JAKARTA – Kepala Seksi Litigasi dan Pertimbangan Hukum Direktorat Merek, Muhammad Fauzi yang didampingi staf ahli HKI, Ahmad Rifadi, menegaskan Ditjen HKI tak boleh menolak semua usulan permohonan merek dagang. Semua dilakukan sesuai prosedurnya. Itu berlaku juga pada permohonan merek dagang Wen Ken Drug.
“Sesuai UU No.51 Tahun 2001 tentang Merek ditegaskan Ditjen HKI tak boleh menolak permohonan. Semua dilakukan sesuai prosedurnya,” papar Muhammad Fauzi.
Sedangkan Ahmad Rifadi menambahkan prosedur permohonan itu sesuai tahapan. Masa yang dibutuhkan sekitar 14 bulan 10 hari. Itu jika tidak ada berbagai persoalan dalam administrasi dan lainnya.
Menurut pakar hukum HKI Universitas Al Azhar Indonesia, Suparji Achmad, prosedur yang dilakukan Ditjen HKI itu menjadi contoh tidak berjalannya reformasi birokrasi. Persoalan hukum yang bisa disederhanakan masih ditempuh melalui jalur yang rumit.
“Sekarang ini proses persidangan pun dibikin sedemikian ramping. Agar tidak membuat rumit pihak bersengketa,” papar Suparji Achmad di kampus UAI, Jakarta, Kamiss (14/3).
Menurutnya proses penetapan akhir merek dagang yang diterima atau ditolak tak perlu dilakukan melalui prosedur yang rumit. Apalagi merek yang diusulkan itu sedang bersengketa.
Artinya, sambung dia pada tahap awal saja sudah bisa dilakukan penolakan permohonan. Karena substansi merek dagang yang diajukan sudah digunakan perusahaan lain.
“Kalau dimudahkan, tentu pemohon bisa lebih mudah mengajukan permohonan lain. Kenapa musti tunggu, ada komplain baru dianggap gagal. Ini kan prosedur yang tak lagi sesuai,” imbuhnya.
Dia mengakui Ditjen HKI tak boleh menolak permohonan siapa pun yang mengajukan sertifikasi hak merek. Tetapi berbekal data yang dimiliki, Ditjen HKI bisa lebih awal melakukan penolakan terhadap merek dagang yang diajukan.
Dengan dasar, lanjut dia beberapa item dalam merek dagang yang diusulkan itu telah digunakan perusahaan lain. Hal tersebut lebih membuat pemohon nyaman dan tenang. Sekaligus bisa membuat usulan baru yang lebih cepat.
“Paradigma harus diubah. Bahwa birokrasi itu pelayan masyarakat. Kelemahan sperti ini yang sering terjadi,” ujarnya.
Suparji merasa Ditjen HKI perlu melakukan inovasi terhadap sejumlah aturan. Termasuk dalam pemanfaatkan media internalnya untuk mengumumkan merek dagang yang diajukan pemohon.
Dia merasa publik butuh sarana informasi yang lebih cepat dan tepat untuk melihat berbagai informasi. Termasuk dalam persoalan pengajuan merek dagang yang sering dilakukan Ditjen HKI.
“Kenapa musti terlalu tertutup. Ini era reformasi birokrasi. Tantangan Ditjen HKI bakal lebih berat dimasa datang,” ujarnya.
Dengan pola yang masih konvensional itu, dia menilai Ditjen HKI masih tidak responsif terhadap perubahan zaman. Konsep birokrasi yang lebih cepat, lebih baik, lebih murah dan lebih nyaman belum dikenal lembaga ini.(rko/fuz)
“Sesuai UU No.51 Tahun 2001 tentang Merek ditegaskan Ditjen HKI tak boleh menolak permohonan. Semua dilakukan sesuai prosedurnya,” papar Muhammad Fauzi.
Sedangkan Ahmad Rifadi menambahkan prosedur permohonan itu sesuai tahapan. Masa yang dibutuhkan sekitar 14 bulan 10 hari. Itu jika tidak ada berbagai persoalan dalam administrasi dan lainnya.
Menurut pakar hukum HKI Universitas Al Azhar Indonesia, Suparji Achmad, prosedur yang dilakukan Ditjen HKI itu menjadi contoh tidak berjalannya reformasi birokrasi. Persoalan hukum yang bisa disederhanakan masih ditempuh melalui jalur yang rumit.
“Sekarang ini proses persidangan pun dibikin sedemikian ramping. Agar tidak membuat rumit pihak bersengketa,” papar Suparji Achmad di kampus UAI, Jakarta, Kamiss (14/3).
Menurutnya proses penetapan akhir merek dagang yang diterima atau ditolak tak perlu dilakukan melalui prosedur yang rumit. Apalagi merek yang diusulkan itu sedang bersengketa.
Artinya, sambung dia pada tahap awal saja sudah bisa dilakukan penolakan permohonan. Karena substansi merek dagang yang diajukan sudah digunakan perusahaan lain.
“Kalau dimudahkan, tentu pemohon bisa lebih mudah mengajukan permohonan lain. Kenapa musti tunggu, ada komplain baru dianggap gagal. Ini kan prosedur yang tak lagi sesuai,” imbuhnya.
Dia mengakui Ditjen HKI tak boleh menolak permohonan siapa pun yang mengajukan sertifikasi hak merek. Tetapi berbekal data yang dimiliki, Ditjen HKI bisa lebih awal melakukan penolakan terhadap merek dagang yang diajukan.
Dengan dasar, lanjut dia beberapa item dalam merek dagang yang diusulkan itu telah digunakan perusahaan lain. Hal tersebut lebih membuat pemohon nyaman dan tenang. Sekaligus bisa membuat usulan baru yang lebih cepat.
“Paradigma harus diubah. Bahwa birokrasi itu pelayan masyarakat. Kelemahan sperti ini yang sering terjadi,” ujarnya.
Suparji merasa Ditjen HKI perlu melakukan inovasi terhadap sejumlah aturan. Termasuk dalam pemanfaatkan media internalnya untuk mengumumkan merek dagang yang diajukan pemohon.
Dia merasa publik butuh sarana informasi yang lebih cepat dan tepat untuk melihat berbagai informasi. Termasuk dalam persoalan pengajuan merek dagang yang sering dilakukan Ditjen HKI.
“Kenapa musti terlalu tertutup. Ini era reformasi birokrasi. Tantangan Ditjen HKI bakal lebih berat dimasa datang,” ujarnya.
Dengan pola yang masih konvensional itu, dia menilai Ditjen HKI masih tidak responsif terhadap perubahan zaman. Konsep birokrasi yang lebih cepat, lebih baik, lebih murah dan lebih nyaman belum dikenal lembaga ini.(rko/fuz)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Susno: Masa Saya Menjalani Perkara Orang Lain
Redaktur : Tim Redaksi