jpnn.com, JAKARTA - Pengamat politik Pangi Sarwi Chaniago khawatir pemerintah tetap bersikeras meneruskan Pilkada Serentak 2020, di tengah makin meningkatnya jumlah rakyat yang tumbang karena pandemi Covid-19.
Terlebih lagi, kata Pangi, belum ada tanda-tanda Covid-19 di Indonesia maupun dunia akan berakhir.
BACA JUGA: 505 Korban Banjir Jakarta Terpaksa Mengungsi di Tengah Pandemi, Lihat Kondisi Mereka
Pangi jua setuju dengan pernyataan mantan Wakil Presiden (Wapres) Jusuf Kalla (JK) agar pilkada ditunda sampai antivirus ditemukan.
Bahkan, dia juga mengaku sudah sejak tiga bulan lalu berpendapat sama, meminta pilkada ditunda.
"Jangan sampai kita bunuh diri, celaka semua akibat salah mengkalkulasi atau salah hitung serta salah dalam melangkah," kata Pangi, Senin (21/9) malam.
Menurutnya, ekonomi bisa dipulihkan tetapi ratusan dokter yang meninggal karena pandemi Covid-19 tidak akan kembali lagi.
BACA JUGA: Iwan Fals Setuju Pilkada 2020 Ditunda
"Bahasa kita agak keras memang bahwa pilkada masih bisa ditunda, pemulihan ekonomi masih bisa ditunda, nyawa tidak bisa ditunda kepergiaannya," ujar Pangi.
Menurutnya, sudah banyak cerita di dunia karena pemimpinnya yang tidak tegas, tak punya kalkulasi matang, takabur, tak berani mengambil keputusan cerdas menyelamatkan dan melindungi nyawa rakyatnya.
Pria yang karib disapa Ipang itu menilai wajar World Health Organization (WHO) marah besar melihat negara-negara yang masih egois, memprioritas ekonomi ketimbang menyelamatkan nyawa rakyatnya.
"Sekarang kami sedih negara makin gagap, tak punya arah bagaimana menyelamatkan dan melindungi rakyatnya dari ganasnya pandemi virus carona," kata Ipang.
Dia sepakat demokrasi maupun ekonomi perlu diselamatkan. Namun, ia menegaskan, di atas itu semua nyawa rakyat yang prioritas untuk diselamatkan. "Untuk apa pemulihan ekonomi, untuk apa demokrasi kalau rakyat menjadi tumbal karena klaster pilkada yang makin mengkhawatirkan? Ini namanya mati celaka," ungkap Ipang.
Dia menganggap memang lucu tingkah elite atau pejabat Indonesia. Menurutnya, ketika virus carona kembali merebak, Selandia Baru saja menunda pemilu bahkan level pilpres.
Namun, kata dia, di Indonesia beda lagi lagunya, karena mulai dari Presiden Jokowi, KPU, dan hampir semua parpol, kompak satu suara mengatakan pilkada makin sulit untuk ditunda.
"Itulah mengapa saya mengatakan sebuah lelucon politik, mari kita tertawa bareng supaya elite atau pejabat makin sehat cara berpikirnya, makin waras dalam mengambil keputusan strategis atau penting dan tidak belagu," ujar dia.
Menurutnya lagi, pemilihan kepala desa pun bisa ditunda dengan berbagai alasan, lalu kenapa pilkada tidak. "Apa bedanya pilkada dengan pilkades?" tegasnya.
Menurutnya, kalau alasan pilkada dipaksakan hanya karena kalkulasi pertumbuhan ekonomi, bisa meningkatkan daya beli, belanja pilkada meningkat, sirkulasi uang di tengah masyarakat, ini jelas alasan yang kurang tepat.
"Apakah pilkada dan pemulihan ekonomi harus mempertaruhkan keselamatan jiwa rakyat?" ujarnya.
Selain itu, dia juga menyoroti sebagian elite yang khawatir kalau pilkada ditunda maka kepala daerah sekarang yang rata-rata selesai masa jabatannya Februari 2021 akan dijabat pelaksana tugas.
