Semobil dengan Ahok, Jokowi tidak Intervensi Hukum

Minggu, 26 Februari 2017 – 18:45 WIB
Pengamat politik Universitas Pelita Harapan (UPH) Emrus Sihombing. Foto: dokumen JPNN.Com

jpnn.com - jpnn.com - Presiden Joko Widodo dikabarkan mengajak Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama yang berstatus terdakwa penodaan agama naik mobil RI 1 meninjau sebuah proyek. Kabar ini mendapatkan penilaian beragam.

Pengamat komunikasi politik Universitas Pelita Harapan Emrus Sihombing mengatakan, tentu ada pihak yang berpendapat setuju dan tidak terkait apa yang dilakukan Jokowi dan Ahok tersebut.

BACA JUGA: HDCI Galang Dana Kemanusiaan Rp 110 Juta untuk PMI

Dia menjelaskan, dalam teori komunikasi, setuju atau tidak setujunya seseorang itu tergantung di posisi mana mana dia berada. "Tergantung dari perspektif memandangnya," kata Emrus kepada jpnn.com, Minggu (26/2).

Dia menjelaskan, kalau tidak sedang dalam posisi di pihak Ahok, tentu akan mengatakan itu tidak etis. Kalau di posisi sama dengan kubu Ahok, tentu menyatakan itu tidak salah. "Jadi tergantung cara pandangnya," tegasnya.

BACA JUGA: Djarot Ingin Swasta Pekerjakan Penyandang Disabilitas

Yang pasti, kata dia, seorang terdakwa itu belum tentu bersalah. Sebab, hukum di Indonesia menganut asas praduga tak bersalah.

Selama belum ada putusan hakim, seorang terdakwa belum bisa dikatakan bersalah maupun melanggar etika. "Jadi, sah-sah saja," ungkapnya.

BACA JUGA: PGI: Berita Memberkati Jenazah Umat Muslim Adalah Hoaks

Emrus berpandangan, Jokowi sebagai bapak bangsa merupakan presiden seluruh rakyat Indonesia. Baik rakyat yang tengah menjalani hukuman di dalam penjara maupun di tempat lain.

Setiap warga negara mendapat perlakuan sama. Presiden juga boleh bertemu dengan warganya.

Karenanya dia menilai selama presiden tidak menggunakan untuk kepentingan tertentu maka tidak ada yang salah pertemuan antara Jokowi dan Ahok.
"Kecuali presiden menggunakan wewenang tidak sesuai aturan," katanya.

Dia yakin, di negara demokrasi seperti Indonesia, eksekutif tidak bisa mengintervensi yudikatif.

Karenanya Emrus menegaskan, presiden di negara demokrasi tidak bisa mengintervensi hukum.

Kondisi ini berbeda di negara dengan sistem otoritarianisme, seorang raja bisa menghentikan proses hukum maupun persidangan yang tengah berjalan.

"Kalau di Indonesia tidak bisa. Jadi menurut saya itu tidak masalah," kata direktur eksekutif EmrusCorner, itu. (boy/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Djarot Kaget Banyak Warga Kenakan Kotak-Kotak


Redaktur & Reporter : Boy

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler