung Meru dari India ke Pulau Jawa.
Shiwa yang merupakan dewa tertinggi dalam ajaran Hindu, memindahkan Gunung Mahameru Bharatawarsa India ke Pulau Jawa dengan bantuan Dewa Wisnu yang menjelma sebagai kura-kura raksasa dan Dewa Brahma yang menjelma sebagai ular panjang.
Gunung Meru ini ditancapkan di sisi barat barat Pulau Jawa. Namun, karena berat sebelah, maka sebagian Gunung Meru ditancapkan di sisi timur Pulau Jawa. Gunung di sisi barat Jawa kini diberi nama Gunung Pananggungan, sedangkan yang di sisi timur Jawa bernama Semeru atau Mahameru.
Asal-usul nama Mahameru ini berasal dari bahasa sanskerta “Meru Agung”. Meru berarti pusat dari alam semesta, baik secara fisik maupun spiritual. Sedangkan Agung berarti sangat besar, tidak tertandingi. Dari sinilah kemudian puncak Gunung Semeru diberi nama Mahameru.
Kehadiran Mahameru di timur Jawa melahirkan gunung-gunung lain yang lebih kecil. Beberapa di antaranya Gunung Lawu, Gunung Kelud, Gunung Wilis, Gunung Kawi, Gunung Arjuna dan Gunung Kemukus.
Mungkin karena inilah Gunung Semeru dianggap menjadi gunung yang paling agung. Sejarah dan mitos Gunung Semeru juga menceritakan bahwa gunung ini adalah bapak dari Gunung Agung Bali.
Keyakinan Hindu memercayai bahwa pemindahan Gunung Meru India ke Pulau Jawa juga merupakan pemindahan kayangan para dewa dan nilai-nilai luhur dalam agama Hindu.
Jauh sebelum Gunung Meru dipindahkan ke Jawa masyarakat Hindu percaya bahwa gunung ini merupakan tempat bersemayamnya para dewa.
Setelah Islam masuk ke Jawa pada abad ke-16, kepercayaan Hindu mulai tergeser. Ajaran Islam dalam Al-Qu'ran menyebutkan bahwa gunung-gunung diciptakan sebagai ‘’pasak bumi’’ supaya menjadikan bumi kuat. Konsep ini mirip dengan konsep ‘’paku bumi’’ dalam keyakinan Hindu.
Al-Qur'an juga menyebutkan bahwa gunung-gunung itu tidak statis melainkan bergerak dan bergeser setiap saat. Pandangan ini setidaknya ada kesesuaian dengan mitos Hindu yang meyakini bahwa dewa-dewa bisa menggerakkan dan memindahkan gunung-gunung seperti yang terjadi pada Gunung Mahameru.
Konsep peristiwa alam yang digambarkan dalam Al-Qur'an terbukti mendapatkan pembenaran ilmiah. Bumi memiliki ketebalan sekira 3.750 mil dari inti bumi hingga permukaan bumi. Dari ketebalan tersebut, bagian kerak bumi hanya memiliki ketebalan sekira 1-30 mil.
Dengan struktur ini, maka kerak bumi memiliki kemungkinan besar untuk bergerak yang dapat menimbulkan getaran atau berguncang. Secara ilmiah, untuk mengurangi atau menghambat adanya pergerakan tersebut, maka terjadilah fenomena pelipatan kerak bumi.
Ilmu pengetahuan modern kemudian menemukan bahwa jalur pegunungan yang terbentuk dari fenomena lipatan tersebut berperan penting untuk menjaga stabilitas kerak bumi dari guncangan. Temuan ilmiah ini telah dijelaskan dalam Al-Qur'an sekitar 14 abad lalu.
Para ilmuwan sekuler tidak memercayai Al-Qur'an karena menganggapnya tidak bisa dibuktikan secara positivistis. Namun, bukti-bukti ilmiah yang bermunculan makin mengukuhkan bahwa apa yang diungkap oleh wahyu ternyata berkesesuaian dengan kebenaran ilmiah. (*)
Jangan Lewatkan Video Terbaru:
Redaktur : Adek
Reporter : Cak Abror