"Itu artinya akan ada sekitar 240 kepala daerah plt. Lalu, apa betul plt kepala daerah di masa krisis kurang tepat? Dalam hal ini dianggap menguntungkan kemendagri yang menunjuk plt kepala daerah di masa krisis, dan plt tak bisa mengambil keputusan atau kebijakan strategis," paparnya.
Padahal, kata Ipang, solusinya banyak selama memiliki iktikad baik. Misalnya, sementara dipilih DPRD, bisa juga Gubernur ditunjuk presiden sebagai perpanjangan pemerintah daerah. Bisa juga sementara plt bupati/wali kota ditunjuk gubernur.
"Masih banyak pola-pola lainnya. Asal punya iktidak baik, selalu ada jalan dan kemudahan," katanya.
Namun, kata dia menegaskan, jangan sampai menjadikan rakyat sebagai tumbal demokrasi. "Demi menyelamatkan demokrasi, demi elektoral, biar rakyat mati, ini jelas tidak lucu," ungkapnya.
Menurut dia, banyak regulasi maupun aturan main, imbauan agar tidak boleh ada kerumunan, arak-arakan, pengumpulan massa, konser musik, pembatasan jumlah acara tatap muka yang mengumpulkan warga.
"Namun, tetap saja lagi-lagi yang namanya peraturan, regulasi, undang-undang, hanya indah dikata-kata naskah teks, (tetapi) praktiknya, penegakan sanksinya berujung pada kompromi dan nego politik," kata dia.
Buktinya, Ipang menegaskan, banyak calon kepala daerah yang melanggar protokol kesehatan ketika pendaftaran ke KPU. Ada yang beramai-ramai, berkerumunan, tidak lagi mematuhi protokol kesehatan. Pertanyaannya, kata dia, apakah berani mendiskualifikasi calon tersebut.
"Bagaimana kalau nanti yang ditemukan melanggar anak presiden dan menantu presiden yang kebetulan ikut dalam kompetisi elektoral pilkada, apakah berani menindak dan memberikan sanksi?" paparnya.
Belum lagi, lanjut dia, alasan KPU bicara bukan kewenangan institusi mereka dalam soal menertibkan. Bahkan, menganggap bukan masuk wilayah pekerjaan mereka karena dibatasi undang-undang dan macam-macam alasan lainnya.
Dia mengingatkan sudah banyak suara intitusi, pakar dan tokoh yang meminta pilkada ditunda. Mulai dari Komite I DPD, Perludem, PBNU, Muhammadiyah, Komnas HAM, Jusuf Kalla, Gubernur Banten Wahidin, analis politik, dan masih banyak lagi yang menyusul meminta pilkada ditunda saja.
"Pilkada ditunda bukanlah aib, justru ini pekerjaan yang mulia, menyelamatkan kesehatan dan jiwa masyarakat. Ini memang bukan pilihan yang mudah. Kami khawatir pilkada yang berujung pada bencana, pilkada kali ini tidak terlalu diharapkan rakyat," ungkapnya.
Menurut dia, kalau tetap dipaksakan diteruskan di tengah pandemi, maka ini bukanlah pilkada yang mudah.
"Kondisi yang tidak normal, kuat-kuatan soal daya tahan tubuh, kuat-kuatan logistik untuk berpikir melakukan beli suara rakyat (vote buying) atau main di ujung untuk serangan fajar," paparnya.
Belum lagi, lanjut Ipang, kampanye digital atau daring juga tidaklah mudah karena tak meratanya sinyal di daerah sehingga pilkada ini tak akan berkualitas.
"Calon kepala daerah tidak maksimal menyampaikan program, visi dan misi kepada masyarakat karena terbatasnya ruang gerak untuk menyapa dan menyalami masyarakat," ujarnya.
Karena itu, kata dia, negara akan beribawa dan berkelas apabila menyelamatkan dan melindungi nyawa rakyat menjadi skala prioritas kelas wahid. "Pemulihan ekonomi bisa ditunda, pilkada bisa ditunda, tetapi nyawa rakyat tak bisa ditunda. Semoga," kata direktur eksekutif Voxpol Center Research and Consulting, itu. (boy/jpnn)
Jangan Sampai Ketinggalan Video Pilihan Redaksi ini:
Redaktur & Reporter : Boy